Senin, 10 November 2025|07:57:06 WIB
Radarriaunet | Jakarta - Peristiwa ledakan di SMAN 72 Jakarta pada Jumat (7/11/2025) yang melukai puluhan siswa telah menyisakan duka dan pertanyaan besar. Reaksi publik terbelah antara dugaan motif perundungan (bullying) dan spekulasi adanya kaitan dengan jaringan terorisme serta isu pengkaderan di sekolah.
Motif Aksi: Balas Dendam atau Jaringan Teror?
Investigasi awal oleh pihak berwajib, termasuk Densus 88, menunjukkan bahwa terduga pelaku adalah salah satu siswa yang dikabarkan menjadi korban perundungan di sekolah tersebut. Motif balas dendam atas perundungan ini menjadi dugaan awal yang kuat. Namun, temuan di lokasi kejadian tidak bisa diabaikan.
Temuan di TKP: Ditemukan benda menyerupai senjata api (yang dipastikan adalah senjata mainan) yang tertulis nama-nama pelaku terorisme global (seperti Brenton Tarrant dan Alexandre Bissonnette) serta simbol-simbol sayap kanan ekstrem, termasuk slogan supremasi kulit putih "14 Words" dan referensi Nazisme esoteris ("For Agartha").
Pakaian Pelaku: Pelaku mengenakan pakaian yang terinspirasi dari Eric Harris, salah satu pelaku penembakan massal di SMA Columbine, Amerika Serikat.
Temuan simbol-simbol radikal dan kekerasan ekstrem ini adalah alarm merah yang harus ditanggapi dengan serius. Meskipun pejabat tinggi, seperti Wamenko Polkam, telah meminta publik untuk tidak "terlalu cepat berasumsi" bahwa ini adalah aksi terorisme, penelusuran lebih lanjut oleh Densus 88 mengenai kemungkinan keterkaitan pelaku dengan jaringan teror tetap dilakukan.
Isu Pengkaderan Teroris di Kalangan Siswa SMA
Terkait isu pengkaderan teroris pada siswa SMA di SMAN 7 (merujuk pada pencarian yang lebih umum mengenai isu tersebut), tidak ada informasi spesifik dari hasil pencarian yang mengaitkannya langsung dengan SMAN 72. Namun, kasus SMAN 72 ini secara tidak langsung menyoroti kerentanan remaja di lingkungan sekolah terhadap paparan ideologi ekstrem.
Fenomena radikalisasi pada remaja sering kali diawali dari rasa ketidakadilan, isolasi sosial, atau pencarian identitas yang kemudian dieksploitasi oleh kelompok ekstremis. Jika motif perundungan benar, pelaku mungkin mencari pelarian atau pembenaran atas penderitaannya dalam ideologi kekerasan yang ia temukan secara daring. Simbol-simbol yang ia gunakan menunjukkan adanya paparan kuat terhadap ideologi terorisme dan kekerasan ekstrem yang sifatnya lone wolf atau copycat, terlepas dari apakah ia berafiliasi langsung dengan jaringan teroris tertentu.
Sikap dan Aksi yang Perlu Diambil
Kasus SMAN 72 adalah panggilan darurat bagi semua pihak:
Penyelidikan Mendalam: Aparat harus menyelesaikan penyelidikan secara tuntas. Penting untuk memastikan apakah aksi ini murni didorong oleh trauma perundungan dengan inspirasi simbol ekstrem, atau memang ada unsur pengkaderan/pengaruh dari kelompok teroris.
Pencegahan Radikalisme di Sekolah: Sekolah dan Kementerian Pendidikan harus memperkuat program deradikalisasi dan kontra-narasi ideologi kekerasan, serta literasi digital untuk menangkal paparan konten ekstremisme daring.
Tindakan Anti-Perundungan: Kasus ini kembali membuktikan bahwa perundungan di sekolah adalah bom waktu. Sekolah harus menciptakan lingkungan yang aman, dengan mekanisme pelaporan yang efektif dan hukuman yang tegas bagi pelaku perundungan, serta pendampingan psikologis bagi korban.
Jangan biarkan sekolah, yang seharusnya menjadi tempat aman, berubah menjadi sarang kekerasan, baik yang berakar dari perundungan maupun ideologi ekstrem.
(Nargo)