RADARRIAUNET.COM - Paguyuban Pengusaha Perikanan Muara Baru (P3MB), Jakarta, kecewa dengan kebijakan Perusahaan Umum Perikanan Indonesia (Perum Perindo) dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang dinilai tidak adil.
Kebijakan itu ialah Surat Keputusan Direksi Perindo tentang kenaikan tarif sewa lahan hingga lebih dari 500 persen. Harga yang semula Rp236 juta per hektare per tahun, menjadi Rp1,5 miliar per hektare per tahun.
Selain itu, jangka waktu sewa lahan dari semula 20 tahun sekali diperpendek hingga lima tahun. Aturan sewa per lima tahun dari Perindo ini membuat pengusaha perikanan merasa dirugikan karena menimbulkan ketidakpastian usaha.
Setelah lima tahun, tanah yang disewa para pengusaha itu bisa kembali diambil untuk dipakai pemilik lahan, yakni Perindo.
"Kebijakan itu karet, menjebak. Kami buat usaha investasi besar, tapi lima tahun kemudian jadi milik orang lain. Rugi kami," kata Ketua Umum P3MB Tachmid Widiasto kepadaawak media.
Selain itu, ujar Tachmid, Perindo dan KKP bahkan menaikkan biaya administrasi hingga 100 persen.
Deretan kebijakan tersebut, menurut Tachmid, membuat pengusaha kapal penangkap ikan, pemilik pabrik pengolahan ikan, dan investor cold storage dalam posisi terjepit.
"Semua stakeholder mau-tidak mau harus ikuti aturan itu. Kalau menolak, tempat usaha kami diambil alih (Perindo)," kata Tachmid.
Menurutnya, kebijakan tersebut membuat roda perekonomian warga Muara Baru mati. Padahal, kata Tachmid, semua pengusaha yang tergabung dalam P3MB ialah pengusaha lokal yang berinvestasi untuk membangun sektor perikanan di Muara Baru sejak 1980.
Para pengusaha Muara Baru, ujar Tachmid, menginvestasikan uang hingga Rp8 triliun. Mereka juga membawahi langsung sekitar 10 ribu tenaga kerja. Di luar itu, ada pula 20 ribu tenaga kerja yang secara tak langsung menggantungkan nasib pada industri perikanan Muara Baru.
"Itu baru yang bekerja di pabrik pengolah ikan. Belum yang bekerja di kapal nelayan. Belum lagi keluarga mereka. Total hampir 35 ribu orang. Kalau kami tutup, mau bagaimana kelanjutan hidup mereka. Seharusnya dipikirkan hingga ke sana," ujar Tachmid.
Jangan bakar lumbung
Tachmid mengatakan, kebijakan Perindo sebagai kepanjangan tangan KKP bisa mematikan usaha penangkapan ikan.
Terlebih KKP juga melarang transshipment atau bongkar muatan di laut yang biasa dilakukan antarkapal untuk mendistribusikan hasil tangkap agar bisa segera dibawa ke daratan untuk menghindari ikan keburu busuk, terutama jenis tuna.
Biasanya para nelayan saling membantu mendistribusikan hasil tangkapan mereka dengan menitipkan ikan kepada kapal yang akan segera berangkat ke daratan. Ini dilakukan karena para nelayan biasa menghabiskan waktu berbulan-bulan di laut, sehingga tak mungkin menyimpan ikan hasil tangkapan selama itu di tengah laut.
Selain itu, pembatasan ukuran kapal maksimal 150 Gros Ton, sulitnya pengurusan surat izin kapal, dan larangan penggunaan alat tangkap ikan cantrang yang dinilai dapat merusak ekosistem dan biota laut, juga dikeluhkan nelayan.
"Semua aturan Ibu Menteri itu mencekik nelayan dan pengusaha. Dia itu menteri, bukan pengusaha. Kalau mau membunuh satu tikus, jangan bakar lumbungnya. Kami yang tidak salah jadi kena dampak," kata Tachmid.
Sebagai bentuk protes, Paguyuban Pengusaha Perikanan Muara Baru (P3MB) sepakat melakukan aksi mogok operasional mulai 10 Oktober dengan tidak melakukan kegiatan apapun di Muara Baru, termasuk bongkar muat ikan, pengolahan ikan ekspor maupun lokal, dan akan menambatkan semua kapal penangkapan ikan milik anggotanya.
Gugatan hukum juga akan dilayangkan secara resmi ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
September lalu, Menteri KKP Susi Pudjiastuti menyatakan akan merestrukturisasi Muara Baru menjadi kawasan pasar dan pengolahan ikan modern. Kawasan itu dinilai Susi sangat kumuh dan tidak layak untuk transaksi jual beli ikan maupun pengolahan.
"Enggak nyaman orang ke sana, kotor dan becek. Pendapatan pun pasti berkurang karena tempatnya kumuh. Kami akan bangun agar pembeli yang datang nyaman, penjual juga nanti untung," kata Susi.
Terkait sewa tanah, dia menyatakan akan mengembalikan tanah milik KKP dan Perindo. Sebab, kata Susi, pemilik tanah berhak untuk menggunakan lahannya yang selama ini dikuasai pengusaha swasta.
“Tanahnya pun untuk restrukturisasi. Untuk membangun pasar dan tempat pengolahan ikan buat mereka juga. Kalau tempatnya nyaman justru mereka untung," kata Susi.
cnn/radarriaunet.com