Jumat, 25 Januari 2019|00:03:13 WIB
Siak: Syahriluddin (47) dan Sunarto (44) belum mengetahui lokasi lahan yang didapatnya dari pembagian Sertifikat Hak Milik (SHM) Tanah Objek Reforma Agraria (TORA).
Sertifikat yang sempat diterimanya juga ditarik kembali oleh petugas Badan Pertanahan Nasional (BPN) kabupaten Siak.
"Sertifikat itu hanya sekitar 30 menit berada di tangan kami. Di dalam bus saat pulang ke Siak dari Pekanbaru waktu kedatangan Presiden Jokowi, sertifikat itu diambilin kembali," kata Syahriludin, menyitat pekanbaru.tribunnews Rabu (24/1/2019) di dusun Sungai Pinang, kampung Koto Ringin, kecamatan Mempura, kabupaten Siak.
Mengherankannya, dia dan puluhan warga lain di kampung Koto Ringin justru tidak mendapatkan lahan di Koto Ringin. Padahal di Koto Ringin ada 972 Ha lahan TORA. Sedangkan warga yang mendapatkan sertifikat hanya 200 an orang.
"Nama kami terdaftar untuk mendapatkan sertifikat itu, tapi sampai sekarang, kami tidak tahu di mana lokasinya. Yang jelas di lahan Koto Ringin kami tidak dapat," kata dia.
Informasi yang diterimanya, namanya justru masuk ke kampung Sungai Berbari. Banyak nama yang tidak dikenal justru mendapatkan lahan di Koto Ringin. Ia menyebut, justru ada nama-nama dari kecamatan bahkan kabupaten lain yang terdaftar di kampung Koto Ringin.
"Saya duga ada permainan pejabat tertentu dalam pendataan ini. Karena, jika pada lahan TORA yang tersedia di kampung kami ini dibagikan ke warga setempat, lahannya itu masih berlebih, tapi kami dioper ke lokasi lain yang kami sendiri tidak mengetahuinya," kata dia.
Syahriluddin termasuk tokoh di Koto Ringin, yang bekerja sebagai petani. Ia mengatakan, ratusan petani yang berhak di kampung itu justru tidak terdaftar. Padahal, mereka ikut berjuang mempertahankan lahan TORA dari rencana penguasaan kembali lahan itu oleh PT Makarya Eka Guna (MEG).
"Kami juga tidak tahu, kapan sertifikat kami dikembalikan. Yang jelas, kekayaan di atas lahan TORA berupa kayu akasia sudah diperjual belikan sekarang. Di Koto Ringin, lebih 500 Ha kayu akasia diperdagangkan," kata dia.
Warga sekitar tidak mendapatkan informasi terkait pembagian keuntungan dari jual beli akasia itu. Ia menduga aparat dari tingkat kabupaten hingga desa bermain, sehingga pertanggungjawabannya tidak disampaikan secara terbuka.
"Ya kami duga pihak penghulu (Kades), camat dan hingga asisten I bermain di sana. Kami tidak menuduh, tetapi ketidakjelasan ini membuat kami curiga," kata dia.
Ia dan Sunarto menceritakan, saat izin HGU PT MEG berakhir pada 2014 silam, masyarakat memperjuangkan agar lahan itu diambil negara. Namun, PT MEG kembali berhasrat menguasai dengan penanaman sawit. Bahkan pihaknya tidak bisa ditipu dengan isu PT MEG memperpanjang izin HGU.
"Kami ikut menghalangi agar mereka tidak menanami sawit. Agar lahan itu diambil negara dan pengelolaannya untuk kepentingan masyarakat," sambung Sunarto.
Anehnya, begitu lahan tersebut menjadi lahan TORA, justru lebih 400 orang warganya tidak terdaftar. Nama-nama yang didaftarkan Pemkab Siak ke BPN tidak sesuai dengan nama-nama warga yang tinggal di desa itu.
"Saya tidak tahu bagaimana cara asisten I Pemkab Siak dan jajaran mendata masyarakat. Bisa pula kami terlempar ke kampung lain, padahal lahan di sini luas dan lebih dari cukup bila dibagikan kepada kami. Tetapi prinsip berkeadilan itu tidak kami rasakan hingga sekarang," kata Sunarto.
Sunarto juga menduga, keuntungan penebangan akasia yang ada di atas lahan TORA juga tidak jelas. "Jangan-jangan nanti dibangunnya fasilitas sosial dengan budget kecil, padahal kita tahu keuntungan dari akasia sebanyak itu miliaran rupiah," kata dia.
Sementara itu, Asisten I Setdakab Siak L Budhi Yuwono membenarkan pola pembagian lahan TORA memang belum sempura. Karena saat pendataan kepala desa tidak mempunyai waktu cukup sedangkan penerima sangat banyak.
"Kita tidak melihat perdesa, kita melihat keseluruhan. Mana masyarakat yang dianggap berhak silahkan penghulu mengusulkan. Kemudian BPN mengundi nama-nama itu," kata dia.
Alasan kedua kenapa BPN melakukan cara pengundian, karena beberapa desa batasnya belum jelas. Akhirnya BPN menentukan luasan TORA di masing-masing desa tidak tegas jadinya.
"Karena itu diundi saja perdesa. Kami pun tidak bisa mengintervensi terlalu jauh karena itu program dia," kata dia.
Ia menceritakan, ada desa yang dapat banyak ada yang dapat sedikit. BPN mengirim surat ke Kades untuk melakukan pendataan dalam waktu seminggu sampai dua minggu.
"Sehingga kepala desa kewalahan bagaimana mengevaluasi. Tak cukup waktu untuk mengevaluasi data. Itu kita sampaikan ke BPN," kata dia.
Terkait pengambilan kembali sertifikat yang sudah dibagikan, Budhi menjelaskan hanya untuk kepentingan bersama. Jika sertifikat dibagikan, dia pastikan akan terjadi jual beli lahan dan tidak semua lahan dapat terkelola dengan baik.
"Maka kita rencanakan kita kelola bersama, dengan melibatkan pihak ketiga. Serta kita pertimbangkan sisi lingkungannya. Agar semua lahan dapat dikelola dengan baik," kata dia.
Ia juga mengatakan, dalam pengelolaan ini pihaknya diback up oleh 17 LSM lingkungan. Gunanya, pada pengelolaan lahan tidak terjadi perusakan lingkungan.
"Maka, programnya ini bukan TORA semata. TORA itukan hanya bagi-bagi lahan. Kalau bagi lahan maka diserahkankan saja nanti ke pemilik takutnya tak terkelola dengan baik," kata dia.
Terkait kekayaan di atas TORA berupa akasia, kata dia memang ditebang. Karena pada lahan TORA tersebut perlu landclearing, ada pembuatan jalan dan ada patok. Untuk membuat itu tidak ada biaya dari pemerintah.
"Karena itulah akasia ditebang maka dibuat untuk kegiatan itu. Yang jelas akasia ditebang, dibuat ini. Kalau ada berlebih, kompensasi untuk desa. Desa mengajukan untuk rehab fasilitas umum seperti masjid dan lain-lain. Itu saya tidak ikut campur, itu perundingan kades dengan masyarakatnya. Kalau ada gejolak kita akan fasilitasi untuk pertemuan," kata dia.
Budhi juga mengaku tidak mengerti ada keuntungan atas penjualan akasia pada 4.000 Ha lahan tersebut. Yang jelas, kata dia, penebangan akasia itu bekerja sama dengan koperasi BUTU. Sedangkan koperasi BUTU bekerja sama dengan beberapa perusahaan.
"Kalau ada penghasilan berlebih digunakan untuk membuat fasilitas umum di desa. Tapi saya tidak tahu apakah itu untung atau balik modal atau bagaimana," kata dia.
Sumber: Pekanbaru.tribunnews