Senin, 14 September 2015|09:28:01 WIB
MEKAH (RRN) - Saat terjadi musibah robohnya crane di Masjidil Haram akibat badai pasir dan hujan, Sekretaris Kecamatan (Sekcam) Bukit Batu, Mulyadi bersama sang isteri Mina Suryana duduk di tiang pintu nomor 14 atau sekitar 30 meter dari lokasi jatuhnya crane. Dituturkan Mulyadi, sekitar pukul 18.00 Waktu Arab Saudi, menjelang shalat Maghrib, dia bersama isteri membaca Al Quran. Tiba-tiba badai debu bertebaran sangat kuat dan kencang, sehingga dia memutuskan untuk mengakhiri membaca ayat suci Al Quran. Tak berapa lama setelah menutup Al Quran, kemudian hujan sangat lebat mengguyur Masjidil Haram, yang disertai badai debu kencang.
Ketika badai pasir tiba, para jamaah yang berada di Masjidil Haram belum begitu panik, karena sebelumnya sekitar pukul 16.00 WAS, sudah ada badai pasir, sehingga Mulyadi dan jamaah lain menganggap kejadian itu seperti sebelumnya. Kepanikan muncul, ketika terdengar letusan sangat kencang yang disertai batu-batuan besar berjatuhan. “Waktu itu saya bersama isteri duduk mendengar letusan sangat keras, saya pikir petir. Tak berapa lama batu-batu besar dari tiang pintu 17 berjatuhan,” ungkap Mulyadi, seperti diutarakan kepada Kasubbag Peliputan dan Dokumentasi Bagian Humas Setda Bengkalis, Adi Sutrisno melalui jaringan seluler, Sabtu (12/9/2015) sekitar pukul 11.45 WIB atau 07.00 WAS.
Posisi tempat duduk Mulyadi di sekitar tiang pintu 14 yang jaraknya lebih kurang 30 meter dari crane yang jatuh. Saat batu berjatuhan dan mengenai JCH yang berada di Masjidil Haram, jamaah yang ada panik dan histeris. Para jamaah berteriak keras sambil menyebut Allahu Akbar berkali-kali dan jamaah yang berlarian berusaha menyelamatkan diri.
Mulyadi dan isteri berusaha untuk tidak panik, dia berusaha untuk menyelamatkan diri dari hantaman batu-batu yang berjatuhan. Mulyadi dan Mina Suryana langsung bergegas menyelamatkan diri menuju lantai dua melewati bekas crane dan batu-batu yang berserakan dan berjatuhan.
Setelah sampai di pintu Babusalam, Mulyadi dan para jamaah tidak dibenarkan untuk keluar, karena di luar badai dan hujan masih lebat. Ketika berada di pintu Babusalam tepatnya tempat Sa’i, Mulyadi dan isteri beserta jamaah lain berlindung di pilar-pilar tiang dan menyaksikan batu-batu besar terus berjatuhan, angin masih kencang dan air hujan masuk ke dalam. “Hampir setengah jam berlindung di tiang-tiang di sekitar pintu Babusalam, badai dan hujan mulai reda. Kami dibolehkan keluar dari Masjidil Haram. Waktu itu setahu saya, jamaah yang berada ketika kejadian jamaah dari Rokan Hulu, Aceh dan Medan,” ungkap Sekcam Bukit Batu. (hum)