Selasa, 18 Juni 2019|15:18:07 WIB
Jakarta : Tim kuasa hukum Ratna Sarumpaet menyebut jeratan hukum yang digunakan oleh jaksa penuntut umum terhadap kliennya tidak tepat. Pasal yang digunakan itu justru disebut sebagai pasal basi.
Salah satu pengacara Ratna, Desmihardi membacakan pleidoi atau pembelaan kliennya di ruang sidang utama Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (18/6/2019).
Desmihardi menggunakan analisis dari Profesor Andi Hamzah tentang pasal tersebut yang disebutnya sudah basi. Pasal itu juga tidak pernah digunakan untuk menjerat seseorang.
"Pasal yang selama 73 tahun belum pernah digunakan untuk menjerat tindak pidana, pasal yang hanya digunakan pada zaman revolusi, apabila terjadi keonaran dan kedaruratan dalam masyarakat," ujarnya.
"Pasal yang menurut Prof Andi Hamzah disebut pasal basi. Karena selama 73 tahun berlalu, terutama pasca orde baru pasal ini tidak pernah diterapkan," tuturnya kemudian.
Menurut Desmihardi, dengan pasal tersebut jaksa harus membuktikan apakah berita bohong Ratna mempunyai pengaruh yang merugikan, korban yang dirugikan dan terjadi keonaran sehingga situasi nasional diliputi ketakutan yang merugikan masyarakat. Sebab, kata dia, pasal tersebut merupakan pasal materiil.
Dilanjutkan oleh Insank Nasruddin, pasal yang digunakan oleh jaksa tidak dapat diberlakukan. Pasal itu disebutkannya sudah memiliki instrumen pengganti.
Barang bukti berupa aksi demonstrasi mahasiswa, pertemuan aktivis yang dilakukan Fahri Hamzah, konferensi pers Prabowo Subianto, perdebatan di media sosial tidak dapat dijadikan acuan keonaran.
"Tifak berdampak jatuhnya korban, rusaknya fasilitas umum dan nampak (penggunaan pasal) dipaksakan," tuturnya.
Penyidik Polda Metro Jaya yang dihadirkan oleh jaksa dianggap Insank juga melanggar aturan dan menjadi saksi yang tidak sah. Sebab penyidik tidak mendengar dan melihat peristiwa secara langsung.
Insank juga mempermasalahkan ahli sosiologi Trubus yang dihadirkan oleh jaksa. Menurut dia, Trubus tidak memenuhi kriteria sebagai ahli.
Selain itu, Insank mengatakan keonaran yang dimaksud oleh Jaksa adalah perdebatan yang terjadi di media sosial. Padahal keonaran yang dimaksud dalam pasal tersebut harus yang terjadi di tengah masyarakat.
"Dunia maya sifatnya semu, pembuktian keonaran tidak boleh multitafsir," tuturnya.
Dia pun menolak tuntutan enam tahun yang diajukan oleh jaksa.
"JPU telah salah menerapkan pasal," ucapnya.
Dalam kasus ini Ratna dituntut enam tahun penjara. Dia dianggap memenuhi unsur menyebarkan hoaks yang mengakibatkan keonaran seperti diatur dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Hukum Pidana.
Diketahui UU Nomor 1 tahun 1946 merupakan penegasan dari hukum pidana yang dirancang pada masa kolonial. Soekarno meneken peraturan tersebut pada tanggal 26 Februari 1946 dan menjadikannya sebagai dasar hukum perubahan Wetboek van Strafrecht voor Netherlands Indie menjadi Wetboek van Strafrecht (WvS). Dua istilah ini dikenal dengan nama Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Berita bohong pemukulan Ratna bermula pada September 2018. Ketika itu, sejumlah politikus mengabarkan Ratna Sarumpaet dipukul sekelompok orang di Bandung. Foto-foto Ratna lebam beredar di media sosial.
Namun, Ratna akhirnya mengaku luka lebam itu bukan disebabkan karena pemukulan melainkan operasi kecantikan.
RRN/CNNI