RADARRIAUNET.COM - Kepala Balai Taman Nasional Tesso Nelo (TNTN) Darmanto sebut hingga saat ini pihaknya bekerja sama dengan TNI/Polri telah berhasil menangkap tujuh perambah dan pembakar hutan.
Empat orang di antaranya dalam proses penyidikan kepolisian serta dua orang lagi sudah dinyatakan lengkap proses penyidikannya (P21) dan segera dilimpahkan ke kejaksaan. "Mereka sementara kita titipkan di Polres Pelalawan. Intinya kita terus memaksimalkan pengawasan perambahan dan perambahan tersebut," kata Darmanto, saat memaparkan hasil kerjanya saat evaluasi Karlahut di Lanud Roesmin Nurjadin, Jumat (19/8/16).
Hadir pada kesempatan Danrem 031/WB, Sekdaprov Riau Ahmad Hijazi, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Riau Edwar Sanger, serta beberapa perwakilan instansi terkait lainnya seperti Badan Metreologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), serta tiga instansi pemerintahan pemerintah provinsi seperti Dinas Kehutanan, Dinas Perkebunan dan Badan Lingkungan Hidup (BLH).
Operasi penangkapan ketujuh perambah dan pembakaran hutan di kawasan TNTN tersebut dilakukan pada saat operasi ekspidisi yang digelar sekali sebulan. Tidak hanya itu, pihaknya juga menemukan sedikitnya 20 pondok atau gubuk liar yang diduga dibangun perambah. Kegiatan itu juga melibatkan pihak keamanan seperti TNI dan Polri.
Menurut Darmanto, dengan segala keterbatasan mereka memang tidak bisa memaksimalkan pengawasan. Apalagi menurutnya, tingginya tekanan atas perambahan dikawasan taman nasional tersebut.
Sayangnya Darmanto tak memaparkan dengan rinci apakah ketujuh orang yang ditangkap tersebut hanya masyarakat biasa atau siapa sebenarnya dalangnya. Darmanto juga tak menjelaskan adakah oknum pembeking hingga akhirnya disebutkannya tingginya tekanan atas pengawasan yang dilakukannya di TNTN tersebut.
Lebih lanjut, Darmanto menyatakan 90 persen perambah hutan dan pembakar hutan di Taman Nasional Teso Nelo (TNTN) adalah masyarakat pendatang berasal dari Sumatera Utara kemudian pendatang dari Jawa. Menurutnya, akibat perambahan itu, luasan TNTN yang awalnya mencapai 81 ribu lebih kini hanya bersisa 22 ribu hektar saja.
Dijelaskannya juga, 58 ribu hektar di kawasan TNTN sudah dirambah dengan rincian 28 ribu sudah disulap menjadi areal perkebunan sawit, 30 ribu menjadi semak blukar. Permasalahan ini menurut Darmanto tentunya sangat ironis jika dilihat dari harapan pemerintah pusat melalui rekomendasi Gubernur Riau menjadikannya menjadi Taman nasional pada awalnya. Pelestarian ragam hayati termasuk adanya dua kantong gajah didalamnya.
Darmanto bahkan menyatakan persentase kerusakan akibat perambahan dan pembakaran hutan di TNTN sangat mungkin terus menyusut, jika seluruh stake holder tidak berpadu menanganinya.
teu/rtc/radarriaunet.com