RADARRIAUNET.COM - Pembangunan infrastruktur dan sumber daya manusia merupakan prasyarat untuk mengembangkan sektor pariwisata. Kedua hal itu dapat mengundang wisatawan.
”Pembangunan infrastruktur merupakan persyaratan mutlak, nomor satu, sebelum membuat yang lain. Infrastruktur lebih penting ketimbang promosi,” ujar ketua panitia pengarah, M Ikhsan, yang memaparkan empat hasil penelitian anggota Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) dalam seminar ISEI di Gorontalo, Kamis (29/9/2016).
Kajian itu juga menyebutkan, dalam beberapa hal, pemerintah belum konsisten mengundang investor lokal.
Di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Tanjung Lesung, Banten, misalnya, pemerintah daerah belum mendukung pengembangan Tanjung Lesung sebagai KEK karena investor kesulitan dalam perizinan. Masalah yang sering muncul adalah ketidakjelasan status tanah.
Hal senada disampaikan Didien Junaedy, Ketua Umum Gabungan Industri Pariwisata Indonesia. Dia yakin, lima tahun mendatang, pariwisata dapat menjadi penyumbang devisa nomor satu. Namun, Didien mengingatkan mengenai keberadaan infrastruktur di Indonesia.
”Negara kita ini kepulauan. Pulau-pulau dapat diakses setelah ada infrastruktur,” ujarnya.
Infrastruktur yang minim membuat potensi pariwisata belum dapat digali dengan maksimal. Ia mencontohkan, sumbangan sektor pariwisata di Thailand terhadap produk domestik bruto mencapai 20 persen.
Mengenal segmen
Kementerian Pariwisata menargetkan kunjungan 20 juta wisatawan mancanegara pada 2019, dua kali lipat daripada posisi saat ini.
Selain itu, perolehan devisa ditargetkan menjadi Rp 240 triliun atau sekitar 8 persen dari produk domestik bruto. Penciptaan lapangan kerja di sektor pariwisata ditargetkan mencapai 13 juta orang.
Selama ini hulu Brantas menjadi salah satu wahana arung jeram di wilayah Malang Raya, khususnya untuk jenis fun rafting yang menarik bagi wisatawan.
”Perkembangan pada sektor wisata sebaiknya tidak hanya dihitung secara kuantitatif, tetapi juga perlu ditingkatkan kualitasnya. Kalau dengan target devisa Rp 240 triliun dan 20 juta wisatawan, berarti setiap orang membelanjakan Rp 12 juta. Ini berarti turun,” kata Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Mari Elka Pangestu.
Mari menekankan, target nasional dapat diuraikan menjadi langkah yang berbeda-beda di setiap daerah. Bagi beberapa daerah, menjaring wisatawan domestik lebih penting ketimbang menjaring wisatawan asing.
Dia mencermati, orang Indonesia setidaknya bepergian dua kali dalam satu tahun, yakni saat Lebaran dan saat libur.
Namun, hanya penduduk tiga provinsi, yaitu DKI Jakarta, Banten, dan DI Yogyakarta, yang bepergian ke luar provinsi. Penduduk daerah lain bepergian ke tempat wisata di dalam provinsi. Dilihat dari daya beli, wisatawan dari Jawa memiliki daya beli paling tinggi.
”Pola konsumsi perlu juga dilihat. Wisatawan lokal dengan budaya oleh-oleh lebih banyak menghabiskan uang untuk membeli makanan dan oleh-oleh. Kebiasaan ini harus ditanggapi dengan mengemas makanan lokal secara menarik,” kata Mari.
kps/fn/radarriaunet.com