RAPBN 2017 dan Konsolidasi
ilustrasi. esc

RAPBN 2017 dan Konsolidasi

Selasa, 06 September 2016|13:26:16 WIB




RADARRIAUNET.COM - Di tengah situasi perekonomian global dan nasional yang belum pulih, Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2017 yang cenderung konservatif, mendapat respons positif pasar. Penerimaan perpajakan 2017 hanya direncanakan Rp1.495,9 triliun, atau turun -2,8 persen dari target APBNP 2016 yang Rp1.539,2 triliun.

Penerimaan perpajakan yang konservatif ini menjadi kabar baik bagi dunia usaha di tengah kelesuan perekonomian. Di sisi lain, hal ini mengindikasikan perekonomian ke depan masih akan lemah.

Kondisi ini dikonfirmasi, antara lain, oleh Bank Indonesia yang terakhir mengoreksi target pertumbuhan ekonomi 2016, dari 5,0-5,4 persen menjadi 4,9-5,3 persen. Namun, dengan masih lemahnya perekonomian global pasca Brexit, harga komoditas yang masih rendah dan perdagangan dunia yang melambat, asumsi pertumbuhan ekonomi 2017 sebesar 5,3 persen terbilang optimistis.

Maka target konservatif penerimaan perpajakan 2017 hanya dapat diinterpretasikan, sebagai overestimate penerimaan perpajakan 2016. Pemotongan anggaran jilid II oleh Menteri Keuangan yang hanya beberapa saat setelah APBNP 2016 disahkan sebesar Rp133,8 triliun, dan terakhir meningkat lagi menjadi Rp137,6 triliun, menjadi sinyal yang sangat jelas.

Realisasi penerimaan pajak 2016 hingga semester I mencapai Rp518,4 triliun atau 33,7 persen dari target APBNP 2016, lebih rendah dari kinerja 2015 yang 37,3 persen dan jauh dari kinerja 2014 yang 43,3 persen. Realisasi penerimaan perpajakan dalam LKPP 2015 hanya 83,3 persen dari APBNP 2015, terendah sejak 1990.

Dalam estimasi kami, target penerimaan perpajakan APBNP 2016 maksimal di kisaran Rp1.442,8 triliun, termasuk penerimaan dari tax amnesty Rp165 triliun atau shortfall Rp96,4 triliun dari APBNP 2016. Pemerintah dalam revisi APBNP 2016, bahkan lebih pesimistis dengan memproyeksikan shortfall penerimaan pajak Rp219 triliun.

Proyeksi shortfall Rp219 triliun ini secara ironis, dapat dibaca sebagai pesimisme pemerintah terhadap keberhasilan program tax amnesty. Dengan estimasi kami, jika tingkat keberhasilan tax amnesty hanya 25 persen, shortfall penerimaan pajak 2016 akan mencapai Rp220,2 triliun.

Bila kita menghitung dari proyeksi shortfall Rp219 triliun ini, penerimaan perpajakan RAPBN 2017 adalah tumbuh 13,3 persen, target yang realistis dan sejalan dengan asumsi pertumbuhan ekonomi. Namun, bila kita memperhitungkan dampak tax amnesty yang semestinya berimplikasi signifikan pada peningkatan tax base, target penerimaan pajak 2017 ini dapat dikatakan konservatif. Hal ini menguatkan hipotesis pesimisme pemerintah terhadap keberhasilan tax amnesty.

Meski penerimaan perpajakan konservatif, RAPBN 2017 mencoba tetap ekspansif dengan belanja negara Rp2.070,5 triliun. Dibandingkan APBNP 2016 pascapemotongan anggaran Rp137,6 triliun, target belanja negara 2017 ini naik 6,4 persen.

Dengan postur anggaran tembus Rp2.000 triliun, pemerintah terlihat berupaya mempertahankan momentum pemulihan ekonomi. Setelah pertumbuhan ekonomi melemah pada 2015, hanya 4,79 persen, terendah sejak 2009, dan pada semester I 2016 hanya naik tipis menjadi 5,04 persen, pemerintah melalui postur RAPBN 2017 ini berupaya mengangkat lebih jauh pertumbuhan ekonomi.

Langkah pemerintah terkini yang lebih terbuka dan realistis dengan menetapkan target penerimaan perpajakan yang konservatif, patut diapresiasi. Di bawah kendali Sri Mulyani, pemerintah tidak lagi memaksakan peningkatan penerimaan perpajakan yang ambisius di tengah kelesuan ekonomi, dan karenanya memaksakan efisiensi pengeluaran di semua kementerian dan lembaga, termasuk pemerintah daerah.

Namun, dengan target pertumbuhan ekonomi 2017 yang dipatok 5,3 persen, pemerintah berupaya menjaga postur anggaran melalui defisit Rp332,8 triliun atau 2,4 persen dari PDB, target yang kredibel, tapi lebih moderat dari target defisit APBNP 2016 pascarevisi yang 2,5 persen dari PDB dan realisasi defisit 2015 yang 2,6 persen dari PDB. Meski secara terbatas, Sri Mulyani baru terlihat jelas mendorong konsolidasi fiskal, langkah sulit yang patut diapresiasi.

Akan tetapi, strategi RAPBN 2017 masih serupa dengan APBNP 2015 dan 2016: minim keberpihakan pada kelompok miskin. Ekspansi belanja infrastruktur hanya didorong melalui penghapusan subsidi energi dan menambah utang. Dengan penerimaan perpajakan yang konservatif, dan usainya penghematan dari reformasi subsidi energi maka ruang fiskal pemerintah, hanya dapat ditambah melalui utang.

Kebijakan fiskal yang tidak lagi hanya keras kepada rakyat, dengan penghapusan subsidi energi, tapi juga mulai memaksakan efisiensi pada birokrasi melalui pemotongan anggaran, baik pusat maupun daerah, tentu patut diapresiasi. Namun, pemerintah tidak berdaya menahan beban pembayaran bunga utang, yang diproyeksikan Rp221,4 triliun atau 1,60 persen dari PDB pada 2017.

Untuk pertama kalinya, beban bunga utang tembus Rp200 triliun dan semakin lebih besar dari subsidi, sesuatu yang akan segera dimaknai sebagai minimnya keberpihakan pada kelompok miskin dan rendahnya daya tawar pada investor. Lebih buruk lagi, defisit keseimbangan primer masih berlanjut signifikan, yang menandakan beban bunga utang yang memberatkan ini dibayar dengan membuat utang baru.

Rendahnya keberanian politik untuk menurunkan beban utang, baik pokok maupun bunganya, juga didasari fakta besarnya kebutuhan pembiayaan anggaran yang harus ditutup dengan utang baru. Hal ini menciptakan siklus tiada berujung, dengan hasil akhir ketergantungan pemerintah yang semakin tinggi pada utang.

Dengan defisit anggaran Rp298,5 triliun, realisasi penerbitan SBN 2015 mencapai Rp522,4 triliun. Tahun ini, dengan target defisit Rp296,7 triliun, target penerbitan SBN untuk menambal APBNP 2016 diproyeksikan Rp611,4 triliun. Maka RAPBN 2017 dengan defisit lebih tinggi, Rp332,8 triliun, memastikan penerbitan SBN bruto 2017 akan semakin melambung.

Di sisi lain, belanja pemerintah terus menghadapi masalah klasik rendahnya penyerapan anggaran. Realisasi belanja APBNP 2015 hanya 91,05 persen. Fokus belanja 2017 yang kembali diarahkan pada infrastruktur, dengan anggaran Rp 346,6 triliun, meningkat dari APBNP 2016, akan menghadapi tantangan lebih berat.

Realisasi belanja modal APBNP 2015 hanya Rp215,4 triliun atau 78,12 persen dari pagu anggaran, lebih rendah dari realisasi 2014. Namun, dibandingkan belanja modal 2014 yang hanya Rp147,3 triliun, belanja modal 2015 ini meningkat 46,2 persen.

Tantangan belanja infrastruktur semakin tinggi karena kenaikan anggaran disebabkan sejak 2017, diperhitungkan dana transfer umum untuk infrastruktur. Ketika Rp72,5 triliun anggaran infrastruktur digantungkan pada dana transfer umum, anggaran infrastruktur melalui dana alokasi khusus (DAK) turun 49 persen, menjadi hanya Rp33,8 triliun.

Dengan semakin besar bergantung pada pemerintah daerah, yang dapat diduga lebih akan memprioritaskan non-discretionary expenditure, yaitu belanja pegawai dan belanja barang, pemerintah mempertaruhkan kredibilitas program pembangunan yang telah direncanakan.


Oleh Yusuf Wibisono
Direktur Eksekutif Indonesia Development and Islamic Studies (Ideas)/rol







Berita Terkait

Baca Juga Kumpulan Berita NEWS

MORE

MOST POPULAR ARTICLE