Selasa, 23 Agustus 2016|10:13:50 WIB
RADARRIAUNET.COM - Pemberian remisi kepada sejumlah narapidana korupsi dinilai mengurangi efek jera. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai garda terdepan dalam pemberantasan korupsi menyesalkan keputusan pemerintah memberikan remisi bagi sejumlah narapidana korupsi.
"Kami menyesalkan sebegitu banyak remisi sehingga membuat efek jera berkurang. Sebagai penegak hukum kami sudah membangun kasus sedemikian rupa sampai dakwaan dan tuntutan tapi setelah in kracht malah ada remisi yang mengurangi masa tahanan," kata Plt Kabiro Humas KPK, Yuyuk Andriati di Gedung KPK Jakarta, Kamis (18/8/16).
Menurut Yuyuk, KPK pernah menerbitkan surat keterangan telah bekerjasama dengan aparat penegak hukum untuk memperoleh hak remisi berdasarkan surat KPK No KET-30/55/07/2014 pada 21 Juli 2014.
"Namun, untuk rekomendasi pemberian hak asimilasi dan pembebasan bersyarat atas nama NSW tidak pernah diberikan," jelasnya.
Sedangkan terkait dengan revisi Peraturan Pemerintah (PP) No. 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan yang melonggarkan syarat pemberian remisi dan pembebasan untuk narapidana termasuk koruptor dengan menghilangkan syarat sebagai "justice collaborator" (JC) dan persetujuan tertulis dari instansi yang menangani termasuk dalam hal ini KPK, KPK sudah mengirimkan surat keberatan.
"KPK sudah mengirim surat keberatan tentang pemberian JC untuk remisi dan pengantian uang lunas yang katanya dihapuskan sebagai syarat mendapat remisi. Biro hukum sudah 4 kali ikut pembahasan dan bahkan kami sudah mengirim surat keberatan ke Menkumham dan ditembuskan ke Presiden. Kami ingin PP ini dibahas tidak tergesa-gesa dan banyak pihak yang dimintai pendapat," ungkapnya.
Data Dirjen Pemasyarakatan per Juli 2016 menyebutkan jumlah tahanan dan narapidana seluruh Indonesia mencapai 197.670 orang dan 3.801 (1,92 persen) orang di antaranya adalah napi korupsi.
rtc/fn/radarriaunet.com