RADARRIAUNET.COM - Tewasnya Santoso alias Abu Wardah, pimpinan Mujahidin Indonesia Timur (MIT), dalam baku tembak dengan prajurit Batalion Raider 515 di Poso (18/7), menegaskan peran Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam pemberantasan terorisme. Pemerintah berencana mempertahankan peran tersebut meskipun muncul sejumlah kekhawatiran kembalinya aksi-aksi represif militer seperti pada masa Orde Baru (Orba).
Masyarakat memang pantas khawatir. TNI berhasil menewaskan Santoso, tokoh yang selama ini paling dicari-cari dalam Operasi Tinombala di Poso sejak awal 2016 dan Operasi Camar Maleo sejak awal 2015. Namun, sebenarnya pemberantasan terorisme adalah kewenangan kepolisian.Dalam hal ini, Densus 88 Antiteror. Namun, belakangan, TNI kerap kali "diperbantukan" dalam program deradikalisasi yang wujud nyatanya adalah ikut memburu para teroris.
Keterlibatan TNI dalam beberapa operasi Densus 88 Antiteror memang cukup membawa hasil. Namun, menjadikannya sebagai alasan utama pemerintah untuk mempertahankan peran tersebut yang akan dimatangkan melalui revisi Undang-Undang Pemberantasan Terorisme (UU Antiterorisme) perlu diskusi publik dan pemikiran yang lebih matang. Ini soal serius menyangkut peran militer yang melebar lebih dari sekadar menjaga keamanan negara dari serangan pihak luar.
Dalam revisi UU Antiterorisme, pelibatan TNI diatur dalam Pasal 43B Ayat (1). Pasal ini menyebutkan, "Kebijakan dan strategi nasional penanggulangan tindak pidana terorisme dilaksanakan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia, Tentara Nasional Indonesia, serta instansi pemerintah terkait sesuai dengan kewenangan masing-masing yang dikoordinasi oleh lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan penanggulangan terorisme."
Pasal ini secara tegas dan jelas menyebutkan pihak TNI. Apakah selama ini kepolisian gagal menanggulangi terorisme sehingga perlu pihak lain seperti TNI? Dan, apakah TNI seperti "kurang kerjaan" sehingga perlu mengambil peran yang tidak seharusnya ia mainkan. Keamanan dalam negeri adalah tugas kepolisian. Jika diibaratkan negara itu seperti rumah, keamanan dalam rumah adalah tugas kepolisian, sementara keamanan di luar rumah adalah tugas TNI. Setiap pihak punya tugas masing-masing, tidak terlibat dalam peran pihak lain.
Jika pemerintah tetap ngotot mematangkan revisi UU Antiterorisme yang memberi kewenangan luas kepada TNI untuk ikut memberantas terorisme, ini akan menjadi pintu masuk TNI mengambil peran yang lebih jauh lagi kelak. TNI bisa kembali menjadi lembaga represif seperti pada zaman Orba yang seenaknya menangkap, memenjarakan, hingga membunuh orang-orang yang diduga teroris.Sepanjang masih mampu ditangani oleh pihak kepolisian, TNI tidak perlu dilibatkan.
Ini zaman reformasi.Salah satu agendanya adalah mengembalikan TNI ke baraknya, tidak ikut berpolitik praktis.Ini bukan berarti menafikan ancaman dan bahaya terorisme. Bukan pula menunjukkan bahwa kepolisian masih lemah mengatasi terorisme sehingga perlu pihak lain untuk membantu. Semua pihak memang perlu ikut berkontribusi menanggulangi terorisme, tidak hanya pihak pemerintah, tetapi juga masyarakat sipil melalui program deradikalisasi dalam bentuk pencegahan dan pencerahan terhadap masyarakat agar tidak terkontaminasi virus atau ideologi terorisme, baik dari luar maupun dari dalam.
Masalah terorisme tidak bisa diatasi hanya dengan pendekatan militerisme seperti yang biasa dilakukan oleh Densus 88 Antiteror meskipun terkadang itu diperlukan untuk melumpuhkan sel-sel terorisme. Tidak kalah penting juga adalah pendekatan kultural. Dalam hal ini, masyarakat sipil mengambil peran yang signifikan. Masyarakat perlu diberi pemahaman yang utuh tentang ancaman dan bahaya terorisme sehingga mereka tidak bersikap acuh tak acuh. Selain itu, mereka juga bisa didorong untuk ikut berperan menanggulangi terorisme melalui sarana-sarana, seperti pendidikan.
Ideologi terorisme muncul biasanya dari pemahaman keagamaan yang minim.Para teroris mengerti agama bukan dari sumber otoritatif, seperti ulama yang kredibel. Akibatnya, mereka memahami agama secara tidak utuh. Mereka, misalnya, memahami doktrin jihad adalah perang melawan pihak yang mereka anggap "kafir", padahal mereka yang dianggap demikian adalah Muslim. Lebih ekstrem lagi, kelompok teroris menganggap orang yang tidak ikut mereka artinya adalah di luar kelompok mereka dan mereka harus diperangi.
Pemahaman keagamaan yang keliru semacam itu tentu saja tidak bisa ditangani secara militeristis. Semakin banyak teroris yang tertangkap atau terbunuh, tanpa diiringi dengan program deradikalisasi secara kultural oleh para tokoh masyarakat dan ulama yang kredibel, upaya militerisme tidak akan menyentuh akar masalah. Ideologi itu ada di kepala, dalam pemikiran. Karena itu, perlu ditangani dengan jalan pemikiran juga. Memperbanyak dan menambah upaya-upaya militerisme dalam menanggulangi terorisme selain tidak efektif, juga akan menambah banyaknya pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Pemerintah, dalam soal revisi UU Antiterorisme, perlu mendengarkan suara-suara semua pihak. Jangan sampai kebijakan yang diharapkan efektif dan efisien malah menimbulkan persoalan serius pada kemudian hari. Terorisme memang termasuk kejahatan luar biasa. Namun, terorisme adalah persoalan kompleks. Ia berkaitan dengan banyak persoalan, seperti sosial, ekonomi, agama, politik, dan budaya. Ia tidak berdiri sendiri dan hadir dalam ruang hampa tanpa sebab-musabab. Selama ini, terorisme memang kerap kali dianggap dekat dengan persoalan pemahaman keagamaan. Nyatanya, tidak sepenuhnya demikian.
Ketidakadilan dan kesenjangan ekonomi juga menjadi penyebab munculnya terorisme. Seperti dikatakan SF Kazmi dan T Pervez (2011), terorisme merupakan ekspresi dari ketidakseimbangan kekuatan (power), agresi eksternal, ketidakadilan, dan tekanan ekonomi. Budaya kekerasan juga bisa menjadi penyebab munculnya terorisme. Seperti dikatakan Pettiford dan Harding (2003), terorisme jarang terjadi pada lingkungan masyarakat yang tidak biasa menerima budaya kekerasan sebagai bagian tradisi mereka.
Jadi, tidak semua persoalan dapat diselesaikan dengan moncong senjata atau pendekatan militerisme (hard power), mengingat kompleksitas persoalan. Pemerintah perlu arif dan bijaksana dalam hal ini, jangan otoriter dalam membuat kebijakan publik. Perlu juga pendekatan kultural yang lebih lunak (soft power) yang terkadang justru lebih efektif dan efisien.
oleh Fajar Kurnianto
Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta/rol