Pemerintah Lacak Akar Masalah Lesunya Daya Beli
Sedikitnya, tujuh data telah ditelaah pemerintah dan hingga kini pemerintah mengaku belum menemukan akar permasalahan lesunya daya beli. Ant Pic

Pemerintah Lacak Akar Masalah Lesunya Daya Beli

Sabtu, 05 Agustus 2017|15:49:12 WIB




Jakarta: Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional atau Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Mengakui pemerintah belum berhasil menemukan akar penyebab lesunya daya beli masyarakat yang dikeluhkan oleh pelaku industri ritel di paruh pertama tahun ini.

Menurut Menteri PPN sekaligus Kepala Bappenas Bambang PS Brodjonegoro, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah memanggil seluruh menteri ekonomi di Kabinet Kerja untuk menganalisis kelesuan daya beli dari berbagai data ekonomi, baik secara makro maupun mikro.

"Bahkan, presiden sudah panggil 18 menteri, untuk tanya kenapa daya beli ini turun," ujarnya kepada awak media di kantornya, Jumat (4/8).

Bambang menjelaskan, beberapa data telah ditelaah oleh pemerintah. Pertama, pertumbuhan ekonomi sampai kuartal I 2017 yang masih menunjukkan hasil positif di kisaran 5,01 persen, di mana capaian ini nyatanya masih lebih baik dibandingkan kuartal IV 2016 sebesar 4,93 persen.

Kedua, inflasi sepanjang Januari-Juli 2017 sebesar 2,6 persen. Capaian ini terbilang masih terjaga pada tingkat stabil rendah. Ketiga, pertumbuhan ekspor justru meningkat dan mampu menopang pertumbuhan ekonomi, yakni tumbuh 8,04 persen di kuartal I lalu.

Keempat, data pertumbuhan industri manufaktur, seperti dilansir Badan Pusat Statistik (BPS), industri manufaktur besar dan sedang hanya tumbuh 4,0 persen di kuartal II 2017 dari sebelumnya tumbuh 5,01 persen di kuartal I 2017. Lalu, industri manufaktur kecil dan mikro hanya tumbuh 2,5 persen dari sebelumnya 6,36 persen di kuartal I 2017.

Kelima, menurut data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), investasi semester I 2017 mencapai Rp336,7 triliun atau tumbuh 12,94 persen dari semester I 2016 yang hanya sebesar Rp298,1 triliun.

Keenam, jumlah tabungan yang ada di perbankan. "Saya sudah baca koran dan sudah dikonfirmasi ke Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), jumlah tabungan naik tajam dan jumlah pemilik rekeningnya pun naik tajam," kata Bambang.

Berdasarkan data LPS, jumlah tabungan di perbankan meningkat 2,8 persen per Mei 2017 menjadi 212,68 juta, dari bulan sebelumnya sebanyak 206,88 juta. Sementara, jumlah nominal simpanan meningkat 0,8 persen menjadi Rp2.142 triliun, yakni dari sebelumnya Rp2.125 triliun di April 2017.

Adapun, kenaikan jumlah rekening tertinggi berasal dari simpanan dengan nilai saldo di bawah Rp2 miliar, dengan jumlah mencapai 206,64 juta atau tumbuh 2,8 persen. Sementara, simpanan dengan nilai saldo di atas Rp2 miliar tumbuh 0,86 persen menjadi 241,27 ribu.

"Mungkin, mereka menghindari urusan (keterbukaan data nasabah perbankan). Jadi, dari Rp2 miliar mereka ke arah Rp1 miliar (buka rekeningnya). Ini tertinggi sepanjang sejarah kenaikannya," imbuh Bambang.

Ketujuh, pertumbuhan penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang meningikat 13,5 persen di semester I 2017 dibandingkan semester I 2016. "PPN naik jauh dari tahun lalu, ini kan datangnya dari transaksi. Jadi, PPN ini pasti (mengindikasikan peningkatan) transaksi," jelas Bambang.

Sayangnya, lanjut Bambang, masih banyak data-data ekonomi yang tak terukur dan belum mampu dijangkau pemerintah, sehingga analisis terhadap lesunya daya beli masyarakat belum ditemukan akarnya.

Data tersebut di antaranya data transaksi dan penjualan toko dalam jaringan (online) yang melakukan perdagangan secara elektronik (e-commerce). "Yang masih jadi misteri, berapa data transaksi online. Jujur, kami tidak berdaya atasi ini. Karena saya punya keyakinan, statistiknya belum menjangkau online secara penuh," terang dia.

"Contoh, Instagram, sekarang kan dipakai untuk promosi. Statistik saja tidak merekam kejadian itu. Lalu, berapa kenaikan omset perusahaan logistik, seperti JNE dan Tiki? Satu lagi, taksi online, Go-Car dan GrabCar itu harus dilihat," imbuhnya.

Oleh karena itu, sambung dia, seluruh Kementerian/Lembaga (K/L) masih memiliki pekerjaan rumah untuk menganalisa dan mendapatkan seluruh data tersebut.

cnni/bir







Berita Terkait

Baca Juga Kumpulan Berita EKONOMI

MORE

MOST POPULAR ARTICLE