Selasa, 06 Oktober 2015|15:14:29 WIB
ACEH (RRN) - DATARAN Tinggi Gayo seperti membenarkan ungkapan bahwa tidak ada kesenangan tanpa rasa sakit. Dia tersembunyi di pedalaman Aceh yang memaksa pengunjung terguncang-guncang di jalan selama berjam-jam atau bertaruh nyawa menaiki pesawat perintis. Tapi, semua itu lunas berlipat ganda begitu tiba di sana.
Dataran Tinggi Gayo terdiri atas tiga kabupaten, yakni Bener Meriah, Aceh Tengah, dan Gayo Lues. Disebut Dataran Tinggi Gayo atau Tanoh Gayo lantaran ketiga daerah tersebut dihuni suku Gayo. Asal-usul suku Gayo masih menjadi bahan diskusi, terlebih baru-baru ini ditemukan kerangka manusia berusia 6.500 tahun di situs Loyang Mendale.
Kawasan Tanoh Gayo berderet yang terangkai oleh Bukit Barisan. Sebagian besar Tanoh Gayo dengan ketinggian 400 meter sampai 2.600 meter di atas permukaan laut ini tertutup hutan tropis dan pinus mercusi.
Karena berada di perbukitan, jalur menuju Tanoh Gayo tidak senyaman Jakarta-Yogyakarta, misalnya. Jalur darat bisa dilalui dari Banda Aceh dengan jarak tempuh sekitar 317 kilometer. Atau bisa juga dari Medan, Sumatera Utara, dengan jarak tempuh 481 kilometer. Jika ingin perjalanan lebih singkat, tersedia alternatif menggunakan pesawat perintis dari Banda Aceh ataupun Medan menuju Bandar Udara Rembele di Kabupaten Aceh Tengah.
Setelah terbang dari Jakarta ke Medan, kami memilih jalur darat karena hari itu tidak ada jadwal penerbangan dari Medan ke Takengon, Aceh Tengah. Jadwal penerbangan hanya pada Selasa dan Kamis, sementara dari Banda Aceh-Takengon hanya sepekan sekali.
Selama hampir 10 jam kami menyusuri jalan. Namun, setelah melewati Bireuen, kami tak lagi dapat memejamkan mata karena jalanan berliku dan naik-turun. Kontur perbukitan mulai terasa. Sehabis subuh, sekitar pukul 06.30, kami tiba di Bener Meriah.
Begitu membuka pintu mobil, udara sejuk nan segar langsung menyergap dan merambati pori-pori. Seperti teman lama yang baru bertemu kembali. Kesegarannya ibarat kutub lain dari penat dan panasnya Jakarta. Barang kali ini tempat kabur yang pas dari Ibu Kota.
Seorang kawan, Rizky Pinosa (24), mempersilakan kami beristirahat di rumahnya. Kami terlelap dibuai udara sejuk yang menyelinap dari sela-sela dinding kayu. Juga oleh rasa capai setelah perjalanan jauh.
Kopi Gayo di Tanoh Gayo
Setelah cukup istirahat, kami mandi dengan air hangat yang mengalir dari Gunung Api Burni Telong ke rumah-rumah warga. Air berbau belerang itu sangat membantu kami melawan hawa sejuk yang lama-lama menjadi terlampau dingin.
Rizky lalu mengajak kami menikmati kopi gayo. Memang kopi arabika gayo menjadi salah satu menu dalam daftar kami. Kopi arabika gayo tenar seantero dunia melebihi Tanoh Gayo ataupun orang Gayo itu sendiri. Banyak orang tak tahu lokasi Tanoh Gayo, tetapi sudah lebih dulu menyeruput kopi kental Gayo.(kps/fn)