Jumat, 16 April 2021|22:05:31 WIB
RADARRIAUNET.COM: Ketika vaksin Covid-19 diluncurkan ke publik, regulator di setiap negara harus mewaspadai terhadap reaksi dari vaksin usai penyuntikan. Walaupun uji klinis dinyatakan aman, ada beberapa efek samping yang menyebabkan peyumbatan atau pembekuan darah di otak.
Kewaspadaan meningkat ketika regulator Eropa mengumumkan bahwa adanya penggumpalan darah yang merupakan efek samping dari vaksin AstraZeneca.
Regulator vaksin Amerika Serikat merekomendasikan jeda dalam distribusi vaksin Johnson & Johnson (J&J) menyusul enam temuan kasus yang sama di antara penerima suntikan.
Platform pengembangan yang digunakan oleh kedua vaksin itu menggunakan Adenovirus, yang memasukkan gen virus corona yang sudah dilumpuhkan ke dalam tubuh menggunakan virus yang direkayasa secara genetik.
Dikutip BBC, Johnson & Johnson telah menghentikan distribusi vaksin jenis tersebut di Uni Eropa mulai minggu ini. Hal itu menanggapi kasus serupa usai dosis vaksin AstraZeneca dibatasi peredarannya.
Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) mengusulkan untuk memberi jeda distribusi sementara untuk berhati-hati. Satu pasien meninggal karena mengalami komplikasi pembekuan darah, dan satu orang dalam kondisi kritis.
Tetapi para ilmuwan masih mencari tahu mengapa efek samping hanya menerpa orang tertentu dan kebanyakan merupakan wanita muda.
Beberapa ahli medis sekarang bertanya-tanya apakah teknologi itu dapat dikaitkan dengan pembekuan darah.
"Mengapa kami melihat beberapa kasus ini untuk J&J dan AstraZeneca? Kami tidak tahu. Mungkin, bagaimana vektor diperkenalkan, karena itulah perbedaan terbesar," ujar perawat rumah sakit di Universitas Maryland St. Joseph Medical Center, Vivek Cherian.
Hingga kini regulator belum menemukan masalah pembekuan darah, terjadi pada penyuntikan vaksin Pfizer dan Moderna yang menggunakan teknologi pengembangan mRNA.
Reaksi vaksin Adenovirus
Gumpalan darah yang dimaksud yakni central venous sinus thrombosis (CVST) yang terbentuk di otak, sehingga dapat menyebabkan sakit kepala atau stroke. Dalam setahun, rata-rata kondisi ini terjadi sekitar lima orang dari satu juta orang.
Pada awal April pejabat medis Eropa telah mengidentifikasi 34 juta orang, dan menemukan 169 kasus CVST usai menerima suntikan vaksin virus Corona dari AstraZeneca.
Namun itu hanya lima kasus per satu juta suntikan. Hal ini membuat para peneliti ragu, apakah gumpalan darah di otak disebabkan oleh vaksin Corona dari AstraZeneca.
Tetapi CVST terjadi di antara sebagian wanita setelah menerima vaksin Corona Johnson & Johnson, barulah peneliti dapat membaca kemungkinan itu terjadi.
Regulator memperhatikan pola yang berbeda di antara semua kasus terkait vaksin. Selain CVST, pasien memiliki tingkat trombosit yang rendah. Sel darah yang tidak berwarna membantu pembentukan gumpalan.
"Jenis kombinasi trombosit rendah dan gumpalan darah sangat jarang terlihat di masa lalu, atau dalam situasi lain disebut sebagai fenomena autoimun. Tetapi sangat jarang," ujar direktur Pusat Evaluasi dan Penelitian Biologi FDA, Peter Marks kepada Business Insider.
Dalam sebuah penelitian kepada 11 orang yang ditemukan pembekuan darah setelah menerima vaksin AstraZeneca, mereka semua dinyatakan positif antibodi terhadap trombosit yang sama.
"Apakah ada mekanisme reaktif berdasarkan adenovirus, dan apakah itu mengaktifkan trombosit. Itulah yang tengah mereka (peneliti) cari," kata Peter Gulick, profesor kedokteran di Michigan State University.
Sebagian besar kasus CVST terjadi setelah suntikan AstraZeneca pada wanita berusia di bawah 60 tahun, sementara enam kasus J&J dilaporkan terjadi pada wanita berusia 18 hingga 48 tahun.
Cherian mencatat bahwa wanita muda memiliki tingkat estrogen yang lebih tinggi, membuat mereka lebih cenderung memiliki respons kekebalan yang kuat.
Sementara itu, Gulick menunjukkan bahwa wanita memiliki lebih banyak reseptor sel-T, yang juga dapat mendorong sistem kekebalan untuk bereaksi secara agresif terhadap virus asing.
"Dugaan saya terletak di suatu tempat bagaimana sistem kekebalan kita merespons pada sekelompok individu mendapatkan vaksin," kata Cherian.
Kesimpulannya adalah perlu waktu bertahun-tahun untuk peneliti menentukan klasifikasi orang yang berpotensi terjadi pembekuan darah usai suntik vaksin.
Sumber berita: CNN Indonesia