Jumat, 22 November 2019|16:22:40 WIB
RADARRIAUNET.COM: Presiden Joko Widodo menunjuk Angkie Yudistia sebagai salah satu staf khusus presiden. Wanita berusia 32 tahun ini dikenal sebagai penyandang disabilitas berpengaruh di Indonesia.Sejak usia 10 tahun, Angkie kehilangan pendengarannya. Dugaan sementara, hal itu tidak terlepas dari konsumsi obat-obatan antibiotik saat ia mengidap penyakit malaria.
“Awalnya aku enggak tahu (ada gangguan pendengaran), sampai lingkungan sekitar bilang sudah manggil-manggil, tetapi aku enggak dengar, enggak nengok,” cerita Angkie dikutip dari laman Kompas.com, Kamis (21/11).
Mengidap keterbatasan pendengaran saat remaja bukanlah hal yang mudah untuk Angkie. Ia kerap merasa tertekan dan kurang percaya diri. Setidaknya, butuh waktu 10 tahun bagi penulis buku Perempuan Tunarungu, Menembus Batas itu untuk bangkit.
Lulus dari SMAN 2 Bogor, Angkie kemudian melanjutkan kuliah Jurusan Ilmu Komunikasi di London School of Public Relations Jakarta. Kehidupan di kampus itulah yang kemudian sedikit demi sedikit mengubah pola pikirannya.
Ia mulai sadar, bila ia tidak pernah menerima kekurangannya, sampai kapan pun ia tak akan pernah menikmati hidupnya."Dosenku bilang, kamu jujur sama diri kamu sendiri. Kalau kamu sudah jujur sama diri sendiri dan jujur sama orang lain, orang lain akan mengapresiasi kejujuran kita. Jadi benar, ketika aku jujur, mereka jadi sangat bantu," ucap Angkie.
Pada 2008, ia didapuk menjadi salah satu finalis Abang None Jakarta. Masih pada tahun yang sama, ia didapuk sebagai "The Most Fearless Female Cosmopolitan 2008".
Setelah itu, Angkie mendirikan Thisable Enterprise bersama rekan-rekannya untuk membantu memberdayakan mereka yang memiliki keterbatasan. Sulitnya memperoleh pekerjaan menjadi alasan ia mendirikan Thisable Enterprise.
Ia kemudian bekerja sama dengan Gojek Indonesia untuk mempekerjakan orang-orang dengan disabilitas di Go-Auto dan Go-Glam. Selain itu, para penyandang disabilitas didukung untuk mengembangkan ide kreatif untuk membuat suatu produk, salah satunya yang sudah ada saat ini adalah membuat produk kecantikan."Aku percaya, tuli itu juga SDM milik negara, aset negara, jadi kita juga memiliki hak," kata Angkie.
Angkie mengaku sebelumnya dibawa orangtuanya secara rutin untuk periksa masalah pendengaran. Setiap kali melakukan pemeriksaan enam bulan sekali, hasilnya selalu buruk. Fungsi pendengaran Angkie terus menurun. Ia juga sempat mengalami tinitus atau telinga berdengung saat SMP.Berbagai pengobatan telah ia jalani, tetapi tak bisa mengembalikan pendengarannya seperti semula. Angkie akhirnya menggunakan alat bantu dengar.
"Waktu itu pakai alat bantu dengar bukan perkara mudah, susah dan malu banget. Orang pikir itu apa sih di belakang telinga. Karena kalau kita berpikir sesuatu yang sempurna, kalau ada yang enggak sempurna itu jadi di-bully," tutur Angkie.
Mengalami keterbatasan pendengaran saat remaja adalah masa sulit bagi Angkie. Ia kerap merasa tertekan dan kurang percaya diri. Meski demikian, penulis buku Perempuan Tunarungu, Menembus Batas ini tak pernah patah semangat untuk mengenyam pendidikan.
Lulus dari SMAN 2 Bogor, Angkie melanjutkan kuliah jurusan Ilmu Komunikasi di London School of Public Relations Jakarta. Saat kuliah, perlahan Angkie bisa menerima keterbatasan yang dimilikinya. Ia banyak belajar kata-kata dengan membaca buku.
Angkie mulai sadar, bila ia tidak pernah menerima dirinya sendiri, sampai kapan pun tak akan bisa menikmati hidupnya. Dukungan orangtua juga membuat Angkie bangkit kembali untuk menjalani kehidupannya.
Perlahan, ia dapat mengatasi mental block terhadap diri sendiri. Angkie juga teringat ucapan seorang dokter spesialis THT(telinga, hidung, dan tenggorokan) yang mengatakan jika kesembuhannya ada di tangan Tuhan.
"Jadi, ini sudah jalan hidup. Ada maksud Tuhan di balik ini semua.Dari kuliah komunikasi aku mulai bisa menerima dan menemukan jati diri aku sebenarnya," ucapnya.
RR/kps/zet