Kamis, 16 Januari 2020|11:46:53 WIB
RADARRIAUNET.COM: Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin pada September 2019 mencapai 24,79 juta orang. Jumlah itu menurun 0,36 juta orang terhadap Maret 2019 dan merosot 0,88 juta orang terhadap September 2018.
"Persentase penduduk miskin pada September 2019 sebesar 9,22 persen. Kalau dibandingkan Maret 2019, turun 0,19 poin," ujar Kepala BPS Suhariyanto dalam konferensi pers, dilansir dari laman CNN Indonesia, Rabu (15/1).
Meski jumlah orang miskin turun, disparitas kemiskinan antar desa dan kota masih tinggi. Tercatat, persentase kemiskinan kota sebesar 6,56 persen. Sementara, persentase penduduk miskin pedesaan mencapai 12,6 persen.
Kondisi tersebut tak jauh berbeda dengan posisi periode yang sama tahun lalu, di mana persentase kemiskinan perkotaan 6,89 persen dan pedesaan 13,1 persen.
"Masih perlu upaya lebih keras untuk menurunkan kemiskinan di pedesaan yang mayoritas penduduknya bekerja di sektor pertanian," ujarnya.
Sejumlah faktor mempengaruhi penurunan persentase tingkat kemiskinan Indonesia pada September 2019. Pertama, perubahan rata-rata upah buruh per hari.
Dalam hal ini, rata-rata upah nominal buruh tani per hari pada September 2019 naik 1,02 persen dibandingkan Maret 2019 menjadi Rp54.424 per hari. Upah nominal buruh bangunan per hari juga naik 0,49 persen menjadi Rp89.072.
Kedua, kenaikan nilai tukar petani (NTP) selama kuartal III 2019 selalu berada di atas 100 dengan tren meningkat. NTP Juli tercatat 102,63, Agustus 103,22 dan September 103,88.
Ketiga, angka inflasi yang rendah di mana selama periode Maret 2019-September 2019 nilainya 1,84 persen.
Keempat, harga eceran beberapa komoditas pokok merosot. Pada Maret-September 2019, harga komoditas yang turun di antaranya beras (turun 1,75 persen), daging ayam ras (turun 2,07 persen), minyak goreng (turun 1,59 persen), telur ayam ras (turun 0,12 persen), dan ikan kembung (turun 0,03 persen).
Kelima, rata-rata pengeluaran per kapita 10 persen penduduk terbawah pada Maret-September 2019 naik 4,01 persen atau lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan garis kemiskinan 3,6 persen.
Keenam, pelaksanaan program Bantuan Pangan Nontunai (BPNT) yang semakin gencar. Tercatat, jumlah kabupaten/kota penerima program BPNT hingga kuartal III 2019 mencapai 509 kabupaten/kota, lebih banyak dibandingkan kuartal I yaitu 289 kabupaten/kota.
Suhariyanto juga menyorot peranan komoditi makanan terhadap garis kemiskinan jauh lebih besar dibandingkan komoditi bukan makanan yaitu 73,75 persen.
Untuk itu, pemerintah perlu menjaga harga bahan pangan agar tidak terlalu berfluktuasi, terutama beras, rokok kretek filter, dan telur ayam ras.
"Sekali ada gejolak harga, misalnya beras, atau barang komoditas yang sering dikonsumsi penduduk miskin maka garis kemiskinan akan semakin tinggi," jelasnya.
Sebagai informasi, untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach) yang telah digunakan sejak 1998. Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur menurut garis kemiskinan.
Garis kemiskinan makanan adalah nilai pengeluaran minimum makanan setara 2100 kalori per kapita per hari. Sementara garis kemiskinan bukan makanan adalah nilai minimum pengeluaran untuk perumahan, sandang, pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan pokok bukan makanan lainnya.
"Garis kemiskinan kami pilah menjadi garis kemiskinan makanan dan bukan makanan, supaya kami bisa mendeteksi dengan detail apa yang menyebabkan kemiskinan sehingga kebijakan bisa lebih fokus," ujarnya.
Pada September 2019, garis kemiskinan nasional tercatat Rp440.538 per kapita atau Rp2.017.64 per rumah tangga miskin.
Ketimpangan Mengecil
Selain itu BPS juga mencatat tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk menyempit pada September 2019. Hal itu tercermin dari rasio gini yang berada di posisi 0,38. Angka itu lebih kecil dari Maret 2019 dan September 2018 yang masing masing sebesar 0,382 dan 0,384.
Sebelumnya, ketimpangan yang lebar menandakan ketidakmerataan pengeluaran masyarakat. Semakin tinggi angka rasio gini, ketimpangan semakin melebar. Sebaliknya, semakin kecil angka rasio gini, ketimpangannya semakin kecil.
"Untuk menurunkan ketimpangan memang memerlukan upaya yang luar biasa dan biasanya pencapaian itu baru bisa dirasakan dalam beberapa tahun karena untuk menurunkan ketimpangan tidak bisa seketika," ujar Kepala BPS Suhariyanto dalam konferensi pers, Rabu (15/1).
Di dalam menghitung rasio gini, BPS menggunakan standar yang digunakan Bank Dunia yakni membagi distribusi pengeluaran masyarakat dalam ketiga kelompok. Ketiga kelompok itu terdiri dari 40 persen masyarakat dengan pengeluaran rendah, 40 persen masyarakat pengeluaran menengah, dan 20 persen masyarakat pengeluaran tinggi.
Berdasarkan data BPS, 45,36 persen pengeluaran masyarakat Indonesia masih dilakukan oleh golongan 20 persen terkaya. Porsi tersebut turun dari sebelumnya 45,48 pada Maret 2019 lalu.
Selama Maret hingga September 2018, distribus pendapatan kian bergerak ke masyarakat golongan menengah. Tercatat, porsi kelompok 40 persen menengah naik dari 36,81 menjadi 36,93.
Sementara, pengeluaran golongan masyarakat tidak mampu atau 40 persen terbawah masih 17,71 persen dari total pengeluaran masyarakat.
"Distribusi pengeluaran 40 persen terbawah masih di atas 17 persen. Artinya, kalau mengikuti kriteria Bank Dunia, ketimpangan di Indonesia masih rendah," paparnya.
Kendati demikian, ketimpangan perkotaan masih lebih tinggi dibandingkan pedesaan. Tercatat, rasio gini perkotaan sebesar 0,391 atau lebih tinggi dibandingkan pedesaan 0,38.
"Kondisi ini terjadi hampir di semua negara. Kalau bicara ketimpangan, di kota pasti lebih tinggi dan ini kasat mata," tuturnya.
BPS juga mencatat rasio gini tertinggi masih berada di DI Yogyakarta sebesar 0,428. Kemudian disusul oleh Gorontalo sebesar 0,41 persen dan Jawa Barat sebesar 0,398 persen.
Adapun rasio gini terendah tercatat di Kepulauan Bangka Belitung 0,292, Kalimantan Utara 0,292, dan Sumatera Barat 0,307.
RR/cnni/zet