Ancaman Ekspor Produk Andalan
ilustrasi. hsh

Ancaman Ekspor Produk Andalan

Selasa, 16 Agustus 2016|15:56:23 WIB




RADARRIAUNET.COM - Era global memungkinkan semua produk untuk bersaing secara kompetitif sehingga ini lebih mengacu kepada daya saing. Argumen yang mendasari karena aspek keunggulan komparatif semakin sulit dicapai. Oleh karena itu, semua berusaha mencapai efisiensi di semua proses produksi sehingga tercipta produk berdaya saing tinggi. Teoritis memberi gambaran, jika transaksi ekspor meningkat, neraca perdagangan menjadi surplus dan sebaliknya. Meski demikian, menembus ekspor bukanlah mudah dan kini tidak lagi hanya bergantung pada daya saing yang dipengaruhi oleh efisiensi produksi.

Persoalan dari ekspor ternyata juga mengacu kepada regulasi global, baik yang dibentuk dalam kerangka kerja sama—partnership atau kesepakatan dalam lingkup regional— global, misalnya ASEAN, ACFTA, G-8, atau MEA (mulai diberlakukan). Oleh karena itu, semua negara memetakan regulasi secara cermat agar ekspor produk andalannya dapat lolos dan memberikan hasil bagi neraca perdagangan. Terkait ini, ekspor produk andalan Indonesia sedang mengalami kendala, terutama dikaitkan dengan regulasi dari AS, yaitu regulasi seafood import monitoring program atau SIMP yang mulai berlaku September.

Kepentingan
Regulasi SIMP menegaskan tiga syarat yang memperketat ekspor produk perikanan kita masuk ke AS. Pertama, produk perikanan bukan dari hasil pencurian ikan. Kedua, wajib menyertakan sertifikasi bagi produk perikanan hasil dari budi daya atau tangkapan. Dan, ketiga, wajib melampirkan rantai pasok secara detail mulai dari jenis kapal penangkap sampai proses ekspor. Artinya, regulasi SIMP menjadi sinyal terhadap ancaman ekspor produk unggulan kita, terutama dari produk perikanan. Padahal, produk perikanan kini masih menjadi produk unggulan selain CPO, pulp, kertas, kayu, dan rumput laut.

Data BPS dan Kemendag menyebutkan, nilai ekspor produk perikanan pada semester awal 2016 mencapai 1,2 miliar dolar AS, pada 2015 2,7 miliar dolar AS, dan tahun 2014 3,1 miliar dolar AS. Terkait ini, regulasi SIMP secara tidak langsung menghambat transaksi ekspor produk unggulan dan tentu akan berpengaruh terhadap neraca perdagangan.

Argumen yang mendasari keluarnya regulasi SIMP tidak bisa terlepas dari pemberitaan bahwa mayoritas produk perikanan kita termasuk hasil illegal fishing sehingga regulasi SIMP menjadi mutlak. Terkait ini, regulasi SIMP harus dicermati dengan bijak dengan kesepakatan Indonesia AS MoU on Maritime Cooperation dan ketentuan FAO Port State Measures Agreement. Artinya, masih ada celah untuk mencermati regulasi SIMP agar ekspor produk unggulan perikanan kita tetap bisa masuk ke AS. Jika dicermati, isu tentang regulasi global, baik yang dibentuk secara bilateral maupun multilateral, bukan hanya kali ini terjadi sebab pada juli 2016 lalu Meksiko juga menghentikan pembelian udang dari Indonesia karena dugaan kasus infeksi, yaitu infectious myonecrosis virus atau IMNV. Kasus produk organik juga terjadi saat AS melarang ekspor produk rumput laut dari Indonesia dengan dugaan mengandung carrageenan yang berbahaya karena ini bisa memicu kanker.

Persoalan dari era global terkait ekspor cenderung terus meningkat, apalagi Indonesia akan memutuskan pemberlakuan Trans Pasific Partnership atau TPP tiga bulan lagi. Hal ini tidak bisa terlepas dari adanya sejumlah ancaman dari neraca perdagangan dan nilai ekspor produk unggulan, termasuk misalnya produk tekstil dan produk tekstil kita jika dibandingkan dengan Cina. Kekhawatiran ini logis sebab pasca-ACFTA pasar domestik dibanjiri produk TPT dari Cina yang rata-rata lebih murah 10 persen dibanding produk TPT nasional. Di balik kekhawatiran ini, memang diakui pada lima tahun terakhir pasar TPT nasional dikepung produk TPT dari Cina. Bahkan, batik untuk Lebaran ternyata banyak yang made in Cina. Oleh karena itu, warning regulasi SIMP haruslah diwaspadai sebagai tantangan memacu daya saing produk unggulan.

Ancaman
Berbagai regulasi yang menyasar produk unggulan kemudian banyak disinyalir sebagai upaya untuk menekan ekspor dan akhirnya bisa memicu ancaman perang dagang jika tidak dicermati secara bijak. Kekhawatiran ini bukan tidak beralasan. Sebab, pada semester awal tahun 2007 lalu sempat terjadi ketegangan akibat konflik produk makanan made in Cina. Bahkan, Badan Pengawasan Kualitas, Pengujian, dan Karantina Cina sempat melakukan razia balasan produk made in Indonesia karena diduga produk minuman made in Indonesia tercemar dan mengandung raksa, khrom, dan zat berbahaya lain. Semester pertama 2007, para pejabat Cina setidaknya menyita 121 jenis produk makanan dari Indonesia mulai dari minuman, minyak sawit, makanan dalam kaleng, seperti biskuit yang diduga mengandung zat bahan pengawet dan bahan berbahaya lain.

Konflik di balik kasus produk ekspor terus berlanjut, yaitu muncul kasus susu melamin dari Cina pada September 2008. Terkait ini, Departemen Perdagangan Cina memastikan produk made in Cina di pasaran ekspor aman dan lolos quality control. Bahkan, data ekspor berbagai produk Cina naik 27,5 persen senilai 546,7 miliar dolar AS di semester pertama 2007 dibanding periode sama 2006. Data ini sebagai pembanding ketika kasus itu muncul. Ekspor produk, seperti makanan, obat-obatan, dan mainan anak-anak, yang selama ini sering dikritik terkait standarnya, juga mengalami peningkatan. Secara riil, ekspor produk makanan misalnya, naik 22,2 persen, obat-obatan naik 41 persen, dan ekspor mainan anak-anak naik 28 persen. Artinya, konflik dagang adalah bagian siklus ekonomi bilateral dan multilateral terkait dengan berbagai kepentingan di era global.

Aspek pembelajaran kasus regulasi di atas, yaitu komitmen memacu daya saing melalui peningkatan efisiensi-produktivitas. Riset menunjukkan bahwa salah satu kelemahan produk kita adalah terjadinya inefisiensi yang dipicu oleh ekonomi biaya tinggi. Oleh karena itu, era global harus menjadi pembelajaran agar kasus ekonomi biaya tinggi bisa diredam sehingga bisa meningkatkan efisiensi-produktivitas. Jadi, masih ada peluang memacu daya saing untuk menang di pasar global dan tidak perlu takut semua regulasi.


oleh Edy Purwo Saputro
Dosen di FEB Universitas Muhammadiyah Solo/rol







Berita Terkait

Baca Juga Kumpulan Berita NEWS

MORE

MOST POPULAR ARTICLE