Kamis, 01 Desember 2016|22:13:00 WIB
RADARRIAUNET.COM: Indonesia harus bangga dengan itu, tulis jurnalis berkebangsaan Amerika Serikat (AS), Elizabeth Pisani dalam Indonesia Etc: Eksploring the Improbable Nation. Kalimat itu ia lontarkan usai menyimpulkan betapa kayanya budaya dan identitas masyarakat Indonesia. Elizabeth menghabiskan 13 bulan berkeliling Indonesia demi memotret keragaman kultur masyarakat Nusantara.
Banyak yang bilang, semangat keberagaman yang mestinya jadi kebanggaan itu kini tengah diuji. Kegaduhan berlatar agama setidaknya sudah berlangsung selama dua bulan lebih. Banyak pihak yang menyayangkan, tak sedikit pula yang kembali mengingatkan bahwa Indonesia dibangun atas dasar keragaman, Bhineka Tunggal Ika prinsip final, Pancasila sebagai dasar, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) harga mati.
Kabar paling terakhir, aksi massa yang sempat dikhawatirkan disusupi pihak tidak bertanggung jawab guna mengoyak komitmen kebhinekaan itu disepakati akan dilaksanakan dengan super damai. Difasilitasi Majelis Ulama Indonesia (MUI), aksi 2 Desember besok dijanjikan tidak menggunakan akses jalan utama yang disinyalir akan mengganggu kepentingan publik.
MUI menyatakan, unjuk rasa dalam rangka mengawal kasus dugaan penistaan Gubernur Non-Aktif DKI Jakarta, Basuki 'Ahok' Tjahaja Purnama itu direncanakan hanya diisi salat Jumat, zikir, dan tausiyah dari beberapa ulama. Tempat pelaksanaan yang mulanya digembar-gemborkan di Jalan Sudirman-Thamrin, kini dialihkan ke Monumen Nasional (Monas), Jakarta.
"Kami mengajak masyarakat untuk rujuk nasional. Rujuk nasional adalah kembali menguatkan komitmen kebangsaan," ucap Ketua MUI Ma'ruf Amin kepada Metro TV di Jakarta, Rabu (30/11/2016).
Pernyataan ini pertama kali dilontarkan usai menyepakati lima poin keputusan bersama antara MUI, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dan perwakilan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI (GNPF MUI) pada Senin, 28 November di Gedung MUI, Jakarta.
Meredam tensi politik
Menurut Ma'ruf, kegaduhan yang ada saat ini diperkeruh dengan adanya hasutan yang bersifat polarisasi dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Aksi 2 Desember, kata dia, tak lain sebagai pengawalan umat Islam dalam penegakan hukum di Indonesia.
"Kita dikelompok-kelompokkan dan saling tuduh anti-Pancasila, anti-kebhinekaan, ini yang pro-NKRI dan ini yang bukan," kata Ma'ruf.
Untuk itulah rujuk nasioal adalah istilah yang pas. Menurut Ma'ruf, isu itu penting untuk segera dihentikan dengan cara bermartabat, duduk bersama, serta berdialog guna menyamakan kembali komitmen kebangsaan Indonesia.
"Perlu adanya dialog antar elemen bangsa demi menurunkan tensi politik yang meninggi seiring mencuatnya kasus Ahok," kata dia.
Berbeda dengan MUI, Presiden Joko Widodo tidak sepakat dengan istilah rujuk nasional dalam menyikapi unjuk rasa 2 Desember. Menurut Presiden, tidak ada yang perlu dirujuk lantaran tidak ada yang pernah berselisih.
"Yang berantem siapa? Rujuk-rujuk itu kita enggak berantem kok," kata Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Selasa (29/11/2016).
Menurut Jokowi, Indonesia lebih membutuhkan pengingat soal keberagaman dan kemajemukan. Rujuk dan rekonsiliasi, kata Presiden, hanya dibutuhkan jika Indonesia dalam posisi berseberangan antarelemen masyarakat.
"Kita biasa saja," ujar Presiden.
Hanya masalah elite
Sosiolog Universitas Indonesia (UI) Thamrin Amal Tomagola lebih condong terhadap tanggapan Presiden terkait penggunaan istilah rujuk nasional. Menurut dia, kegaduhan yang selama ini banyak dibincangkan itu hanya ada di lapisan elite.
"Istilah yang terlalu kebesaran jubah. Sangat berlebihan," kata Thamrin kepada metrotvnews.com/seperti dikutip Kamis (1/12/2016).
Dari kaca mata sosiologi, kata Thamrin, segala persoalan mesti melihat tiga lapisan yang ada di dalam masyarakat. Yakni elite, menengah, dan akar rumput. Menurut dia, komitmen kebangsaan justru lebih penting ditekankan di lapisan elite.
Thamrin merujuk pada riset yang dirilis Elizabeth Pisani, 2015 lalu. Dalam penelitian itu disimpulkan bahwa masyarakat akar rumput di seluruh Indonesia lebih mementingkan kerukunan dibanding fanatisme kelompok dan agama.
"Saya berbincang dengan Elizabeth, isu-isu kebhinekaan justru hanya rentan di kalangan elite perkotaan," kata dia.
Fanatisme agama lebih dibaca Thamrin sebagai upaya segelintir kelompok elite dalam malempiaskan hasrat kepentingan sosial-politik. Masyarakat, kata Thamrin, hanya menjadi sasaran dampak hingga menimbulkan gejolak bangsa.
"Masyarakat sudah memahami kebhinekaan secara sederhana, yakni kerukunan," ujar Thamrin.
Hiruk pikuk dan pertentangan saat ini tidak boleh digebuk-rata. Menurut Thamrin, kegaduhan itu sebenarnya tidak mengurangi betapa guyubnya masyarakat Indonesia. "Kenapa? karena Islam di kalangan akar rumput itu ada Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Komitmen keduanya dalam merajut kebangsaan tidak terbantahkan," kata Thamrin.
Meski berakar dari lapisan elite, namun hal ini akan sangat cepat berimbas kelompok bawah-menengah masyarakat perkotaan. Fanatisme dalam hal apapun, kata Thamrin, lebih mudah tumbuh subur dalam kelompok tersebut lantaran anggapan kekecewaan atas kebijakan pemerintah. Pada babak itulah, pihak-pihak yang tidak bertangguung jawab kerap menyusup dan menyeretnya kepada isu sensitif suku, ras, agama, dan antargolongan (SARA).
"Pemerintah harus menguatkan kembali kebijakan-kebijakan yang lebih manusiawi. Juga, harus pintar-pintar melihat akar masalahnya," kata dia.
Sbh/Mtvn