Selasa, 06 September 2016|13:20:51 WIB
RADARRIAUNET.COM - Entah mengapa dalam beberapa hari terakhir ini, cerita fiktif Mukidi menjadi viral dan menjejali media sosial, seperti Whataps, Facebook, dan lainnya. Cerita fiktif sederhana tapi konyol begitu digemari dan terus disebar oleh netizen di Tanah Air, bahkan beberapa media massa nasional mengangkat fenomena ini dalam headline beritanya.
Konon cerita fiktif ini sudah lama ditulis oleh seorang mantan penyiar radio, tapi kemudian didaur ulang oleh penulis lain untuk memberi kelucuan dan kesegaran di dunia maya. Tokoh Mukidi yang diceritakan tidak jelas siapa orangnya dan berasal dari mana, tapi isi cerita yang sederhana dan lucu serta karakter Mukidi yang konyol dan kritis, seolah memberi 'hiburan' tersendiri bagi pembacanya.
Pembaca seolah mendapatkan 'siraman kebahagiaan dan kepuasan batin' setelah membaca, dilanjutkan dengan menyebarkannya di jejaring sosial secara masif. Cerita ini pun menjadi viral di dunia maya.
Memang dalam jangka pendek, dengan membaca cerita Mukidi rasa penat dan galau lenyap dan cerita ini seolah menjadi obat mujarab, yang sangat paten dalam menghilangkan stres. Namun, bilamana menjadi viral dan dibaca berulang-ulang oleh jutaan netizen, lalu menjadi hobi baru sebagian besar masyarakat, seharusnya kita mewaspadai jangan-jangan ada gangguan mental di dalam tubuh kita.
Merasa bahagia saat melihat keanehan, kekonyolan, kekurangan, dan kebodohan yang menjadi karakter tokoh dalam cerita tersebut. Kemudian menjadi bahan tertawaan bersama dan berusaha mengajak orang lain untuk menertawakan. Jangan-jangan masuk ke dalam gangguan mental walaupun dalam taraf ringan.
Salah satu gangguan mental manusia adalah ketidakmampuan menghadapi stressor, yang didapat dalam kehidupannya. Menurut ahli psikoloanalisis di dalam menghadapi masalah atau stressor ada dua tipe manusia.
Tipe pertama, tipe solutif; dan yang kedua tipe pecundang. Tipe solutif adalah mereka yang menghadapi masalah dengan berorientasi tugas, dan berorientasi kepada bagaimana cara menghadapi serta metode apa untuk menghadapinya, walaupun besar stressor yang didapat pada umumnya mereka bisa menyelesaikan dengan baik.
Sebaliknya, tipe pecundang adalah mereka yang tidak mau dan atau mampu menghadapi masalah. Segala alasan dikemukakan untuk membenarkan ketidakmampuannya walaupun sebenarnya, masalah tersebut masih dalam taraf yang ringan, dan untuk menutupi kegagalan menghadapi masalah tersebut, salah satu perilaku yang dikeluarkan, yakni bersikap displacement dan ini merupakan salah satu gangguan jiwa.
Displacement adalah suatu pelampiasan ketidakmampuan menghadapi stressor, dengan cara melampiaskan kepada objek atau orang yang lebih lemah darinya. Sebagai contoh, seorang bapak yang tidak kuat menghadapi stressor pekerjaan yang berat, akan melampiaskan ketidakmampuannya dengan cara memarahi anak atau keluarganya.
Kembali ke cerita fiktif Mukidi. Dalam kehidupan yang serbaberat seperti sekarang ini, saat tensi ekonomi sangat tinggi, beban hidup yang semakin berat, ditambah kondisi lingkungan yang semakin tidak bersahabat satu sama lain, menjadi stressor bagi sebagian besar masyarakat yang hidup di zaman post modern ini. Di sanalah mereka butuh penyaluran atau paling tidak, sarana untuk mengurangi beban stressor tersebut.
Dan karakter Mukidi yang konyol serta memberi hiburan sekaligus sebagai alat displacement bagi sebagian orang, dengan membaca dan tertawa mungkin pada awalnya membuat sehat. Otak akan menyekresi hormon endorfin yang membuat rasa bahagia. Akan tetapi, bilamana terus tertawa dan merasa bahagia dengan menertawakannya secara berlebihan, apalagi mengajak orang lain untuk menertawakan dengan cara menyebar ke media sosial dan merasa lebih bahagia lagi, jangan jangan kita terkena sindrom displacement ini.
Menurut ilmu neurobehavior, setidaknya ada tiga faktor gangguan mental seseorang. Pertama, kesalahan pola asuh sejak masih kecil hingga dewasa. Pola asuh yang protektif dan cenderung memanjakan anak menyebabkan anak tidak dapat tumbuh dengan mental yang kuat.
Orang tua yang over protektif selalu mensteril anak dari paparan masalah yang sebenarnya bermanfaat bagi penguatan mentalnya. Akibatnya, anak akan tumbuh menjadi generasi yang serba enak, tapi rapuh secara mental.
Kerapuhan mental tersebut mengakibatkan seseorang akan mudah mengalami distress saat mendapat stressor dan cenderung melampiaskan kepada objek yang lebih lemah, walaupun dalam dunia maya atau cerita fiktif.
Faktor kedua, lingkungan. Lingkungan hidup yang sangat kompetitif merupakan stressor yang berat dalam menapaki kehidupan sehari-hari. Persaingan di lingkungan kerja dan kondisi rumah tangga yang bermasalah, dan masyarakat membutuhkan sarana yang pas untuk mengendorkan ketegangan dan kecapaian selama ini. Dan, cerita Mukidi memberi obat sementara dari ketegangan hidup ini.
Hal lain dari kemungkinan gangguan mental, yakni sikap egosentris, tidak simpati, menertawakan kekurangan orang lain yang dianggap sesuatu yang lucu dan menghibur menunjukkan sikap egosentris. Walaupun di dalam cerita fiktif, tetapi bila dibiarkan dalam jangka panjang bsia berubah menjadi gangguan mental yang tidak baik bagi kesehatan masyarakat secara keseluruhan. Asal dirinya senang tidak akan memperhatikan penderitaan dan kesusahan orang lain merupakan ciri khas seorang egosentris.
Sebagai penutup mungkin pembaca menganggap berlebihan menghubungkan cerita fiktif Mukidi dan gangguan mental kita. Namun paling tidak ini peringatan awal bahwa ada sesuatu yang tidak sempurna dalam kesehatan mental kita bilamana merasa senang dan bahagia melihat kebodohan, kekonyolan, dan kepolosan seorang Mukidi (walau dalam cerita fiktif) yang kemudian kita tertawakan secara berjamaah dengan membagi secara berlebihan dan berulang di jejaring sosial kita.
Oleh Badrul Munir
Dokter spesialis saraf RS Saiful Anwar, Dosen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang/rol