Menanti Putusan MK di Antara Mental Legawa dan Isu Kecurangan
Mahkamah Konstitusi (MK) melakukan sidang perdana Perselisihan Hasil Pemilu (PHPU) Pilpres 2019 yang dimohonkan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno pada 14 Juni 2019. cnni pic

Menanti Putusan MK di Antara Mental Legawa dan Isu Kecurangan

Jumat, 14 Juni 2019|12:05:21 WIB




Jakarta : Mahkamah Konstitusi (MK) akan memulai sidang perdana sengketa Pilpres 2019 yang dimohonkan oleh paslon nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno pada Jumat (14/6/2019). Karena tak ada lagi upaya hukum untuk menggugat hasil pemilu, kedua kubu pun diminta untuk bersiap menerima alias legawa apapun putusan MK dan mendinginkan suasana.

Sesuai UU MK, putusan sengketa hasil pemilihan umum (PHPU) harus diterbitkan maksimal 14 hari kerja, yakni pada 28 Juni. Ketua MK Anwar Usman mengatakan itu hanya batas maksimal, sehingga putusan atas perkara nomor 01/PHPU-PRES/XVII/2019 itu bisa saja dibacakan lebih cepat.

Berdasarkan Pasal 24C ayat 1 UUD 1945, MK diberikan kewenangan untuk memutus perselisihan tentang hasil pemilu. Kemudian merujuk pada Pasal 77 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK, setidaknya ada tiga kondisi putusan lembaga peradilan konstitusi tersebut.


Pertama adalah jika MK berpendapat permohonan tidak memenuhi syarat, maka amar putusan menyatakannya tak dapat diterima. Kedua, jika MK berpendapat permohonan beralasan, amar putusan menyatakan dikabulkan. Dan, MK akan membatalkan hasil rekapitulasi nasional yang sudah diumumkan KPU lalu menetapkan hasil penghitungan suara yang benar. Dan, terakhir jika MK berpendapat permohonan tidak beralasan, amar putusan pun menyatakan permohonannya ditolak.

Pada UU yang sama, pasal 10 menyatakan putusan MK bersifat final atau berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan. Walhasil, tak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh.

Jika merujuk berkas permohonan yang dimasukkan tim kuasa hukum Prabowo-Sandi ke MK disebutkan dalam petitumnya ada kecurangan terstruktur, sistematis dan masif (TSM) dalam Pilpres 2019. Atas dasar itu, mereka menilai perhitungan suara nasional yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak sah.


Prabowo-Sandi, dalam petitum permohonan, meminta MK membatalkan hasil perhitungan suara yang telah ditetapkan KPU. Mereka pun meminta MK agar menyatakan bahwa paslon nomor urut 01 Joko Widodo (Jokowi)-Ma'ruf telah melakukan pelanggaran dan kecurangan yang bersifat TSM.

Mereka juga meminta MK agar membatalkan atau mendiskualifikasi Jokowi-Ma'ruf dari peserta Pilpres 2019. Kemudian, menetapkan Prabowo-Sandi sebagai pemenang Pilpres 2019 dengan perolehan 52 persen suara. Unggul atas Jokowi-Ma'ruf dengan 48 persen suara.

Paslon 02 juga meminta MK agar memerintahkan KPU menerbitkan surat penetapan Prabowo-Sandi sebagai presiden dan wakil presiden terpilih seketika usai putusan dibacakan.

Majelis hakim MK dijadwalkan akan membacakan putusannya paling lambat 28 Juni.


Pengamat politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Adi Prayitno menekankan sidang perselisihan di MK merupakan proses terakhir sebelum pemenang Pilpres 2019 akhirnya ditetapkan KPU dan dilantik oleh MPR. Atas dasar itu, kata dia, dua capres berkompetisi dalam Pilpres 2019 itu harus menghormati apa pun putusan yang dibacakan MK.

"Apa pun putusan MK, Jokowi dan Prabowo harus menerima itu sebagai keniscayaan proses politik," ucap Adi seperti sitat CNNIndonesia.com, Jumat (14/6/2019).

Setelah MK mengeluarkan putusan, Adi berharap baik Jokowi maupun Prabowo mengeluarkan pernyataan yang mendinginkan suasana, menurunkan tensi politik pendukung masing-masing.

"Saya kira, keduanya perlu pidato meminta agar tidak ada lagi yang saling mencaci. Apalagi kalau Jokowi dan Prabowo bicara kepada publik bersama-sama setelah mengadakan pertemuan. Itu pasti menjadi momen yang sangat bagus setelah bertarung di Pilpres. Itu sangat negarawan," kata Adi.


Jokowi dan Prabowo, lanjut Adi, pun sebaiknya meminta kepada para pendukung masing-masing dan seluruh lapisan masyarakat agar tidak lagi terlibat dalam perdebatan yang hanya mengakibatkan gesekan. Menurutnya, itu perlu dilakukan agar kondisi di masyarakat tidak panas setelah MK mengeluarkan putusan.

Misalnya, jangan ada lagi pihak-pihak pendukung Jokowi yang menuding Prabowo sosok provokatif dan tidak negarawan atau tuduhan lain yang bersifat negatif. Jangan sampai ada lagi tagar di Twitter yang hanya membuat perselisihan terpelihara. Misalnya tagar #tangkapPrabowo yang pernah menggema di Twitter usai kerusuhan di depan kantor Bawaslu RI pada 21 dan 22 Mei lalu.

"Sikap-sikap seperti itu mempersulit proses rekonsiliasi," nilai Adi.


Di satu sisi, Adi pun meminta Prabowo juga sebaiknya meminta para pendukung agar tidak lagi menuding Pilpres 2019 sarat dengan kecurangan. Apabila MK telah mengeluarkan putusan, harus dihormati semua pihak. Baik Prabowo, maupun para pendukungnya.

Jika memang narasi kecurangan masih ingin dipelihara, lanjut Adi, sebaiknya Prabowo juga tidak mengakui hasil Pemilu Legislatif 2019. Asumsi itu tak lepas dari pelaksanaan Pemilu 2019 yang mana pileg dan pilpres digelar serentak.

"Kalau narasi itu dibangun terus, kualitas demokrasi menjadi tidak baik. Berarti anggota legislatif juga merupakan produk pemilu yang curang. Termasuk anggota legislatif dari Gerindra," kata Adi.


Risiko Pembelahan Opini di Tengah Masyarakat


Menurut Adi, sebenarnya pembelahan di masyarakat akibat perbedaan pandangan politik akan selalu ada. Meskipun proses pemilu sudah selesai, dan MK telah mengeluarkan putusan, Adi memprediksi pembelahan antara pendukung Jokowi dan Prabowo akan tetap ada. Bahkan meski rekonsiliasi telah dilakukan sekali pun.

Baginya, jauh lebih penting agar Jokowi dan Prabowo beserta politisi lainnya mendorong agar kritik dan narasi yang beredar di masyarakat tidak lagi bernuansa negatif. Kritik harus dilontarkan demi kemajuan bangsa secara keseluruhan. Tidak seperti yang berseliweran di khalayak selama ini.

"Jadi apapun yang terjadi harus diterima dengan lapang dada. Kritik-kritik politik harus bersifat substansial. Jangan ada lagi fitnah-fitnah seperti PKI, Cina, dan lain-lain," kata Adi.

Sementara itu, Sosiolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Arie Sujito menilai manuver-manuver elite politik terkait putusan MK nanti secara tidak langsung terpengaruh apa yang telah terjadi pada 21 dan 22 Mei 2019.


Di satu sisi, menurut peneliti ideologi politik dan basis sosial ini, di akar rumput sebetulnya situasi sudah lebih 'dingin' pascapilpres 2019. Hal yang patut diwaspadai, kata dia, adalah di tingkat kelas menengah dan elite yang masih terbilang rajin mendistribukasikan kabar-kabar terkini baik benar maupun hoaks.

"Di tingkat-tingkat elite itu lah yang perlu diwaspadai jika terjadi manuver-manuver lain. Tapi, pascaperistiwa 22 Mei lalu, itu telah menjadi warning, bahwa ke sininya elite harus pandai-pandai mengelola manuver sehigga tidak berdampak negatif, yang justru malah menyerang dirinya sendiri," ujar Arie, seperti sitat CNN Indonesia, Jumat (14/6/2019).

Misalnya, aksi massa di depan Bawaslu RI, di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, 21-22 Mei. Aksi yang semula berlangsung damai pada siang hingga petang hari itu berubah jadi kerusuhan pada malam hari. Kerusuhan pun terjadi hingga keesokan harinya dan menyebar ke daerah sekitar Bawaslu karena polisi berusaha meredam keributan massa.


"Apa yang terjadi pada 21 dan 22 Mei itu akan menjadi pelajaran, sehingga aktor-aktor politik akan berpikir dua kali untuk melakukan manuver-manuver berisiko [pascaputusan MK]," ujar pengajar di departemen sosiologi FISIP UGM tersebut.

Arie pun mengingatkan kembali bahwa putusan MK adalah hasil final yang harus dipatuhi, dan tidak bisa digugat lagi. Hal tersebut, kata dia, pastilah akan masuk ke dalam perhitungan politis bagi semua pihak yang terlibat dalam kontestasi pemilu ini.

Lebih lanjut, Arie mengatakan sembilan hakim konstitusi yang akan menangani perkara PHPU Pilpres 2019 itu pun patut dinanti integritasnya. Para hakim, kata Arie, tentunya akan bertaruh untuk menangani perkara tersebut seadil-adilnya tanpa terpengaruh tekanan dari pihak mana pun.


RRN/CNNI







Berita Terkait

Baca Juga Kumpulan Berita NEWS

MORE

MOST POPULAR ARTICLE