Senin, 20 Mei 2019|10:40:48 WIB
RADARRIAUNET.COM: Pada masa Pendudukan Imperialis Jepang, pernah terjadi peristiwa radikalisasi gerakan kaum tani di Indramayu di pimpin tokoh – tokoh pemuka agama berpengaruh disana, yakni Kiai Sulaiman,Kiai Serengseng, Haji Akhsan, Kiai Abdul Ghani(Kaplongan), Kiai Madrais (Cidempet), Kiai Muktar (Kertasmaya), Tasiah (Pranggong), Haji Dulkarim (Panyindangan Kidul), Sura (Sindang) dan Karsina (slijeg) antara bulan april sampai agustus 1944 yang membuat kewalahan Penjajah Jepang yang dilakukan secara besar – besaran menyebar ke pelosok – pelosok Desa di Indramayu, mengobarkan perlawanan sengit yang membuat kewalahan pasukan tentara Jepang yang dibantu polisi dan tentara Pribumi.
Pemberontakan kaum tani Indramayu melawan pemerintah Jepang ini, jarang diketahui banyak orang, hanya sebagian kecil masyarakat di Jawa Barat mengetahui peristiwa tersebut sebagai catatan sejarah perlawanan rakyat jelata melawan kesewenang – wenangan bangsa asing di tanah air yang bisa dijadikan pemicu membangkitkan semangat kaum tani di Jawa Barat khususnya di Indramayu yang sampai sekarang masih mengalami kesewenangan – wenangan dan katidak adilan penguasa, menjadi objek penghisapan dan penindasan kaum pemodal menyingkirkan secara paksa kaum tani dari lahan – lahan garapannya untuk dialih fungsi Proyek – proyek pembangunan.
Pada bulan November 2018 lalu, Sawin, Sukma dan Nanto tiga buruh tani asal Pulokuntul Desa Mekarsari, Kecamatan Patrol Kabupaten Indramayu dikriminalisasi atas tuduhan menghina bendera nasional karena menancapkan bendera merah – putih terbalik, kasus tersebut bermula protes menolak pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara 2 di Indramayu yang secara prosedural cacat hukum dan berdampak buruk terhadap ekosistem dan kegiatan ekonomi masyarakat.
PLTU 1 yang telah ada sejak 2016 dengan kapasitas 2 x 330 MW dan 1 cerobong asap saja dalam satu bulan dapat menghasilkan lebih dari 1 ton abu. Masyarakat mengkhawatirkan dampak yang lebih buruk jika PLTU 2 dengan kapasitas 2 x 1000 MW dan 6 cerobong asap terealisasikan. Selain itu, pembangunan PLTU ini mengalihfungsikan lahan pertanian yang selama ini menjadi mata pencaharian masyarakat setempat.
sudah banyak langkah yang telah ditempuh masyarakat Mekarsari. “Masyarakat sudah mengajukan banding ke Pengadilan Bandung, tanggal 4 Desember 2017 dan mendapat kemenangan, Masyarakat yang tergabung dalam Jaringan Tanpa Asap Indramayu (JATAYU) merayakan kemenangannya dengan memasang bendera-bendera merah putih di perbatasan pemukiman warga dan proyek. Kemenangan ini ternyata menjadi awal yang buruk bagi Sukma, Sawin, dan Nanto.
Selang dua hari, masyarakat mendapati bendera-bendera beserta tongkatnya tidak berada ditempat. Hari berikutnya, ternyata bendera terpasang kembali tetapi dengan kondisi terbalik. Mereka yang tidak lain adalah penanggung jawab, dituduh telah memasang bendera-bendera dengan kondisi terbalik. Pada dini hari 24 Desember 2017, dengan kasar dan tidak etis, aparat menangkap Sukma, Sawin, dan Nanto dan menjadikan mereka sebagai tahanan jalan.
Di latar – belakangi yang hanya diketahui sebagian kecil masyarakat di Jawa Barat sebagaimana setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia secara administrasi wilayah Indramayu menjadi bagian Kabupaten Provinsi Jawa Barat masuk kedalam kategori daerah pesisir pantai yang rata – rata bermata pencarian nelayan dan petani.
Kembali kita kepada pembahasan awal Pemberontakan Kaum Tani Indramayu pada masa penjajahan Imperialis Jepang sebagai peristiwa aksi protes bersenjata menentang kewajiban menyerahkan padi kepada pemerintah Imperialis Jepang yang disebut politik padi sebuah peraturan yang mewajibkan seluruh hasil panen milik para petani harus diserahkan kepada pemerintah Imperialis Jepang kecuali hanya dua gedeng atau sekitar 10 kilogram padi yang boleh disimpan untuk satu keluarga.
Para Petani di Indramayu keberatan dengan aturan Pemerintah Imperialis Jepang ini, tidak terima atas peraturan sepihak kebilang menghisap jerih payah para petani,menimbulkan kemarahan kaum tani, jalannya pemberontakan diawali di Desa Kaplongan dibawah kepemimpinan Kiai Arsyad Seorang Guru Agama disegani di Desa itu, Beliau dengan tekad bulat melawan Jepang beserta antek – anteknya yang menerapkan politik padi yang dianggap mencekik leher kaum tani Indramayu.
Peristiwa Pemberontakan kaum tani Indramayu ini berlangsung antara bulan April sampai agustus 1944 selama musim panen besar, sebuah rangkaian perlawanan kaum tani paling besar dibandingkan Perlawanan sebelumnya di Indramayu pada tahun 1943 dibawah Sarekat Islam mengobarkan perlawanan Anti Pamong Praja danAnti Cina, dimana Kaum Tani Desa Kaplongan menjadi pionir Desa – Desa lainnya di Indramayu, merambat dengan cepat perlawanan tersebut kurang dari satu bulan ke Kecamatan Sindang dan Lohbener,Desa Cidempet dan Bugis Anjatan secara seporadis ke Desa – desa sekitarnya.
Namun, perlengkapan senjata yang terbatas dimiliki kaum tani, menggunakan Batu bata, golok dan Bambu Runcing dibandingkan Pasukan Tentara Jepang yang di lengkapi senjata api jenis senapan laras panjang, pemberontakan dan perlawanan kaum tani dapat ditumpas Pemerintah Imperialis Jepang, Desa – Desa yang dianggap sebagai basis – basis pemberontakan kaum tani di bakar habis si Jago Merah,sehingga para pemberontak yang selamat menyelamatkan diri kehutan, sampai tersingkirnya Jepang dari Indonesia karena menyerah tanpa syarat kepada sekutu.
Setelah Indonesia Merdeka para petani yang berontak itu masih melakukan perang gerilya,melakukan perlawanan terhadap Tentara Sekutu yang di boncengi Tentara Belanda untuk menjajah kembali Indonesia antara tahun 1946 – 1947 di Desa Larangan Kecamatan Kertasemaya dalam bentuk Perlawanan Rakyat melakukan kontak senjata dengan Tentara Sekutu dan Belanda.
Namun, diantara diantara gerakan perlawanan rakyat di Indramayu melawan Belanda paling dasyat terjadi di Kampung Siwatu, yaitu pembumihangusan Kampung Siwatu karena kampung tersebut dijadikan tempat persembunyian para pejuang dari Pesantren Wotgali Indramayu.
Gerakan Perlawanan Rakyat Indramayu mungkin berbeda dengan gerakan di Aceh ataupun di Singaparna, gerakan Perlawanan Rakyat Indramayu bisa dikatakan gerakan murni dilakukan Kaum Tani yang dipaksa menyerahkan padi kepada Pemerintah Imperialis Jepang yang menimbulkan reaksi keras dari para petani yang digerakan oleh Tokoh – Tokoh Pemuka Agama Berpengaruh Indramayu tanpa adanya basis ideologi tertentu, lebih dilandasi pemerasan yang dilakukan Pemerintah Imperialis Jepang, sehingga membangkitkan kemarahan para petani untuk memperjuangkan kepentingan bersama.
Ketua KPW – STN Jawa Barat
RRN/WH