Selasa, 18 Oktober 2016|14:54:51 WIB
RADARRIAUNET.COM - Thailand menjadi lautan hitam, Jumat (14/10). Orang-orang yang mengantre naik kereta dalam kota mengenakan busana serba hitam. Padahal di luar matahari sedang terik. Mereka memadati hampir setiap stasiun kereta menuju yang terdekat Istana, tempat Raja Bhumibol Adulyadej disemayamkan.
Bhumibol meninggal Kamis (13/10) sore. Thailand menetapkan masa berkabung sampai 30 hari bahkan setahun. Bendera diturunkan setengah tiang. Orang-orang pun diminta berbusana serba hitam.
Wajah Bhumibol ada di baliho-baliho di jalanan. Layar televisi di pusat transportasi publik pun statis memasang wajahnya, disertai tulisan-tulisan Thailand. Aplikasi global seperti Uber memasang tanda bendera hitam. Kendaraan yang terdeteksi di layar Uber bahkan seperti mobil jenazah, mengusung bendera berbentuk seperti 'AIDS', tapi dalam warna hitam.
Meski duka menyelimuti Thailand, Negeri Gajah Putih itu tetap hidup. Mal-mal besar di pusat kota tetap ramai. Orang-orang berbelanja seperti biasa. Hanya bedanya, kali ini berbusana serba hitam. Demikian pula di jalanan dan tempat-tempat umum lainnya.
Sementara itu, masyarakat Thailand yang berkumpul ke Istana membuat lalu lintas di sekitar tempat itu macet total. Mobil nyaris tak bergerak. Tuk tuk pun tak terlihat. Mereka yang datang berkelompok menyerah, memarkir mobil jauh dari lokasi dan memilih jalan bersama-sama, atau naik ojek motor.
Istana yang biasanya hanya dibuka sampai pukul empat sore hari itu molor sampai pukul lima, bahkan lebih. Orang-orang menumpuk sembari memegang foto Bhumibol. Saat mereka bubar, suasana lebih gila. Berjalan kaki, mereka memadati kawasan Khaosan. Gelombang manusia seakan tak henti.
Berdasarkan pengamatan awak media di lokasi, ada ribuan orang-tua, muda, pasangan kekasih, kawan sekolah, kawan kerja -yang bertebaran di area itu. Sampai dua jam, kawasan belum juga 'bersih' dari masyarakat lokal berbusana hitam. Mereka seperti ombak hitam yang tengah bergulung dan mengempas di Khaosan Road.
Di antara mereka ada saja wajah-wajah asing. Ada yang ikut menghormati masa duka dengan berbusana hitam, ada pula yang tetap cerah.
"Ini gila, orang tumpah-ruah. Saya tadi pagi ikut ke Istana, melihat orang-orang memberikan penghormatan terakhir untuk rajanya," kata seorang turis asal Perancis. Ia pertama ke Thailand. Warna bajunya tak ikut hitam karena tak menyangka akan ada masa berkabung nasional seperti saat ini.
Turis-turis lain yang berbusana sesuai 'dress code' berkata, "Kami menghormati masa berkabung Thailand, meski tidak ikut pemakaman Raja."
Sementara salah satu turis asal Israel melihat gelombang orang-orang berbusana hitam itu sebagai sesuatu yang menakjubkan. "Luar biasa. Saya tidak ikut ke Istana tapi duduk di kafe ini dan melihat mereka, sudah seperti sedang makan sambil mengikuti pemakaman sekaligus," ujar pria yang sudah menghabiskan tiga pekan di Thailand itu.
Ia bisa memahami mengapa warga Thailand berbondong-bondong ke Istana demi rajanya yang telah meninggal. "Bagi mereka ini seperti kehilangan ayah. Saya sendiri pernah merasakan begitu, saat perdana menteri saya ditembak," ujarnya, mengungkit cerita lama Yatzhik Rabin yang meninggal ditembak ekstremis Yahudi pada 1995.
Meninggalnya Bhumibol memang menjadi berita besar, bahkan bagi warga Thailand yang sedang tidak di negaranya. Seorang warga Thailand yang sedang bekerja di Singapura misalnya, berkata ia ikut kehilangan dan menyesal tak bisa ikut ke Istana.
"Raja yang ini sudah memerintah selama 70-an tahun. Dan banyak hal baik terjadi di masanya, dia memperbaiki banyak hal," kata seorang pekerja teknis untuk perusahaan Apple di Singapura, asal Thailand. Pada masa berkabung di negaranya, pria itu sedang harus tugas ke beberapa tempat lain.
Ia tentu saja bukan satu-satunya warga lokal yang memilih melanjutkan aktivitas, tidak ikut ke Istana bersama orang-orang berbaju hitam lainnya. Itu termasuk mereka yang berbelanja di MBK dan 'berkeliaran' di pusat-pusat hiburan malam Khaosan.
Jalan yang identik dengan kawasan backpacker dan dipenuhi warga asing itu tidak lantas mati seperti permintaan pemerintah. Sampai pukul 10 malam lampu-lampu Khaosan tetap menyala. Bar-bar kecil di pinggir jalan pun tetap buka dan menawarkan alkohol. Penjualnya lokal. Tamu-tamu yang duduk kebanyakan warga asing. Canda tawa terdengar.
Memang, kawasan itu tidak seramai biasanya. "Ini termasuk sepi, tapi tetap banyak yang buka," kata salah satu penjual minuman beralkohol di sana. Demikian pula pasar malam akhir pekan yang terkenal: Chatuchak. Sebagian toko memang tutup. Tapi masih banyak yang buka. Tawar-menawar tetap terjadi. Rolling door tetap dibuka lebar. Berkarung-karung barang tetap diangkut. Sosis dan jajanan lain tetap digoreng. Pasar tetap padat warga Thailand.
"Kami masih buka kok, sampai pukul satu malam," ujar salah satu penjual busana, saat ditanya bukankah ada masa berkabung yang mengharuskan kehidupan malam Thailand 'tidur' lebih awal.
Warga Thailand bahkan memadati salah satu kios busana yang menawarkan warna monokrom, hitam dan putih. Mereka butuh 'stok' banyak baju hitam untuk masa berkabung selama sebulan penuh.
Semakin malam, suasana pasar semakin ramai. Begitu pula Khaosan. Tapi jalan-jalan mulai lengang. Lewat tengah malam lampu pun dimatikan, menemani Raja Bhumibol dalam istirahat panjangnya.
cnn/fn/radarriaunet.com