RADARRIAUNET.COM - Kementerian Komunikasi dan Informatika menunda revisi tarif interkoneksi. Keputusan sementara ini dibuat karena Dokumen Penawaran Interkoneksi (DPI) belum lengkap terkumpul. Pihak yang tak mau menyerahkan DPI adalah Telkom/Telkomsel.
"Saat ini Dokumen Penawaran Interkoneksi (DPI) belum lengkap terkumpul, sehingga penyelenggara dipersilakan menggunakan acuan yang lama," tulis Kominfo dalam pengumumannya, Jumat (2/9/2016).
Meski keputusan tersebut telah resmi diberlakukan, operator Indosat Ooredo tetap mengambil sikap dengan mendukung penurunan biaya interkoneksi. Dalam pernyataan resminya, CEO Indosat Ooredoo, Alexander Rusli, mengatakan bila pihaknya akan tetap mendukung penurunan biaya interkoneksi karena memungkinkan operator dapat memasuki pasar secara lebih sehat.
"Kami dapat memahami sikap Kementerian Kominfo, yang merupakan wujud dari penghormatan kepada DPR-RI. Namun demikian, semangat dan substansi dari surat edaran yang berisi penurunan biaya interkoneksi rata-rata 26 persen pada 18 skenario panggilan telepon dan SMS antar operator tidak berubah. Karena penurunan biaya interkoneksi secara alamiah dan ilmiah pasti terjadi sebagai konsekuensi dari kemajuan teknologi yang semakin efisien dan skala ekonomi jaringan yang semakin besar," ujar Alexander.
Alexander juga mengatakan, evaluasi berkala atas biaya interkoneksi merupakan satu tugas penting pemerintah untuk menjaga persaingan usaha yang sehat. Menurutnya, biaya interkoneksi yang tinggi menghambat operator lain untuk dapat memasuki pasar secara sehat dan memberikan pilihan layanan yang lebih bervariasi kepada pelanggan.
Dia juga menambahkan, masyarakat perlu mengetahui bahwa interkoneksi adalah kewajiban bagi operator dan tidak sepatutnya diandalkan sebagai sumber pendapatan untuk memperoleh keuntungan.
Pertarungan antar-operator telekomunikasi di Indonesia mengenai tarif interkoneksi telah melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sebelumnya, mereka hanya adu argumen di bawah koordinasi Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara.
Keterlibatan DPR tak bisa dilepaskan dari sikap Telkom dan Telkomsel yang tak setuju dengan penurunan tarif interkoneksi dari Rp250 menjadi Rp204 per menit yang akan berlaku mulai tanggal 1 September 2016 sampai dengan Desember 2018. Hal itu tertuang dalam Surat Edaran Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 1153/M.Kominfo/PI.02004.08/2016.
Berbeda dengan Telkomsel, operator lain, yaitu Indosat, XL, Tri dan Smartfren sejak awal getol mendorong agar tarif interkoneksi turun. Salah satu alasan yang mereka kemukakan saat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi I DPR hari ini, Kamis (25/8/2016), adalah agar masyarakat bisa menelepon ke operator mana pun dengan biaya lebih murah.
Kemarin, XL mendorong BRTI (Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia) untuk mengumpulkan Dokumen Penawaran Interkoneksi (DPI) dari para operator agar tarif interkoneksi yang baru bisa segera berlaku.
Menurut anggota BRTI, I Ketut Prihadi, saat ini, terdapat 2 operator yang belum mengumpulkan DPI yaitu Telkom dan Telkomsel. Sementara 4 operator lainnya, Indosat, XL, Smartfren dan Hutchison 3, telah mengumpulkan DPI.
Telkomsel mengakui bahwa mereka memang belum mengumpulkan DPI. Alasannya, Kominfo belum memberikan jawaban tertulis terkait protes Telkomsel.
"Telkomsel belum menyerahkan Dokumen Penawaran Interkoneksi (DPI) sebagaimana yang disampaikan perwakilan Kementerian Kominfo melalui media, karena belum mendapatkan jawaban secara tertulis perihal surat keberatan Telkomsel yang ditujukan kepada Menteri Telekomunikasi dan Informatika. Hal ini Telkomsel rasa perlu, untuk menegakan asas tata kelola pemerintahan yang baik dan transparan," kata Direktur Utama Telkomsel, Ririek Adriansyah.
Sementara itu, anggota Komisi I DPR Bobby Adhityo Rizaldi mengaku mendukung penurunan tarif interkoneksi. Tapi, kebijakan tersebut harus mendapatkan persetujuan dari seluruh operator.
"Jadi sebenarnya kita mendukung saja, namanya tarif turun masak enggak dukung. Cuma intinya berapa pun penurunan atau tarif baru itu harus disetujui oleh semua oprator," kata Bobby, Jumat (2/9/2016).
Politikus Golkar itu mengingatkan pihak pemerintah, pembahasan tarif interkoneksi tersebut harus berkiblat pada aturan yang ada, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi.
"Jadi intinya apa pun kebijakan pemerintah kita setuju asalkan sesuai dengan aturan yang ada. Tapi kan tidak sesuai dengan PP 52, karena tidak semua operator setuju," ungkap dia.
Selain itu, Bobby menekankan bahwa Komisi I tidak mau menanggapi alasan tidak setujunya seluruh operator terkait penurunan tarif Interkoneksi sebesar 26 persen. Sebab, hal itu bukan ranah Komisi I.
Hal senada juga disampaikan anggota Komisi I lainnya Arief Suditomo yang mendukung keputusan Kemenkominfo menunda penerapan kebijakan tarif interkoneksi. Menurutnya, penghitungan tarif harus berdasarkan formula yang menguntungkan semua pihak.
"Jadi formulanya harus dihitung ulang," kata Arief.
Dia mengatakan, formula pukul rata yang diterapkan pemerintah tidak akan disetujui oleh semua operator. Sebab, hal itu tak sebanding dengan cost recovery basist yang telah dikeluarkan untuk membangun infrastruktur jaringan telekomunikasi, khususnya di luar pulau Jawa.
"Artinya, pihak-pihak yang sudah berinvestasi dan mengeluarkan biaya yang besar untuk masuk ke daerah terbelakang memang harus mendapatkan kompensasi atau semacam pembayaran interkoneksi yang sesuai," kata dia.
"Pihak yang mengeluarkan investasi kecil mendapatkan kompensasi kecil, yang besar mendapatkan kompensasi besar."
Arief menjelaskan, formula penyusunan tarif interkoneksi berdasarkan PP Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi bersifat asimetris. Tidak pukul rata seperti yang diharapkan Menkominfo Rudiantara.
"Saya pikir kita harus menghargai pihak yang sudah mengeluarkan investasi begitu besar juga harus ada penghitungan ulang dan transparan,"katanya.
Lex/mtvn/radarriaunet.com