RADARRIAUNET.COM - Isu politik yang sangat ramai menjadi diskusi publik adalah tentang kemungkinan Tri Rismaharini (Risma), yang konon hendak diadu melawan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dalam Pilkada DKI Jakarta 2017. Isu tersebut menyiratkan prospek politik Risma sangat baik dan membuka berbagai kemungkinan untuk dirinya menuju kursi nomor satu di DKI Jakarta, kemudian kursi nomor satu atau nomor dua di negeri ini.
Meskipun isu tersebut sudah dibantah Risma, publik tetap mendiskusikannya dengan mengingat sejarah politik Joko Widodo sebelum menjadi Presiden. Bahwa sejarah politik di negeri ini memang mencatat: Jokowi semula adalah kader PDIP yang diusung partai tersebut untuk menjadi calon wali kota Solo.
Ketika sudah menjadi wali kota Solo (dalam periode kedua) tiba-tiba diusung untuk menjadi calon gubernur di DKI Jakarta. Ketika sudah menjadi gubernur DKI Jakarta, tiba-tiba diusung untuk menjadi calon presiden yang akhirnya menjadi Presiden RI.
Sejarah politik juga mencatat: Megawati Soekarnoputri, sebagai ketua umum PDIP, pernah menyatakan bahwa Jokowi hanya petugas partai, meskipun sudah menjadi Presiden karena partailah yang mengusungnya untuk menjadi calon presiden. Dalam hal ini, Risma juga sebagai petugas partai yang bisa saja bernasib seperti Jokowi: semula menjadi wali kota, lantas menjadi gubernur kemudian menjadi presiden.
Di balik sejarah politik tersebut, ada aroma hegemoni partai yang tampaknya selalu menjadi perhatian publik. Bahwa PDIP layak dianggap menerapkan hegemoni partai, dengan mengusung seorang wali kota untuk diadu dalam pemilihan gubernur, dan setelah menjadi gubernur diadu lagi dalam pemilihan presiden.
Hegemoni partai bagi PDIP tampaknya dianggap positif, karena tujuannya untuk mengusung figur terbaik menjadi pemimpin hingga level tertinggi. Mungkin karena itulah, layak diduga bahwa PDIP akan tetap mengusung Risma untuk menjadi calon gubernur pada Pilkada DKI Jakarta 2017.
Jika dugaan tersebut tidak keliru, bisa jadi nasib Risma akan seperti Jokowi. Artinya, jika Risma betul-betul diusung PDIP untuk menjadi calon gubernur, dan ternyata bisa menjadi gubernur di DKI Jakarta mungkin nanti juga akan diusung menjadi calon presiden pada Pilpres 2019, dan bisa jadi akan menjadi Presiden menggantikan Jokowi (dalam hal ini jika, misalnya, Jokowi dianggap tidak layak lagi diusung oleh PDIP untuk menjadi calon presiden).
Tampaknya, Indonesia memang memerlukan partai yang mampu menerapkan hegemoni politik, agar muncul pemimpin nasional yang berpengalaman memimpin daerah. Dalam hal ini, pengalaman memimpin daerah bisa menjadi bagian proses persiapan untuk menjadi pemimpin nasional yang berintegritas dan berkualitas, jujur, dan tidak korup sesuai kebutuhan, atau bahkan sesuai dengan harapan segenap rakyat.
Dengan demikian, rakyat di daerah yang telah memilih pemimpinnya harus rela jika tiba-tiba pemimpin pilihannya diusung partai untuk diadu di level lebih tinggi. Misalnya, rakyat Surabaya harus rela seandainya Risma diusung PDIP untuk menjadi calon gubernur dalam Pilkada DKI Jakarta 2017, lebih-lebih jika nanti juga diusung untuk menjadi calon presiden dalam Pilpres 2019.
Begitu juga, bagi Risma seharusnya bangga dan bersedia diusung PDIP untuk melawan Ahok, karena itulah kesempatan baginya untuk membuktikan diri sebagai pemimpin berintegritas dan berkualitas di level lebih tinggi sesuai harapan rakyat.
Seandainya rakyat DKI Jakarta nanti ternyata memilih Risma, itulah kesempatan baginya untuk diusung menjadi calon presiden dalam Pilpres 2019. Selanjutnya, rakyat DKI Jakarta yang telah memilihnya juga harus rela, bahkan bangga jika Risma diusung partai untuk menjadi calon presiden, lebih-lebih jika ternyata dipercaya rakyat untuk memimpin negeri ini.
Di sisi lain, rakyat Surabaya layak meniru rakyat Solo yang begitu rela dan bangga karena pemimpin pilihannya (Jokowi), diusung partai untuk menjadi pemimpin di level lebih tinggi. Dalam hal ini, Risma tidak perlu merasa bersalah kepada rakyat Surabaya, yang telah memilihnya untuk kembali menjadi wali kota Surabaya, kalau nanti ternyata memang diusung PDIP untuk menjadi calon gubernur DKI Jakarta.
Dengan demikian, hegemoni politik yang diterapkan PDIP layak didukung rakyat Surabaya dan Risma agar negeri ini tidak mengalami krisis kepemimpinan nasional. Misalnya, jika Risma nanti ternyata bisa menjadi gubernur DKI Jakarta, lalu diusung partai (tidak harus PDIP) untuk menjadi calon presiden melawan Jokowi, Pilpres 2019 nanti akan diikuti oleh dua figur pemimpin yang betul-betul berkualitas. Risma atau Jokowi yang menang tidak menjadi soal lagi, karena sama-sama berpengalaman sebagai pemimpin yang baik.
Atau, jika nanti ada skenario lain, misalnya dalam Pilpres 2019 Jokowi menjadi calon presiden berpasangan dengan Risma sebagai calon wakil presiden, bisa jadi itulah pasangan yang ideal sesuai harapan rakyat. Hal ini bukan impian atau tidak sekadar fantasi jika Risma bersedia diusung PDIP untuk bertarung di Pilkada DKI Jakarta 2017, dan ternyata menang melawan Ahok.
oleh Siti Siamah
Peneliti Global Data Reform/rol