Rabu, 11 Maret 2020|13:51:25 WIB
RADARRIAUNET.COM: Mahkamah Agung (MA) menyatakan putusan atas peninjauan kembali atau judicial review (JR) Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan yang membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan langsung berlaku sejak tanggal putusan, yaitu 27 Februari 2020.
"Langsung berlaku sejak tanggal putusan," ujar Kabiro Humas MA Abdullah saat ditemui di kantornya, Jakarta, dikutip dari CNN Indonesia, Selasa (10/3).
Abdullah menjelaskan putusan ini tidak berlaku surut. Atas dasar itu, terang dia, pembayaran iuran sejak tanggal 1 Januari 2020 sampai waktu sebelum ada putusan tetap mengacu sebagaimana diatur dalam Perpres 75 Tahun 2019.
Dalam putusannya, MA menyatakan pasal 34 ayat (1) dan (2) bertentangan dengan pasal 23 A, Pasal 28 H jo Pasal 34 Undang-undang Dasar 1945. Selain itu juga bertentangan dengan Pasal 2, Pasal 4 huruf b, c, d, dan e, Pasal 17 ayat (3) Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Kemudian juga bertentangan dengan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4 huruf b, c, d, dan e Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, serta Pasal 4 jo Pasal 5 ayat (2) jo Pasal 171 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Berikut isi Pasal 34 ayat (1) dan (2) yang dibatalkan oleh MA: Pasal 34 ayat (1) Iuran bagi Peserta PBPU dan Peserta BP yaitu sebesar: a. Rp42.000 per orang per bulan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas III b. Rp110.000 per orang per bulan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas II c. Rp160.000 per orang per bulan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas I.Ayat (2) Besaran Iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2020.
"Masyarakat yang sudah membayar sejak bulan sebelumnya sudah didasarkan pada Perpres 75 [2019] dan itu masih berlaku, dan sah. Maka perubahan ini akan berlaku sejak pengucapan putusan," ucap Abdullah.
"Jadi, putusan ini tidak berlaku surut ke belakang, tetapi berlaku ke depan," lanjutnya.
Abdullah menuturkan faktor atau pertimbangan majelis hakim membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan adalah negara memiliki kewajiban dalam menjamin kesehatan warganya, dan beban hidup yang ditanggung oleh warga.
"Kenaikan iuran seharusnya tidak dilakukan saat ini di saat kemampuan masyarakat tidak meningkat, namun justru beban biaya kehidupan meningkat. Bahkan, tanpa diimbangi dengan perbaikan dan peningkatan kualitas pelayanan dan fasilitas kesehatan yang diperoleh dari BPJS," jelas Abdullah.
Terpisah Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Melki Laka Lena mengatakan BPJS Kesehatan maupun Kementerian Kesehatan bisa mencari jalan keluar terkait putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan kenaikan iuran lewat sidang uji materi, Senin (9/3) kemarin.
Melki menyebut banyak solusi yang bisa ditempuh untuk mengganti dana iuran masyarakat yang dibayarkan sejak kenaikan diberlakukan pada 1 Januari 2020. Misalnya opsi menggratiskan iuran bulan depan.
"Pasti ada jalan keluarnya, misalnya yang sudah dibayarkan oleh peserta kelebihannya dianggap sebagai iuran bulan berikutnya. Jadi bulan berikutnya tidak perlu bayar lagi, ini contoh," kata Melki kepada wartawan, Selasa (10/3).
Karena itu, dia meminta masyarakat sabar menunggu respons kedua lembaga itu terhadap putusan MA. Karena BPJS Kesehatan dan Kemenkes bisa menemukan jalan keluarnya.
Lebih lanjut Melki berpendapat putusan MA ini seharusnya menjadi momen BPJS Kesehatan berbenah diri. Dia tak sepakat dengan alasan pemerintah menaikkan iuran karena BPJS Kesehatan defisit anggaran.
Menurutnya, BPJS Kesehatan adalah cara pemerintah menjamin kesehatan warga negaranya. Sehingga BPJS Kesehatan tidak ditujukan untuk mencari keuntungan.
"Ini perspektif yang keliru. Kita ini sudah kayak bertransaksi dan berbisnis sama rakyat gitu loh. Kita lagi mengurus rakyat, memberikan uang, itu jaminan yang kita berikan, bukan defisit," tuturnya.
Politikus Partai Golkar itu berharap pemerintah bersedia duduk berdiskusi kembali dengan Komisi IX DPR RI. Melki berharap putusan MA bisa dijadikan momen pembenahan sistem jaminan kesehatan Indonesia.
"Ini jadi momentum agar berbagai aspek yang selama ini menjadi persoalan yang kami bahas di Komisi IX, terkait kepesertaan, pembiayaan layanan yang diperoleh dan sebagainya bisa betul-betul dituntaskan," ujarnya.
RR/cnni/zet