RADARRIAUNET.COM - Adaptasi novel Andrea Hirata berperan besar menggairahkan dunia perfilman Indonesia. Saat novel pertamanya, Laskar Pelangi difilmkan pada 2008, pencinta film dan yang haus inspirasi berbondong-bondong ke bioskop.
Film itu menjadi tontonan terlaris bahkan sampai detik ini. Penontonnya di bioskop mencapai lima juta.
Bersama Ayat-ayat Cinta, film yang membuat (saat itu) Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menitikkan air mata, Laskar Pelangi menyumbang penonton ke bioskop sampai 7,1 juta, menurut data 21 Cineplex. Tahun itu, total jumlah penonton film Indonesia 30 juta orang.
Gairah itu masih terbawa sampai setahun berikutnya. Sang Pemimpi, Garuda di Dadaku, serta Ketika Cinta Bertasbih 1 dan 2, punya penonton di atas satu juta. Total penonton film Indonesia mencapai 25 juta orang.
Sayang, tahun ke tahun tren itu menurun. Penyebabnya beragam. Mulai film yang mendadak seragam - horor seksi - sampai disetopnya impor film oleh aturan pemerintah. Dunia perfilman terus melesu, setidaknya sampai beberapa tahun belakangan.
Sejak tahun lalu, gairah menonton kembali bergejolak. Memasuki 2016, gairah itu makin terasa. Sampai Juli 2016, total penonton film Indonesia sudah mencapai 16 juta orang. Itu angka tertinggi sejak 2009, padahal perhitungan baru sampai tengah tahun.
Perusahaan bioskop berjaringan 21 Cineplex sampai memberikan penghargaan untuk tujuh film Indonesia yang punya lebih dari satu juta penonton.
Penghargaan diberikan awal pekan ini kepada London Love Story (1,1 juta), ILY from 38,000 Feet (1,3 juta), Rudy Habibie (1,8 juta), Koala Kumal (1,6 juta), Comic 8: Casino Kings Part 2 (1,8 juta), My Stupid Boss (tiga juta), dan Ada Apa dengan Cinta? 2 (3,7 juta). Dari 16 juta penonton, film-film itu menyumbang 14 juta.
Artinya, 61 film lokal lain (film Indonesia yang tayang 2016 sebanyak 68) berebut dua juta penonton sisanya. "Berarti juga, tujuh film itu menyumbang 88 persen penonton Indonesia," kata Catherine Keng, Corporate Secretary Cinema 21.
Itu baru berdasarkan data 21 Cineplex, yang menguasai 80 persen layar di Indonesia. Belum lagi beberapa bioskop independen dan dua pesaing besar.
Berkat film-film itu, market share film nasional pun ikut meningkat. Dari 20 persen pada 2015 dengan jumlah layar 1.111, menjadi 30 persen sampai tengah tahun ini dari 1.188 layar. Memang masih kalah dibanding 2008, saat market share film nasional sampai 55 persen terhadap total penonton.
Penonton film asing tahun ini memang tinggi, 53,3 juta, tapi minat terhadap film Indonesia tidak kalah besar.
Lihat saja AADC 2 yang head to head dengan Captain America: Civil War. Data Disney dan Marvel menunjukkan, Civil War nomor satu di box office Indonesia. Penonton di Indonesia juga tertinggi di kalangan Asia Tenggara.
Tapi AADC 2 tetap bertaji. Kelanjutan kisah Rangga dan Cinta, yang kembali diramu Mira Lesmana dan Riri Riza, tetap mendulang penonton setelah 14 tahun absen di bioskop Indonesia.
Dari angin segar itu dunia perfilman berharap gairah menonton film Indonesia bisa tetap terjaga. 21 Cineplex bahkan menargetkan, sampai akhir tahun ini jumlah penonton film Indonesia bisa mencapai 25 juta orang. Tidak mustahil, selama gairahnya ada.
Mira menekankan pentingnya memelihara gairah itu. Sebagai sineas, ia melakukannya lewat film-film berkualitas. Mira mengaku selalu mencoba 'menggelitik' gairah itu ketika perfilman Indonesia mulai lesu.
"Ada kalanya lesu, tidak ada film Indonesia. Makanya dulu bikin Petualangan Sherina, AADC. Tahun lalu mencoba bikin Pendekar Tongkat Emas tapi tidak tembus. Tahun ini AADC 2 berhasil menggairahkan kembali," kata Mira sebelum dianugerahi penghargaan.
Menurutnya, membangkitkan gairah juga harus memerhatikan penonton. Apa yang mereka mau, bukan hanya apa yang diinginkan sineas. "Kita harus memberikan hal lebih kepada penonton karena mereka bayar. Orang itu memilih (film), jadi kita yang harus paham kebutuhan mereka," tutur Mira.
Gonjang-ganjing Kuota
Suksesnya ketujuh film menggairahkan perfilman nasional, diapresiasi pemerintah. Maman Wijaya dari Pusat Pengembangan Perfilman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, mengakui prestasi itu sangat hebat. Film-film itu bisa besar bahkan sebelum pemerintah memberi dukungan apa pun.
"Tapi saya dapat pesan dari Pak Anies (Anies Baswedan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kabinet Joko Widodo sebelum di-reshuffle), permudah semuanya untuk perfilman. Bikin suasana kondusif agar perfilman lebih baik," Maman menyampaikan tegas.
Salah satu upaya kementerian mendukung film Indonesia, menurut Maman, adalah dengan menerapkan sistem kuota seperti di China. Merujuk pada apa yang tertulis di Pasal 32 UU Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman, kuota untuk film lokal dan impor adalah 60:40.
"Pelaku usaha pertunjukan film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) wajib mempertunjukkan film Indonesia sekurang-kurangnya 60% (enam puluh persen) dari seluruh jam pertunjukan film yang dimilikinya selama 6 (enam) bulan berturut-turut," demikian bunyi undang-undang itu.
Sayangnya, Maman mengatakan, hingga saat ini sistem itu belum bisa dijalankan. "Karena aturan teknisnya, berupa Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri belum ada," ia menjelaskan.
Peraturan-peraturan yang disebut Maman saat ini sedang dalam tahap penyusunan. "Finalisasi," katanya.
Meskipun, sistem kuota yang termaktub dalam UU itu anehnya tidak punya konsekuensi hukum. Tidak ada sanksi jelas jika pengusaha bioskop melanggar Pasal 32 UU Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman itu. Jelas, saat ini bioskop masih menyediakan lebih banyak layar untuk film impor, karena mereka juga lebih banyak merilis karya.
Catherine mengatakan kepada media bulan lalu, kuota itu tidak realistis. "Kalau 20 sampai 30 persen itu lebih realistis," katanya. Sebab saat ini produksi film nasional belum sebanyak impor. Jika tetap harus memenuhi kuota, Catherine mempertanyakan, siapa yang menambal sisa kuota yang ada?
"Khawatirnya aturan itu melindungi film-film yang tidak mutu dan tidak diminati yang hanya mengatasnamakan film nasional. Penonton dan citra film nasional lah yang nantinya dirugikan."
Lagipula, berdasarkan penelitian Entgroup tentang box office di China, bahkan kontribusi film lokal mereka yang dikenal kuat pun tidak sampai 60 persen. Dari penelitian yang dirilis 2015 itu, kontribusi film domestik tertinggi di China hanya 59 persen.
Itu terjadi pada 2013, setelah pada 2012 kontribusi film lokal hanya 48 persen sementara film impor sampai 52 persen. Terakhir, pada 2014 kontribusi film lokal China turun menjadi 55 persen. Namun itu masih di atas film impor yang kontribusinya 45 persen, naik empat persen dari tahun sebelumnya yang jatuh di 41 persen.
China layak menjadi perbandingan karena ia akan menjadi pasar film terbesar di dunia, termasuk bagi Hollywood. Namun apa yang terjadi di China juga tak bisa serta-merta disamakan dengan perfilman Indonesia.
Catherina menjelaskan, definisi film lokal di China dan Indonesia berbeda. Di China, asal ada investasi dari perusahaan Negeri Tirai Bambu, meskipun produser dan bintang-bintangnya Hollywood, disebut 'lokal.'
Maka film 'lokal' itu dapat porsi besar. Mereka boleh tayang bahkan di black period, yang di China muncul setiap Hari Buruh. Lihat saja Kung Fu Panda. Indonesia pernah punya black period, lazimnya setelah Lebaran.
Tahun ini, 21 Cineplex memberlakukan itu. Dua pekan di awal Juni lalu, bioskop hanya diisi film Indonesia. Kalau pun ada film asing, itu 'sisa' sebelumnya. Ghostbusters sampai harus pindah jadwal tayang demi lima film nasional yang disokong penuh bioskop.
Tapi tidak bisa setiap tahun black period, masa-masa di mana layar bioskop diperuntukkan hanya untuk film nasional diberlakukan. Butuh film-film berkualitas dan evaluasi panjang.
Menanggapi keluhan bioskop soal jumlah film yang tak mencukupi jika kuota diberlakukan, Maman santai. Menurutnya, jika keberatan bioskop hanya soal ketidaktersiadaan stok film yang memadai, masih bisa diperbaiki.
"Ketersediaannya harus ditingkatkan. Cara yang dilakukan adalah mendorong peningkatan produksi melalui peningkatan kapasitas insan perfilman dengan pelatihan, workshop, fasilitasi pembuatan film, dan penyelenggaraan pendidikan film," Maman menjabarkan.
Ia menegaskan, kuota masih tetap akan diberlakukan karena itu cara terbaik memproteksi perfilman Indonesia. Apalagi sebentara lagi makin banyak investasi, produksi, dan distribusi film asing, yang masuk berkat dibukanya Daftar Negatif Investasi.
cnn/radarriaunet.com