Kamis, 20 Agustus 2015|22:37:12 WIB
Oleh: Bustanul Arifin
GEBRAKAN pertama Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution untuk memperbaiki kualitas data ekonomi pangan sebenarnya perlu disambut dengan baik.
Data ialah pangkal dari semua kebijakan publik di mana pun di dunia, tidak terkecuali di Indonesia.
Bayangkan, jika sesama lembaga negara harus bersilang pendapat tentang data resmi pemerintah, kualitas kebijakan pasti akan terpengaruh.
Momentum perbaikan yang telah digulirkan pemerintah tidak boleh hilang begitu saja karena sulit sekali menemukan momentum yang tepat seperti sekarang.
Menteri baru, semangat baru, dan gairah baru seharusnya lebih dari cukup untuk memperbaiki kualitas data ekonomi pangan.
Salah satu penyebab kontroversi keputusan perlu-tidaknya impor sapi, impor jagung, atau bahkan klaim tentang surplus beras yang lebih dari 10 juta ton ialah kualitas data dan estimasi produksi dan konsumsi komoditas strategis itu ternyata jauh dari memadai.
Benar bahwa semuanya ialah estimasi atau aproksimasi dari kenyataan yang sebenarnya.
Akan tetapi, estimasi yang bersumber dari pengukuran umumnya lebih akurat jika dibandingkan dengan data yang bersumber dari asumsi.
Jika asumsi yang digunakan cukup jauh dari kondisi yang sebenarnya, tentu estimasi yang dihasilkan akan bias.
Apalagi, jika metodologi yang digunakan untuk menghasilkan estimasi itu telah terkesan kedaluwarsa (obsolete) karena keengganannya untuk mengaplikasikan temuan baru, inovasi baru, dan hasil penelitian baru yang diperoleh dari proses panjang dengan metodologi yang ketat dan teruji secara akademik.
Harusnya surplus
Data ekonomi pangan di Indonesia sebagian bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS), sebagian lagi bersumber dari Kementerian Pertanian dan pemerintah daerah.
Penjelasan kasus data beras itu seharusnya menjadi perhatian serius.
Pada 1 Juli lalu BPS mengumumkan secara resmi bahwa angka ramalan pertama (aram I) produksi padi pada 2015 diperkirakan mencapai 75,55 juta ton gabah kering giling (GKG), atau mengalami peningkatan 6,65% jika dibandingkan dengan produksi pada 2014 yang mencapai 70,8 juta ton.
Angka tersebut setara dengan 40 juta ton beras, dengan angka konversi 0,57. Jika angka konsumsi beras sebesar 114,12 kg per kapita per tahun, total konsumsi beras untuk 253 juta penduduk berkisar sekitar 30 juta ton.
Artinya, Indonesia seharusnya telah mencapai target surplus beras 10 juta ton.
Fakta yang terjadi ialah sampai Juni 2015, Indonesia telah melakukan impor beras sekitar 50 ribu ton walau sering dibantah hanya sebagai beras premium atau beras untuk penderita diabetes yang tidak diproduksi di Indonesia.
Estimasi data produksi padi, jagung, dan kedelai dilakukan bersama oleh BPS dan Kementerian Pertanian.
Data produksi ialah perkalian data produktivitas (dalam ton per hektare) dengan luas panen (dalam hektare).
Data produktivitas diperoleh dengan aproksimasi data ubinan atau sampel lahan petani 2,5 x 2,5 meter yang dilakukan petugas BPS bekerja sama dengan kepala cabang dinas (KCD) pertanian tanaman pangan, atau yang dulu dikenal dengan mantri tani, atau dengan penyuluh pertanian lapang (PPL).
Data luas panen diperoleh bukan dari pengukuran (objective measurement), melainkan dengan metode eye estimate (sejauh mata memandang) menggunakan sistem blok pengairan, perkiraan penggunaan pupuk, dan lain-lain.
Setidaknya terdapat tiga faktor yang menjadi sumber diskrepansi dari estimasi data produksi beras sampai saat ini.
Pertama, pengambilan sampel ubinan yang berjumlah puluhan ribu sampel, karena 50% dilakukan petugas BPS (mantri statistik) dan 50% dilakukan mantri tani atau PPL, tentu saja membuka peluang terjadinya kesalahan sampel (sampling error) dan kesalahan nonsampel (non-sampling error).
Kedua, perkiraan eye estimate yang dilakukan mantri tani cenderung bias (ke atas), apalagi mereka ialah bawahan kepala dinas tanaman pangan yang memiliki atasan seorang politikus bupati/wali kota dengan berbagai macam kepentingannya, apalagi jika mereka sedang melaksanakan program tertentu, yang melibatkan instansi lain yang tidak memiliki kompetensi khusus melakukan pengukuran dan estimasi data luas panen.
Ketiga, bias indeks pertanaman (IP atau cropping intensity) yang masih menggunakan metodologi yang tidak mengikuti perkembangan zaman atau kenyataan sebenarnya di lapangan.
Para ahli hidrologi memiliki anggapan dengan kondisi saluran irigasi rusak hampir setengahnya seperti saat ini, angka indeks pertanaman (IP) yang logis ialah 1,3-1,4.
Faktor IP itu menjadi penting karena sebagai kalibrasi luas baku sawah atau luas tanam sawah menurut data citra satelit yang seluas kurang dari 8 juta hektare menjadi 14,3 juta hektare luas panen.
Artinya, IP yang digunakan pada saat ini mendekati 1,7, suatu angka yang sangat besar untuk 'meledakkan' data produksi atau perkalian luas panen dengan produktivitas.
Secara detail, sumber diskrepansi dan overestimasi data produksi beras tentu tidak dapat semua diungkapkan pada ruang yang terbatas di sini.
Akurasi estimasi
Contoh kedua ialah kasus diskrepansi data jagung. BPS memperkirakan produksi jagung pada 2015 diperkirakan mencapai 20,67 juta ton jagung pipilan kering, atau mengalami peningkatan sebesar 8,72% jika dibandingkan dengan produksi 2014 yang mencapai 19 juta ton.
Jika sebagian besar produksi jagung nasional digunakan untuk pakan ternak, estimasi konsumsi jagung oleh industri pakan maksimal 12 juta ton, dan konsumsi langsung oleh masyarakat sebesar 6 juta ton, seharusnya Indonesia telah mengalami surplus jagung.
Faktanya ialah impor jagung pada 2014 tercatat sebesar 3,2 juta ton. Ini suatu bukti lain tentang kenyataan buruknya akurasi estimasi produksi jagung di Indonesia.
Ketika pemerintah mengambil keputusan untuk melarang impor jagung, karena data produksi telah menunjukkan surplus, para pelaku ekonomi industri pakan akhirnya melakukan protes keras, walau tidak sampai turun ke jalan, karena mereka kesulitan memperoleh pasokan jagung dari dalam negeri.
Sebagaimana dimaklumi, akhirnya pemerintah kembali memberikan izin impor jagung hampir 1 juta ton, terdiri dari 483 ribu ton yang telanjur tiba di pelabuhan dan 503 ribu ton untuk pengapalan Agustus dan September 2015.
Penjelasan yang hampir sama dapat diberikan terhadap kualitas data ekonomi kedelai, ekonomi gula, ekonomi daging sapi, dan sebagainya.
Kalangan akademik, para petani, dan pelaku usaha sebenarnya sudah terlalu letih untuk membahas kualitas data ekonomi pangan karena respons yang tidak positif dan hampir selalu menentang dan membantah.
Sekarang, semua kembali terpulang kepada nurani dan akal sehat para perumus kebijakan di negeri ini, apakah akan terus membiarkan menghasilkan kebijakan yang tidak akurat dengan mengandalkan data yang tidak akurat atau berupaya untuk memperbaiki kualitas kebijakan dan dampak kesejahteraannya kepada masyarakat luas.
Sebagai penutup, beberapa solusi berikut dapat dipertimbangkan untuk memperbaiki kualitas data ekonomi pangan.
Pertama, di bidang produksi, ketiga sumber diskrepansi data tersebut wajib ditanggulangi, dengan cara perbaikan kerangka sampel dan pengukuran atau survei luas panen dan luas tanam yang lebih teliti.
Kedua, di bidang konsumsi, pemerintah harus berani mengambil keputusan untuk menggunakan data konsumsi yang telah dihitung dengan kalibrasi survei stok pangan dan metodologi lain yang lebih ketat.
Ketiga, melepaskan kepentingan politik sesaat, dengan memberi tanggung jawab lebih besar kepada BPS.
Penulis: Guru Besar Universitas Lampung Ekonom Indef,Ketua Forum Masyarakat Statistik.