Walhi Riau: Ada Indikasi Kasus-kasus Ini Diperjualbelikan
Jokowi akan pantau kasus kebakaran hutan Riau. Okz

Walhi Riau: Ada Indikasi Kasus-kasus Ini Diperjualbelikan

Kamis, 21 Juli 2016|21:13:28 WIB




RADARRIAUNET.COM - Kini Polda Riau menjadi bahan sorotan dari berbagai kalangan. Institusi penegak hukum tersebut dinilai telah memberi kado buruk jelang peringatan Hari Lingkungan Hidup (HLH) Sedunia yang jatuh pada 23 Juli atau Sabtu lusa. Yakni membebaskan 15 perusahaan yang sebelumnya diduga terlibat dalam pembakaran hutan dan lahan di Riau pada 2015 lalu.
 
Sebagaimana diketahui, tahun lalu Provinsi Riau dilanda bencana asap hebat. Terparah sejak 18 tahun terakhir ini. 
 
Dalam peristiwa kebakaran hutan di Riau 2015 lalu, lima orang meregang nyawa akibat asap pekat yang menyelimuti langit Riau ketika itu. 
 
Tetapi kemudian dan belakangan ketahui dalam soal bakar hutan ini putusan Polda Riau yang menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap 15 perusahaan di Riau (lihat grafis) mendapatkan kecaman dari berbagai pihak. Kecaman datang dari NGO pemerhati lingkungan nasional, seperti Jaringan Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau. Bahkan yang lebih ekstrem, Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane memberikan kritik keras terhadap keputusan penyidik Polda Riau itu.
 
“Sikap Polda Riau melakukan SP3 sangat disayangkan. Hal ini menunjukkan bahwa Polda tidak profesional dalam menangani kasus pembakaran lahan,” kata Neta kepada awak media, Rabu (20/7).
 
Tudingan Neta bukan tanpa alasan. Menurutnya, ketika kasus tersebut terjadi dan menjadi perhatian serius Presiden Joko Widodo, jajaran Polda Riau terlihat begitu bersemangat dalam menjerat oknum perusahaan sebagai tersangka. “Apalagi Presiden Jokowi meminta agar Polri benar-benar bekerja serius dalam menuntaskan kasus pembakaran lahan ini. Jika kemudian ternyata Polda Riau melakukan SP3 tentu hal ini patut menjadi tanda tanya banyak kalangan, termasuk awak media di Riau” ujar Neta.
 
Pihaknya juga mendorong komponen masyarakat Riau yang tidak puas dengan keputusan Polda Riau menerbitkan SP3 atas kasus karhutla, agar melakukan upaya praperadilan.
 
Hal senada diungkapkan anggota Komisi III DPR Ruhut Sitompul. Dia mengaku sedih atas putusan itu.
 
“Aku juga sedih beberapa kasus itu di-SP3. Faktanya kita tahu kasus itu terjadi, cukup lama hutan terbakar. Kan itu faktanya, kenapa kurang bukti? Saya rasa cukup bukti itu,” kata Ruhut di gedung DPR Jakarta, Rabu (20/7).
 
Politikus Partai Demokrat itu meminta kepolisian lebih sensitif dalam menangani kasus-kasus yang menjadi perhatian publik seperti karhutla. Apalagi Presiden Joko Widodo memberikan atensi besar pada kasus tersebut.
 
Karena itu pihaknya berharap bagi lembaga swadaya masyarakat (LSM) maupun masyarakat yang tidak puas dengan keputusan Polda Riau, untuk menempuh jalur hukum. Mabes Polri juga diminta memberikan perhatian pada keputusan SP3 tersebut karena menjadi perhatian dunia internasional. 
 
“Ini bukan hanya nasional tapi perhatian internasional. Tidak boleh lagi terjadi pembakaran hutan, lahan. Saya mohon, kepada pemerhati, LSM kaitan lingkungan hidup, bawa kasus SP3 ini ke ranah hukum, praperadilankan. Jangan tinggal diam,” jelasnya.
 
Sementara itu anggota DPR asal Riau Jon Erizal mendorong DPRD Riau melalui komisi terkait mengundang Polda Riau hearing di dewan. Atau bisa juga tokoh masyarakat mendatangi Polda bertanya langsung seperti apa proses sebenarnya.
 
“Tapi lebih pas Polda diundang hearing oleh dewan. Tanyakan kenapa begini, kewajiban Polda menjelaskan. Kan tidak bisa juga Polda menghukum orang jadi tersangka, nanti saat di persidangan kalah kan. Kualitas penyidikannya nanti juga dipertanyakan masyarakat,” ujarnya.
 
Polda Sebut Kurang Bukti
Sementara Polda Riau memenuhi janji mereka memberikan penjelasan terkait SP3 15 perusahaan. Direktur Reserse Kriminal Khusus (Direskrimsus) Kombes Pol Rivai Sinambela dalam konferensi pers menyebutkan, dihentikannya penyelidikan dan penyidikan terhadap 15 perusahaan tersebut dikarenakan tidak cukupnya alat bukti.
 
“Keluarnya SP3 ini memiliki dasar hukum. Setelah kami lakukan penyelidikan dan penyidikan akhirnya kami simpulkan 15 dari total 18 perusahaan yang diduga melakukan pembakaran lahan tidak cukup bukti untuk dilanjutkan,” tegas Rivai Sinambela didampingi Wadirkrimsus, AKBP Ari Rahman Nafarin di Kantor Krimsus, Rabu (20/7).
 
Tidak cukupnya bukti untuk melanjutkan proses penyidikan, kata Rivai, dikarenakan areal yang terbakar merupakan areal sengketa yang dikuasai masyarakat dan telah ditanami kelapa sawit. Kemudian pada saat terjadi kebakaran, izin IUPHHK-HTI telah dicabut atau sudah tidak beroperasi lagi. 
 
“Benar ada lahan yang terbakar di areal perusahaan, tapi lahan tersebut adalah lahan sengketa dan dikuasai masyarakat. Bahkan beberapa sudah ditanami sawit,” ujarnya.
 
Selain itu ada juga perusahaan yang telah memiliki tim pemadam kebakaran. Sehingga ketika terjadi kebakaran di areal mereka telah mereka atasi sendiri. Di sini, menurut Rivai unsur pembiaran tidak terpenuhi. Tim Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP-4), dikatakan Rivai telah melakukan kroscek terhadap persoalan ini. Hasilnya, mereka menyebut sejumlah 15 perusahaan yang penanganannya dihentikan telah memiliki sarana dan prasarana dalam penanggulangan kebakaran lahan. Penyidik, lanjut Rivai, juga telah memeriksa sejumlah saksi ahli, di mana hasilnya menyebut 15 perusahaan tersebut tidak terbukti melakukan pembakaran lahan karena tidak terpenuhinya unsur pidananya.
 
Saat ditanya wartawan apakah Polda Riau siap nanti jika keputusan SP3 ini kemudian dipraperadilankan? Rivai mempersilakan saja. ‘’Silakan saja, karena praperadilan hak masyarakat untuk menempuh proses itu apabila tak puas,’’ ujar Rivai.
 
Penetapan status SP3 sendiri diakui Rivai diterbitkan pada Januari 2016 lalu. Artinya, saat itu jabatan Kapolda masih dipegang Brigjen Pol Dolly Bambang Hermawan. Sementara Dirkrimsusnya masih dijabat Kombes Pol Arif Rahman Hakim. 
 
“Ini SP3 diterbitkan Januari lalu. Kami bukannya tidak menyampaikan ke media. Medianya nggak ada yang nanya sih. Kami untuk informasi terbuka kok. Tak ada yang kami tutup-tutupi,” tegasnya.
 
Dikonfirmasi terpisah Wakil Koordinator Jikalahari, Made Ali mengatakan alasan tidak cukup bukti merupakan alasan klasik. Penyidik, kata Made, harusnya lebih jeli dan cermat dalam menerapkan pasal yang dijeratkan terhadap perusahaan-perusahaan tersebut.  
 
“Harusnya penyidik cermat dalam menerapkan pasal di sini. Termasuk dalam mencari ahli hukum pidana dan ahli lingkungan. Sehingga tidak ada alasan untuk mengatakan tidak cukup bukti,” tegasnya. 
 
Terkait penerapan pasal, Made mempertanyakan mengapa penyidik tidak merujuk pada pasal 48 ayat (3) Undang-Undang tentang Kehutanan. Di sana jelas dikatakan bahwa pemegang izin usaha pemanfaatan hutan diwajibkan melindungi hutan dalam areal kerjanya.  “Bahkan pasal 49-nya dengan tegas menyatakan pemegang hak atau izin bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya,” tegas Made. 
 
Kemudian di pasal 56 ayat (2) Undang-Undang Perkebunan kemudian mensyaratkan kepada perusahaan perkebunan untuk menyiapkan sarana dan prasarana pengendalian kebakaran lahan dan kebun. 
 
“Jadi ketika penyidik berkaca pada pasal-pasal itu, maka seharusnya mereka dapat memaknai bahwa pemilik izin harus bertanggungjawab terhadap areal di dalam izinya. Inilah yang disebut sebagai azas absolute liability,” tegasnya.
 
“Makanya kalau saja penyidik dapat mencari ahli yang memiliki pemahaman akan ini, tidak begini jadinya. Asas hukum absolute liability inilah yang harus digunakan untuk mengenyampingkan asa tiada pemidanaan tanpa kesalahan (Green Straf Zonder chuld/actus non Facit reum nisi mens Sir rea) yang selama ini diterapkan dalam sistem hukum kita,” sambungnya lagi.
 
Putusan dengan menggunakan sistem dan penerapan pasal 49 UU Kehutanan, pasal 56 UU Perkebunan, pasal 20 PP No.4 tahun 2001, PP No 45 tahun 2004 dan Permentan No.47 tahun 2014 sudah pernah digunakan dalam memutus perkara PT Kalistra Alam dan PT Adei Plantation. Di mana dalam putusan itu dinyatakan bahwa kebakaran hutan dan lahan adalah tanggung jawab korporasi. 
 
“Sebenarnya putusan PT Kalista Alam oleh Pengadilan Negeri Melabouh, Aceh dapat dijadikan sebagai yurisprudensi. Karena telah memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht),” pungkasnya.
 
Kekecewaan juga dirasakan Walhi Riau. Mereka menilai, hal tersebut semakin membuktikan bahwa negara tidak berpihak pada kasus-kasus karhutla.
“Ini seperti ada indikasi kasus-kasus ini diperjualbelikan. Sehingga para korporasi yang selama ini menimbulkan titik api atau lahannya terbakar melenggang bebas,” kata Direktur Eksekutif Walhi Riau, Riko Kurniawan.
 
Lebih lanjut dikatakannya, jika berbicara pada akar persoalan lagi-lagi negara tidak serius dalam mengelola persoalan asap yang selama ini terjadi di Riau. Akibat dari sikap penegak hukum yang seperti ini, menurutnya, kasus karhutla di Riau tidak akan pernah ada habisnya. Padahal sebelumnya, Presiden telah memberikan instruksi sangat jelas. Di mana kasus karhutla diproses secepat mungkin dan diberikan hukuman yang seberat-beratnya kepada pelaku.
 
“Walhi bersama masyarakat tentunya tidak akan tinggal diam dengan persoalan ini. Kami akan mengambil tindakan. Namun tindakan seperti itu akan didiskusikan terlebih dahulu,” jelasnya.
 
Dalam pada itu, Menteri LHK Siti Nurbaya telah meminta Dirjen Penegakan Hukum (Gakkum) untuk mengumpulkan data-data segera akan dibahas pihaknya. “Tapi sebetulnya yang perlu dipahami, sistem penegakan hukum kita menerapkan hukum multidoors. Artinya ada pidana, perdata dan sanksi administratif. Di antara 15 perusahaan tersebut, sebenarnya ada yang izinnya sudah dicabut. Yakni HSL dan SRT. Juga sudah ada yang kena pembekuan,” ujar Siti.
 
Namun demikian, kata Siti, dia segera mempelajari lagi dan sedang minta Dirjen mencari info untuk dipelajari lebih mendalam. “Dari sana nanti kita bisa injeksi peningkatannya harus apa. Saya masih minta Dirjen untuk cari informasi ke Polda Riau. Tentang detail data di lapangan akan saya dalami dan mungkin bisa juga nanti minta dukungan fakta lapangan dari komunitas dan aktivis. Sekarang komunitas dan aktivis juga aktif memberi info dan saran solusi kepada kami di KLHK,” ujarnya.
 
Adapun Gubernur Riau H Arsyadjuliandi Rachman enggan memberikan komentar terkait hal ini. Dia hanya berlalu saat ditanya awak media soal ini usai rapat persiapan kedatangan wapres di kediamannya semalam.  ‘’Soal Polda ya,’’ ujarnya sambil berlalu.
 
Sementara Wakil Ketua DPR Fadli Zon meminta jajaran Polda Riau transparan dalam penanganan kasus karhutla. Sebab, politikus Partai Gerindra itu tidak ingin penerbitan SP3 dijadikan permainan oleh penegak hukum. “Dalam kasus spesifik seperti itu harus ada transparansi. Kalau tidak ada bukti harus dinyatkan tidak ada. Tapi kalau ternyata ada bukti, harusnya ini jangan sampai jadi satu permainan yang mengakibatkan nanti kejadian kebakaran terulang lagi,” kata Fadli.
 
Penanganan kasus Karhutla menurut Fadli seharusnya mempertimbangan berbagai aspek seperti ketiadaan alat pemadam kebakaran di perusahaan yang menjadi kritik ketika itu. Padahal sarana tersebut bagian yang sudah diatur.
 
“Juga ada unsur kesengajaan dan tidak sengaja. Kalau itu (membakar,red) dilakukan karena ingin menghemat proses land clearing, ini saya kira kejahatan terhadap lingkungan,” tegasnya.
 
Soal kecurigaan Jikalahari atas terbitnya SP3 berkaitan dengan rencana pemerintah melakukan restorasi gambut dengan harapan didanai perusahaan, Fadli meminta masalah itu dilaporkan ke DPR untuk didalami. Dia menegaskan bahwa karhutla yang terjadi pada 2015 lalu sebagai kejadian fenomenal, sehingga proses hukumnya harus dibuka secara transparan oleh Polda Riau.
 
Sebagai berikut ini 15 perusahaan terlibat dalam kasus Karhutla di Riau, dan dalam penanganan Polda Riau kasusnya dihentikan :
 
1. PT Bina Duta Laksamana (HTI)
2. PT Perawang Sukses Perkasa Indonesia (HTI)
3. PT Ruas Utama Jaya (HTI)
4. PT Suntara Gajah Pati (HTI)
5. PT Dexter Perkasa Industri (HTI)
6. PT Siak Raya Timber (HTI)
7. PT Sumatera Riang Lestari (HTI)
8. PT Bukit Raya Pelalawan (HTI)
9. PT Hutani Sola Lestari (HTI)
10. KUD Bina Jaya Langgam (HTI)
11. PT Parawira (Perkebunan)
12. PT Rimba Lazuardi
13. PT PAN United (HTI)
14. PT Alam Sari Lestari (Perkebunan)
15. PT Riau Jaya Utama (Perkebunan) 
 
 
Lex/Rpg/RR/Berbagai sumber






Berita Terkait

Baca Juga Kumpulan Berita NEWS

MORE

MOST POPULAR ARTICLE