Jumat, 01 Februari 2019|00:15:09 WIB
Pekanbaru: Melansir/menyitat riaupos.co Kamis 31 Januari 2019. Badan Akuntabilitas Publik (BAP) Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia (RI), menindaklanjuti temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI tahun 2018 terkait adanya kerugian negara yang terjadi di lima daerah pemerintah di Provinsi Riau. Total kerugian negara tersebut jika ditotal mencapai Rp1,7 triliun.
Tindak lanjut tersebut dilakukan dengan cara menggelar rapat bersama lima daerah yang mendapatkan catatan BPK tersebut, di antaranya Pemerintah Kabupaten Siak, Bengkalis, Indragiri Hulu, Kota Dumai dan Pemerintah Provinsi Riau, di Kantor Gubernur Riau, Rabu (30/1/2019) siang.
Jika dirincikan, total kerugian negara tersebut, yakni Pemerintah Provinsi Riau Rp972,4 miliar, Kabupaten Bengkalis Rp271,2 miliar, Kabupaten Inhu Rp240,8 miliar, Kota Dumai Rp71,7 miliar dan Kabupaten Siak Rp145,8 miliar.
Ketua BAP DPD RI, Gafar Usman mengatakan, rapat ini dilakukan untuk mendapatkan pandangan yang komprehensif mengenai permasalahan temuan BPK yang belum ditindaklanjuti pemerintah daerah di Riau, karena itu pihaknya memandang hal ini perlu mengadakan rapat kerja.
“Kami ingin memperoleh informasi sejauh mana rekomendasi BPK telah ditindaklanjuti oleh masing-masing pemerintah daerah guna menjamin bahwa pertanggungjawaban atas pengelolaan keuangan negara yang merugikan,” katanya.
Lebih lanjut dikatakannya, dalam rapat tersebut pihaknya juga ingin mendapatkan penjelasan mengenai langkah-langkah dan kendala-kendala yang dihadapi oleh Pemprov Riau, Pemda di Riau dalam menindaklanjuti temuan hasil pemeriksaan BPK, khususnya yang menyangkut kasus-kasus yang dapat mengakibatkan kerugian negara dan daerah.
“Ini juga dalam rangka pengawasan atas pelaksanaan Undang-Undang APBN maupun dalam rangka tindak lanjut hasil pemeriksaan BPK yang keduanya diamanatkan oleh UUD 1945,” jelasnya.
Karena menurutnya, sesuai dengan kewenangan BAP DPD RI perihal pengawasan, maka Riau salah satu yang menjadi pengawasan pihaknya terkait hasil temuan BPK.
“Kami juga pertanyakan sudah berapa temuan BPK yang ditindaklanjuti. Kemudian yang belum ditindaklanjuti. Kami minta kepastian kapan bisa diselesaikan. Kemudian kelima daerah itu menyanggupi paling lama ditindaklanjuti Juni tahun ini,” sebutnya.
Untuk temuan yang tidak bisa ditindaklanjuti, demikian Gafar Usman, pihaknya menyiapkan diri kepada daerah untuk mediasi kepada BPK pusat. Namun itu tentunya harus melampirkan syarat administrasi.
“Misalnya orangnya sudah meninggal, tentu harus ada bukti meninggal, lalu ahli warisnya tidak mampu membayar hasil temuan BPK, tentu harus ada surat keterangan tidak mampu,” ujarnya.
Menurut Gafar Usman, selama syarat-syarat tersebut dipenuhi, sesuai kewenangan pihaknya akan memperjuangan dan mediasi ke BPK pusat.
“Sedangkan kalau menyangkut regulasi, kenapa yang bersangkutan tak sanggup membayar karena ada aturan. Kami akan membuat daftar inventarisasi masalah (DIM) yang akan menjadi masukan dalam perubahan undang-undang,” tutupnya.
Sementara itu, Kepala Inspektorat Riau Evandes Fajri mengatakan, salah satu yang menyebabkan ditemukannya kerugian negara tersebut yakni adanya rekanan yang menghilang di tengah kontrak kerja dan tidak bisa dihubungi lagi.
“Kalau kaitannya dengan pejabat, ada majelis tuntutan ganti rugi namanya. Nanti dipanggil yang bersangkutan diminta untuk memberikan jaminan ganti rugi tanah atau rumah sesuai dengan jumlah kerugian negara,” jelasnya.
Kembalikan Uang Tak Dipidana, Bentuk Toleransi kepada pelaku Korupsi
Baru-baru ini Indonesia Corruption Watch (ICW) mengkritik penegak hukum.
Sebut Kembalikan Uang Korupsi Tak Dipidana, Kabareskrim Diminta Mengklarifikasi.
Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai Kabareskrim Polri Komjen Pol Ari Dono Sukmanto perlu mengklarifikasi pernyataannya terkait perjanjian kerja sama dalam penanganan aduan korupsi di daerah.
Ari mengatakan dalam kesepakatan tersebut, oknum pejabat pemerintahan daerah yang terindikasi melakukan korupsi bisa dihentikan perkaranya jika mengembalikan uang yang dikorupsinya.
Anggota Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW Lalola Easter mengatakan, ketentuan tersebut tidak diatur dalam perjanjian.
"Kabareskrim harus klarifikasi soal pernyataannya, materi soal pengembalian kerugian negara menghapus pidana tidak ada dalam perjanjian," ujar Lalola disitat dari kompas.com, Jumat (2/3/2018).
Menurut Lalola, pernyataan Ari keliru jika suatu korupsi bisa dihentikan perkaranya jika oknum pejabat daerah mengembalikan uang yang dikorupsi.
Pasal 7 ayat 5 Perjanjian Kerja Sama Antara Kementerian Dalam Negeri dengan Kejaksaan dan Polri menyebutkan, suatu dugaan tindak pidana korupsi dapat hilang atau hanya dikategorikan kesalahan administrasi jika tidak terdapat kerugian negara/daerah.
Kemudian, pelanggaran pejabat daerah dikategorikan kesalahan administrasi apabila terdapat kerugian negara dan telah diproses melalui tuntutan ganti rugi sesuai pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Lalola menilai pasal tersebut tidak bisa digunakan untuk menghentikan suatu perkara tindak pidana korupsi, sebab tuntutan ganti rugi masuk dalam ranah administrasi dan bukan ranah pidana. Dengan demikian, pengembalian kerugian negara tidak menghentikan perkara tindak pidana korupsi.
"Pernyataan Kabareskrim itu keliru, karena enggak ada klausul soal penghapusan pidana kalau ada pengembalian kerugian negara," kata Lalola.
Sebelumnya Kabareskrim Polri Komjen Pol Ari Dono Sukmanto mengungkapkan, dalam kesepakatan penanganan aduan korupsi di daerah, oknum pejabat pemerintahan daerah yang terindikasi melakukan korupsi bisa dihentikan perkaranya jika mengembalikan uang yang dikorupsinya.
"Kalau masih penyelidikan kemudian si tersangka mengembalikan uangnya, kami lihat mungkin persoalan ini tidak kita lanjutkan ke penyidikan," kata Ari di Grand Sahid Jaya, Jakarta, Rabu menyitat kompas.com (28/2/2018).
Namun demikian, penghentian perkara dilakukan sesuai dengan mekanisme yang telah disepakati. Polri atau Kejaksaan Agung terlebih dahulu berkoordinasi dengan APIP untuk melakukan penelitian di internal pemerintahan daerah yang terindikasi korupsi. Jika APIP hanya menemukan indikasi pelanggaran administrasi maka akan ditangani di internal kelembagaan.
Sebaliknya, apabila ditemukan unsur tindak pidana, maka aparat hukum menindaklanjutinya. "Kalau memang itu pelanggaran administrasi, akan ditindaklanjuti oleh APIP.
Kalau memang tindak pidana, APIP akan menyerahkan ke APH, apakah itu nanti Kejaksaan atau Kepolisian," ujar Ari. Namun demikian, kata dia, oknum pejabat daerah yang terindikasi melakukan tindak pidana korupsi dan berniat mengembalikan uang negara yang dikorupsi, maka Polri atau Kejagung bisa mempertimbangkan penghentian perkara yang bersangkutan.
Kabareskrim menambahkan, anggaran penanganan perkara korupsi di kepolisian kerapkali lebih tinggi dibandingkan kerugian negara dari korupsi dengan jumlah yang kecil. Anggaran penanganan korupsi per perkara di kepolisian Rp 208 juta. "Nah kalau yang dikorupsi Rp 100 juta negara kan tekor, nanti belum penuntutan berapa lagi, sampai dengan masa pemidanaan," ujar Ari, dilansir/menyitat kompas.com Kamis 31 Januari 2019.
Kembalikan Uang Tak Dipidana, Bentuk Toleransi kepada pelaku Korupsi
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Miko Ginting mengatakan, unsur dari perbuatan korupsi bukan pada kerugian negara. Unsur korupsi terpenuhi jika ada perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum.
Ia tak sepakat dengan pernyataan Kepala Bareskrim Polri Komjen Pol Ari Dono Sukmanto yang menyebut pejabat yang terindikasi korupsi bisa lolos dari jeratan hukum asal mengembalikan uang yang dikorupsi.
"Ada atau tidak ada pengembalian kerugian negara, sepanjang ada perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, maka delik itu terpenuhi," ujar Miko melansir Kompas.com, Jumat (2/3/2018).
PSHK: Pengembalian Uang Korupsi Tak Bisa Hilangkan Pidana. Hal tersebut diatur dalam Pasal 4 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi yang menyebutkan bahwa pengembalian kerugian negara tidak menghilangkan pertanggungjawaban pelaku tindak pidana korupsi. Miko mengatakan, semestinya nota kesepahaman antara Kementerian Dalam Negeri, Polri, dan Kejaksaan Agung diselaraskan dengan undang-undang yang ada agar tidak bertentangan. "Terlebih nota kesepahaman bukan merupakan dasar hukum yang dapat dirujuk secara legitimate," kata Miko.
Miko menambahkan, dalam MoU itu, ketiga pihak menyasar pelanggaran administrasi. Namun, dalam praktiknya, akan sulit membedakan mana pelanggaran administrasi dan mana pelanggaran pidana. Termasuk pelanggaran administrasi yang berkaitan erat dengan pelanggaran pidana. Oleh karena itu, kata Miko, indikatornya sebaiknya pada bukti permulaan yang cukup untuk ditingkatkan menjadi penyidikan atau tidak. "Dengan kata lain, prosedurnya dikembalikan pada peradilan pidana," kata dia.
Kementerian Dalam Negeri bersama dengan Kejaksaan Agung, Polri dan Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP) sebelumnya menandatangani kesepakatan bersama dalam penanganan aduan korupsi di daerah. Kabareskrim Polri Komjen Pol Ari Dono Sukmanto mengungkapkan, dalam kesepakatan tersebut, oknum pejabat pemerintahan daerah yang terindikasi melakukan korupsi bisa dihentikan perkaranya jika mengembalikan uang yang dikorupsinya. "Kalau masih penyelidikan kemudian si tersangka mengembalikan uangnya, kami lihat mungkin persoalan ini tidak kita lanjutkan ke penyidikan," kata Ari di Grand Sahid Jaya, Jakarta, Rabu (28/2/2018).
Namun demikian, penghentian perkara dilakukan sesuai dengan mekanisme yang telah disepakati.
Polri atau Kejaksaan Agung terlebih dahulu berkoordinasi dengan APIP untuk melakukan penelitian di internal pemerintahan daerah yang terindikasi korupsi.
Jika APIP hanya menemukan indikasi pelanggaran administrasi maka akan ditangani di internal kelembagaan.
Sebaliknya, apabila ditemukan unsur tindak pidana, maka aparat hukum menindaklanjutinya. "Kalau memang itu pelanggaran administrasi, akan ditindaklanjuti oleh APIP.
Kalau memang tindak pidana, APIP akan menyerahkan ke APH, apakah itu nanti Kejaksaan atau Kepolisian," ujar Ari.
Namun demikian, kata dia, oknum pejabat daerah yang terindikasi melakukan tindak pidana korupsi dan berniat mengembalikan uang negara yang dikorupsi, maka Polri atau Kejagung bisa mempertimbangkan penghentian perkara yang bersangkutan.
Kabareskrim menambahkan, anggaran penanganan perkara korupsi di kepolisian kerapkali lebih tinggi dibandingkan kerugian negara dari korupsi dengan jumlah yang kecil.
Anggaran penanganan korupsi per perkara di kepolisian Rp 208 juta. "Nah kalau yang dikorupsi Rp 100 juta negara kan tekor, nanti belum penuntutan berapa lagi, sampai dengan masa pemidanaan," ujar Ari.
Bahaya! Korupsi Dulu, Kembalikan kalau Ketahuan
Menuai kritik keras dari berbagai pihak. Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan Kesepakatan Kementerian Dalam Negeri dengan Kejaksaan Agung, Polri dan Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP), terkait penghentian perkara korupsi pejabat daerah yang mengambilkan uang korupsi, kesepakatan itu berbahaya lantaran mendegradasi tindak pidana korupsi sebagai extra ordinary crime menjadi tindak pidana biasa saja.
"Berbahaya karena dipastikan akan melahirkan semangat 'korupsi dulu, kembalikan kalau ketahuan'," ujarnya disitat Kompas.com, Jakarta, Jumat (2/3/2017). Ia mengatakan, bila kasus Tipikor dihentikan lantaran kerugian negaranya dikembalikan, maka itu jelas-jelas bertentangan dengan Pasal 4 Undang-undang Tipikor. Pasal tersebut menyatakan dengan gamblang bahwa pengembalian kerugian negara dalam kasus Tipikor tidak menghapuskan tindak pidananya.
Namun, Abdul mengungkapkan bahwa pengembalian kerugian negara bisa berpengaruh terhadap besar atau kecilnya hukuman yang diputuskan oleh hakim dalam persidangan.
Bila kasus Tipikor dihentikan atas dasar kesepakatan itu, maka kata Abdul, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa mengambil alih kasus tersebut.
"KPK sebagai lembaga suvervisi penanganan kasus Tipikor punya kewenangan mengambil alih jika dalam penanganan korupsi oleh lembaga lain mengandung korupsi," kata dia.
Sebelumnya, Indonesia Corruption Watch (ICW) juga mengkritik kesepakatan Kementerian Dalam Negeri bersama dengan Kejaksaan Agung, Polri dan Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP) karena bertentangan dengan UU Tipikor.
Kemendagri, Kejagung, Polri, dan APIP menandatangani kesepakatan bersama dalam penanganan aduan korupsi di daerah.
Kabareskrim Polri Komjen Pol Ari Dono Sukmanto mengungkapkan, perkara korupsi oknum pejabat pemerintahan daerah bisa diberhentikan bila pejabat tersebut mengembalikan uang korupsinya.
Sementara itu, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan, kesepakatan itu tidak ditujukan untuk melindungi tindak pidana korupsi atau membatasi aparat hukum dalam melakukan penegakan hukum dalam kasus korupsi.
"Pendekatannya adalah mengedepankan hukum administrasi sehingga penanganan pidana merupakan ultimum remedium (upaya akhir) dalam penanganan permasalahan penyelenggaraan pemerintahan daerah," kata Tjahjo dalam keterangan resminya, seperti dilansir dari kompas.com Rabu (28/2/2018) lalu.
MoU dengan Kemendagri Tak Hambat Kejaksaan Menindak Kasus Korupsi
Jaksa Agung Muhammad Prasetyo mengatakan, pihaknya akan tetap memproses hukum pelaku korupsi selama memenuhi unsur pidana.
"Kalau aparat hukum menemukan penyimpangan yang cenderung korupsi dan sudah menimbulkan kerugian negara, ya kami lakukan penindakan hukum represif," ujar Prasetyo di kompleks Kejaksaan Agung, Jakarta, Kamis (1/3/2018).
Berdasarkan nota kesepahaman yang diteken Kementerian Dalam Negeri, Kejaksaan Agung, dan Polri, disebutkan bahwa jika penegak hukum tidak menemukan adanya kerugian negara dalam suatu laporan, maka laporan itu akan dikembalikan pada Kemendagri sebagai pihak pertama.
Hal tersebut dianggap sebagai kesalahan administrasi dalam penanganan laporan masyarakat.
Kemudian, dalam poin selanjutnya disebutkan, kriteria kesalahan administrasi yakni jika terdapat kerugian keuangan negara dan telah diproses melalui tuntutan ganti rugi atau tuntutan perbendaharaan paling lambat 60 hari sejak laporan dinyatakan selesai oleh APIP atau BPK.
Prasetyo mengatakan, pelanggaran administrasi dan pidana merupakan dua hal yang berbeda.
"Pelanggaran administrasi di selesaikan secara administrasi. Tapi, kalau pidana, kriminal, korupsi, kesengajaan, ada yang diuntungkan dan nyata ada yang dirugikan, nah itu yang akan ditindak," kata dia.
Sebelumnya, Kabareskrim Polri Komjen Ari Dono Sukmanto mengungkapkan, dalam kesepakatan tersebut, oknum pejabat pemerintahan daerah yang terindikasi melakukan korupsi bisa dihentikan perkaranya jika mengembalikan uang yang dikorupsinya.
"Kalau masih penyelidikan kemudian si tersangka mengembalikan uangnya, kami lihat mungkin persoalan ini tidak kita lanjutkan ke penyidikan," kata Ari.
Meski demikian, penghentian perkara dapat dilakukan sesuai dengan mekanisme yang telah disepakati. Polri atau Kejaksaan Agung terlebih dahulu berkoordinasi dengan APIP untuk melakukan penelitian di internal pemerintahan daerah yang terindikasi korupsi.
Jika APIP hanya menemukan indikasi pelanggaran administrasi, hal itu akan ditangani di internal kelembagaan. Sebaliknya, apabila ditemukan unsur tindak pidana, aparat hukum akan menindaklanjuti. "Kalau memang itu pelanggaran administrasi, akan ditindaklanjuti oleh APIP. Kalau memang tindak pidana, APIP akan menyerahkan ke APH, apakah itu nanti Kejaksaan atau Kepolisian," kata Ari. Namun, jika oknum pejabat daerah yang terindikasi melakukan tindak pidana korupsi berniat mengembalikan uang negara yang dikorupsi, Polri atau Kejagung bisa mempertimbangkan penghentian perkara yang bersangkutan.
RRN/Rpc/Kcm/dari berbagai sumber