RADARRIAUNET.COM - Badan Pusat Statistik (BPS) bekerja sama dengan Badan Dunia untuk Anak (UNICEF) merilis laporan analisis data perkawinan usia anak pertama kalinya di Indonesia. Pada laporan tersebut, angka perkawinan usia anak atau di bawah 18 tahun di Indonesia masih tinggi, sekitar 23 persen.
Laporan perdana tersebut juga mengungkap Indonesia mengalami penurunan angka pernikahan anak yang cenderung stagnan. Analisis yang dilakukan pada 2015 itu mengungkap bahwa perempuan yang menikah sebelum 18 tahun hanya menurun tujuh persen dalam waktu tujuh tahun.
BPS juga mencatat bahwa angka kejadian atau prevalensi pernikahan anak lebih banyak terjadi di pedesaan dengan angka 27,11 persen, dibandingkan di perkotaan yang berada pada 17,09 persen.
"Indonesia memang tengah memasuki fase peralihan untuk pembangunan. Namun di banyak tempat, masih banyak yang tertatih-tatih," kata M Sairi Hasbullah, Deputi Bidang Statistik Sosial BPS saat peluncuran laporan tersebut di Jakarta, pekan ini.
“Salah satu yang tertatih adalah soal angka pernikahan usia anak di Indonesia yang masih 23 persen. Tergolong masih sangat tinggi," katanya.
Pernikahan usia anak bagi perempuan berdampak banyak hal. Menurut data, anak perempuan usia 10-14 tahun memiliki risiko lima kali lebih besar untuk meninggal dalam kasus kehamilan dan persalinan dibanding usia 20-24 tahun.
Selain itu, banyak anak yang sudah menikah akan mengalami putus sekolah. Hal ini dapat menyebabkan semakin sempitnya peluang perempuan muda memperbaiki kesejahteraan. “Akhirnya memperpanjang masalah sosial yang sudah ada,” tambah Sairi.
Dari segi kesehatan, bayi yang dilahirkan oleh perempuan di bawah umur punya risiko kematian lebih besar. Bayi tersebut juga punya peluang meninggal dua kali lipat sebelum mencapai usia satu tahun.
Secara nasional, BPS menulis pernikahan usia anak mengalami penurunan secara bertahap dari 33 persen pada 1985 menjadi 26 persen pada 2010. Namun, meski mengalami kemajuan, di sepuluh dekade terakhir, dari 2000 hingga 2010, BPS dan UNICEF menilai bahwa prevalensi pernikahan usia anak relatif konstan.
Saat ini di dunia, tercatat sebanyak lebih dari 700 juta perempuan menikah ketika mereka belum menginjak 18 tahun. Sedangkan di kawasan Asia Pasifik, sebanyak 16 persen perempuan telah menikah sebelum dianggap pantas secara biologis.
Sedangkan di Indonesia, BPS dan UNICEF yang menggunakan data Susenas 2008-2012 dan Sensus Penduduk 2010, mencatat sekitar 340 ribu anak perempuan di bawah 18 tahun menikah setiap tahunnya. Peningkatan terjadi pada perempuan usia antara 15 hingga 18 tahun.
"Perkawinan anak di bawah usia 15 tahun mungkin tidak mencerminkan prevalensi sesungguhnya karena banyak dari perkawinan ini tersamarkan sebagai perkawinan anak perempuan di atas 16 tahun atau tidak terdaftar," ungkap laporan tersebut.
Sulawesi dan Kalimantan Kantong Pernikahan Usia Anak
BPS dan UNICEF mencatat indikasi pernikahan anak terjadi di hampir semua wilayah Indonesia. Namun, beberapa provinsi tercatat memiliki angka pernikahan anak yang tinggi. Beberapa provinsi tersebut adalah Sulawesi Barat (34 persen), Kalimantan Selatan (33,68 persen), Kalimantan Tengah (33,56 persen), Kalimantan Barat (32,21 persen), dan Sulawesi Tengah (31,91 persen).
BPS menulis, persentase tersebut berarti satu dari tiga anak perempuan di provinsi-provinsi itu menikah di bawah umur.
Bukan hanya terjadi di luar Jawa, bahkan di Provinsi Jawa Timur, sebanyak 23 dari 39 Kabupaten/Kota punya prevalensi pernikahan anak di atas 20 persen. Selain itu, lebih dari 20 kecamatan di Jawa Timur memiliki prevalensi pernikahan anak sebesar 50 persen atau lebih.
BPS dan UNICEF menyebut bahwa terdapat hubungan yang kompleks antara perkawinan usia anak dan pendidikan di Indonesia. Anak yang menikah di bawah umur cenderung memiliki tingkat pendidikan yang rendah, selain itu BPS dan UNICEF menilai akses pendidikan hingga sekolah menengah menjadi salah satu cara terbaik menunda pernikahan anak.
"Berdasarkan data, pernikahan anak di Indonesia bukan hanya didorong karena kondisi ekonomi dan juga pendidikan, namun ditemukan ada budaya-budaya tertentu yang resisten. Sulit berubah,” kata Sairi.
Menyikapi fenomena pernikahan anak ini, Subandi Sarjoko, Deputi Menteri Bappenas Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan menyatakan bahwa dalam menyelesaikan pernikahan usia anak tidak dapat dilakukan dari satu sektor belaka.
"Ada banyak kementerian yang terlibat dalam menurunkan angka pernikahan usia anak ini, seperti Kementerian Pedidikan bagaimana caranya anak mendapatkan akses pendidikan dan dapat lulus hingga sekolah menengah," kata Subandi kepada awak media sesuai perilisan laporan BPS dan UNICEF.
Lima Tindakan Guna Menurunkan Angka Pernikahan Usia Anak
BPS dan UNICEF dalam laporannya merekomendasikan lima tindakan guna memastikan penurunan angka pernikahan usia anak. Pertama, meningkatkan intervensi perlindungan anak perempuan 15-17 tahun dengan fokus utama penyelesaian sekolah menengah.
Kedua, BPS dan UNICEF merekomendasikan untuk menangani norma sosial dan budaya yang menerima atau melestarikan praktik menikah di bawah usia melalui orang tua, guru, keluarga, dan tokoh agama. Ketiga, memberikan akses pendidikan tinggi kepada anak-anak guna menangani masalah kerentanan ekonomi.
Dan BPS serta UNICEF meminta pemberian kebijakan dengan berpusat pada daerah dengan prevalensi pernikahan usia anak yang tinggi. Lalu, riset lebih lanjut dinilai BPS dan UNICEF diperlukan.
cnn/radarriaunet.com