Jumat, 01 Maret 2019|13:38:15 WIB
Jakarta: Menteri Koordinator bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan optimistis harga minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO) bisa menyentuh level US$800 per metrik ton dalam dua tahun mendatang. Angka itu melonjak 50 persen lebih dari harga CPO di pengujung tahun lalu US$507,5 per metrik ton.
Hal itu dipicu oleh keyakinan bahwa permintaan CPO akan naik seiring kemampuan industri nasional dalam mengolah Bahan Bakar Minyak (BBM) hijau atau green fuel.
Sekadar informasi, CPO bisa langsung diolah menjadi BBM hijau siap pakai. BBM hijau terdiri dari bensin hijau (green gasoline) dan diesel hijau (green solar). Saat ini, PT Pertamina (Persero) sudah memodifikasi kilangnya di Plaju agar bisa memproduksi green gasoline dengan kadar oktan 91,3 sebanyak 64.500 kiloliter (kl) per bulan.
Dengan demikian, green fuel ini berbeda dengan kebijakan pencampuran 20 persen biodiesel kepada BBM jenis Solar, atau biasa disebut B-20. Selain itu, bahan sawit yang digunakan di dalam green fuel adalah Refined Bleached Deodorized Palm Oil (RBDPO), bukan Fatty Acid Methyl Esther (FAME) seperti biodiesel.
"Dengan green fuel ini kami harap bisa memelihara harga palm oil di angka US$800 per metrik ton," jelas Luhut, seperti sitat CNN Indonesia, Jumat (1/3/2019).
Luhut melanjutkan permintaan sawit dari dalam negeri cukup penting karena ada potensi lonjakan suplai CPO di masa depan. Ia menyebut saat ini produktivitas (yield) perkebunan kelapa sawit Indonesia mencapai 1,9 ton hingga 2 ton Tandan Buah Segar (TBS) per hektare (ha).
Setelah melakukan pertemuan dengan Asosiasi Petani Sawit Indonesia (Apkasindo), ia baru tahu bahwa yield kebun kelapa sawit beberapa tahun lagi bisa mencapai 9,5 ton TBS per ha.
Dengan asumsi yield tersebut, menggunakan perhitungan secara kasar, ia menaksir akan ada produksi CPO sebanyak 80 juta ton, atau melonjak 68,06 persen dibanding realisasi 2018 yakni 47,6 juta ton. Banyaknya suplai tentu bisa menekan harga, maka penggunaan CPO domestik harus menjadi prioritas agar harga tak semakin jatuh.
Menurut data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), harga CPO pada awal 2018 tercatat US$685 per metrik ton dan melorot terus hingga menjadi US$507,5 per metrik ton di pengujung tahun lalu.
"Produksi CPO bisa menyentuh 80 juta dari lahan seluas 14 juta ha. Kalau tidak ada apa-apa, pasti harga akan jeblok. Makanya itu harus bakar jadi green fuel," tutur dia.
Dengan penggunaan green fuel, impor migas Indonesia diharapkan juga bisa ditekan. Alhasil, itu juga bisa berdampak baik bagi defisit transaksi berjalan Indonesia.
Sepanjang 2018, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat defisit neraca migas sebesar US$12,4 miliar sebagai biang kerok defisit transaksi perdagangan yang mencapai US$8,56 miliar. Akibatnya, transaksi berjalan Indonesia mengalami defisit sebesar US$31,1 miliar atau 2,98 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
"Saya pikir, jika B-20 diteruskan ini dampaknya akan lumayan ke defisit transaksi berjalan. Kalau diteruskan dengan green fuel, dampaknya saya rasa akan lebih baik," jelasnya.
RRN/CNNI