Fenomena Palsu, Politik dan Pilkada
Naila, Pelaksana Tugas Kasie Pemeriksaan BBPOM Banda Aceh Memperlihatkan tiga botol vaksin kadaluarsa yang ditemukan di Rumah Sakit Swasta di Aceh Barat. tnc

Fenomena Palsu, Politik dan Pilkada

Rabu, 10 Agustus 2016|14:24:24 WIB




RADARRIAUNET.COM - Akhir-akhir ini, fenomena 'palsu' seperti vaksin palsu dan BPJS palsu kian merebak. Tentu saja semua ini merugikan banyak pihak. Berkaitan dengan itu, para penegak hukum pun didesak agar mengusut tuntas kasus tersebut. Namun demikian, saya mengajak kita agar melihat persoalan ini secara komprehensif. Amat boleh jadi, fenomena palsu merupakan gambaran dari stagnannya moralitas bangsa kita dalam segala hal. Tulisan ini coba melihat relevansi hal tersebut dengan politik Pilkada. Tesis dasarnya adalah: dalam politik (Pilkada), fenomena palsu juga (kemungkinan) ada.

Kepalsuan dan Politik
Tak dipungkiri bahwa politik seringkali 'berkawan erat' dengan kepalsuan. Elite-elite politik acapkali memproklamirkan diri sebagai politikus sejati, berpolitik untuk kemaslahatan bersama, tetapi kenyataanya seringkali bertolak belakang. Seringkali janji-janji politik tidak diwujudkonkretkan. Mereka berjanji, tetapi janji itu hanya sebagai 'pemanis' untuk merebut hati rakyat.

Ketika rakyat memberi kepercayaan, mereka pun mencampakkan rakyat. Apa yang mereka katakan adalah palsu, diseting demi ambisi pragmatis. Mereka seringkali memelintir politik untuk kepentingan parsial. Rakyat sebagai aspek elementer dari politik dilupakan. Politik tidak lagi memperjuangkan kepentingan rakyat, tetapi justru 'memperjungkalkan' rakyat. Alih-alih berdiri pada posisi rakyat, mereka malah menginstrumentalisasi rakyat. Politik dikapitalisasi dan dikapling-kapling. Maka harus diakui bahwa kepalsuan telah menjadi bagian integral dari politik kita.

Memang benar bahwa politik itu suci (Sirait, 2013), sebab selalu berkaitan dengan kebijakan-kebijakan demi memerdekakan manusia dari sandera sosial yang dirancang secara sistematis. Walaupun demikian, faktanya politik acapkali dipelintir, didekonstruksi dan direduksi ke dalam kerangka berpikir ambisius-subyektif dan tidak lagi berjalan dalam kerangka liberatif-kemanusiaan. Politik dipakai untuk tindakan salah kaprah, mengabaikan aspek demokratis, menciptakan dikotomi dan polarisasi serta menindas rakyat. Diharapkan untuk menjadi instrumen liberatif, politik malah melahirkan tindak-tanduk distortif-abratif. Politik dijadikan sebagai instrumen yang dipakai untuk mencapai keinginan-keinginan ilegal.

Sungguh tepat kata Mulgan (1994), bahwa politik, yang semestinya dan seharusnya dibangun berdasarkan nilai-nilai moral serta etika, justru didominasi oleh praktik-praktik memperbanyak kepentingan dan untuk menyelamatkan diri semata. Politik menjadi alat dan diperalat untuk memperoleh keuntungan pribadi. Politik menjadi lahan bisnis untuk mendapatkan kekuasaan dan kekayaan secara tak sah.

Kepalsuan dan Pilkada
Tidak ada jaminan bahwa Pilkada kita juga akan bebas dari fenomena palsu. Memang benar bahwa Pilkada merupakan perhelatan demokrasi elektoral-lokal untuk menentukan pemimpin. Tetapi persoalannya adalah seringkali kekuasaan yang ingin diperoleh melalui Pilkada itu tidak didapatkan dengan cara-cara etis, elegan dan demokratis, melainkan dengan cara-cara tak pantas, penuh setingan kepalsuan. Karena ingin merebut simpati rakyat, para calon pemimpin acapkali membohongi rakyat. Mereka menjadi pribadi kamuflase. Masa-masa menjelang Pilkada adalah masa dimana calon pemimpin menampilkan diri seakan-akan figur yang pantas untuk dipercayai. Bagaimana tidak, di mana-mana mereka pasti ada. Tak hanya itu, mereka tiba-tiba menjadi dermawan dan suka 'blusukan'. Rakyat pun terpana, lalu percaya pada jebakan politik yang mereka mainkan.

Namun demikian, tak satupun yang mengetahui dengan pasti, apakah 'kepekaan' calon pemimpin seperti itu adalah benar adanya ataukah palsu. Pengalaman selalu membenarkan bahwa saat masih menjadi calon, mereka berjanji untuk menjadi pemimpin artikulatif-responsif. Tetapi setelah terpilih, secara perlahan tetapi pasti, mereka melupakan janji tersebut. Rakyat seringkali diperdayai oleh berbagai bentuk kepalsuan calon pemimpin. Bahkan setelah menjadi pemimpin mereka kerapkali melawan rakyat. Mereka bukan lagi figur artikulatif, dermawan dan altruis, tetapi berhasil menunjukkan keaslian sebagai pribadi individualis yang acuh tak acuh terhadap rakyat. Rakyat baru menyadari bahwa ternyata apa yang telah ditunjukkan saat mereka masih menjadi calon pemimpin adalah palsu. Oleh karena itulah, kita berharap agar calon pemimpin tidak boleh melakukan 'sandiwara'. Pilkada bukanlah panggung kepalsuan, melainkan momentum pembuktian diri sebagai calon pemimpin berkarakter, orisinal dan memiliki keinginan suci untuk melayani rakyat. Mereka tidak boleh menjebak rakyat dengan strategi palsu. Adalah lebih elok untuk tidak memaksa diri untuk menjadi pemimpin jika memang tidak memiliki kemampuan untuk itu. Calon pemimpin mesti jujur dengan diri sendiri.

Oleh: Inosentius Mansur
Dosen dan Pemerhati Sosial Politik dari Stipas St. Sirilus Ruteng
tnc/fn/radarriaunet.com







Berita Terkait

Baca Juga Kumpulan Berita NEWS

MORE

MOST POPULAR ARTICLE