RADARRIAUNET.COM - Jumlah pengidap diabetes atau diabetesi di Indonesia, menurut data International Diabetes Federation (IDF) 2015, semakin banyak. Di sisi lain, jumlah diabetesi yang memiliki pengendalian gula darah sangat sedikit.
Hal ini terungkap dalam diskusi Peran Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM) pada Pengelolaan Diabetes yang dilakukan oleh Perkumpulan Endikronologi Indonesia (Perkeni) bekerja sama dengan Rosche Indonesia.
Menurut data IDF, Indonesia berada di peringkat ke-7 dari 10 negara dengan diabetesi tertinggi di dunia. Berbicara angka, diabetesi di Indonesia menurut IDF diperkirakan 10,021 juta. Sedangkan menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan 2013, prevalensi diabetes mencapai 6,9 persen dari total penduduk di atas 15 tahun.
"Dari survei yang kami lakukan 2015 lalu, sampai saat ini kami mencatat hanya ada 250 ribu pasien diabetesi Indonesia yang memiliki pengecekan gula darah dengan benar dan teratur," kata Benny Kurniawan dari Rosche Indonesia, saat ditemui CNNIndonesia.com di Hotel JW Marriot, pada Senin (30/8).
Bila berasumsi pada jumlah diabetesi menurut IDF, maka pengidap salah satu penyakit kronis tersebut yang memiliki pengendalian gula darah secara benar hanya sekitar 2,5 persen. Padahal pengendalian gula darah yang mencakup pengecekan gula darah teratur adalah salah satu hal penting dalam penanganan diabetes.
Penderita diabetes bukan hanya dituntut mengonsumsi berbagai obat-obatan dan konsultasi ke dokter. Salah satu bagian terpenting adalah pengendalian gula darah agar dapat mengurangi berbagai risiko komplikasi yang mengancam diabetesi, mulai dari mata hingga kaki.
Salah satu bentuk PGDM adalah pengecekan gula darah untuk melihat hemoglobin glikosilat atau HbA1c sebagai indikator jangka panjang kendali gula darah. HbA1c menggambarkan rata-rata gula darah selama dua hingga tiga bulan dan berfungsi melihat dampak pengobatan diabetes.
Namun pengecekan gula darah melalui alat glukometer ternyata masih menjadi kendala PGDM di Indonesia. Survei yang dilakukan perusahaan Benny mencatat sebagian besar glukometer hanya dimiliki oleh diabetesi di kawasan urban dan golongan menengah ke atas. Ia beranggapan, Indonesia masih berfokus pada perawatan rawat inap dibanding rawat jalan.
"Kalau di Amerika Serikat, diabetesi datang ke fasilitas kesehatan primer seperti Puskesmas sudah diberi alat pengecekan gula darah secara gratis. Dengan begitu, pasien dapat memperoleh fasilitas monitoring gula darah secara baik dan benar," katanya.
Berharap dari Dokter
Dalam kesempatan yang sama, Perkeni mengumumkan tengah merampungkan panduan sosialisasi PGDM. Melalui Em Yunir, Ketua Divisi Metabolik Endokrinologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM, panduan ini akan berguna untuk menyamaratakan persepsi pengendalian diabetes.
Panduan yang akan rampung pada Oktober ini rencananya menyasar dokter spesialis dan tenaga kesehatan umum yang akan menjadi garda pertama berhadapan dengan diabetesi. Panduan ini akan memberikan standar mulai dari penggunaan glukometer, titik atau aspek penting pemeriksaan, hingga edukasi ke pasien.
Menurut Yunir, para dokter ini diharapkan menjadi pendidik diabetesi agar dapat melakukan PGDM dengan baik dan benar.
"Bila nanti muncul indikasi pasien harus melakukan pemeriksaan gula darah secara rutin dan harus beli alat, mereka dapat memahami penggunaan alat tersebut. Kadang pasien hanya diminta beli alat tanpa diberikan informasi pemeriksaan gula darah apa yang diperlukan," kata Yunir.
Ketika pasien sanggup melakukan pemeriksaan gula darah dengan teknik benar, maka diharapkan akan menghasilkan data gula darah yang benar pula. Data ini menjadi penting lantaran sebagai landasan dokter menentukan keputusan medis terkait diabetesi.
Menurut Yunir, data harian dari pasien banyak terjadi kesalahan yang bersumber dari teknik pemeriksaan hingga menampilkan hasil tidak akurat.
"Banyak kesalahan dari hal sederhana, misalnya darah tercampur alkohol, penyimpanan alat sembarangan, dan lain-lain," Yunir menambahkan. "Karena dokter mendapatkan hasil tanpa melihat prosesnya, ini menyebabkan intepretasi jadi salah."
Inovasi dari Perkeni ini bukan yang pertama di dunia. Sebelumnya beberapa negara maju sudah mengeluarkan berbagai panduan baik untuk tenaga medis, pasien, hingga keluarga. Keterlibatan dan dukungan berbagai pihak di sekitar pasien sangat dibutuhkan demi keberhasilan mempertahankan diri dari penyakit mematikan di dunia tersebut.
cnn/fn/radarriaunet.com