Kemkes Bantah Tak Becus Mengatur Peredaran Vaksin
Anggaran rumah sakit membeli obat mencapai 40-55 persen dari total anggaran.Ant

Kemkes Bantah Tak Becus Mengatur Peredaran Vaksin

Sabtu, 16 Juli 2016|20:29:03 WIB




RADARRIAUNET.COM - Kemampuan Kementerian Kesehatan (Kemkes) dalam mengawasi distribusi obat dan vaksin mulai diragukan menyusul terkuaknya peredaran vaksin palsu di sejumlah wilayah di Indonesia. Namun Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kemkes, Oscar Primadi menolak jika institusinya dinilai tidak becus dalam mengawasi dan mengurus distribusi obat dan vaksin. 
 
Oscar berulang kali menekankan vaksin yang dipalsukan merupakan vaksin impor diluar program pemerintah. Untuk vaksin yang didistribusikan pemerintah pusat ke fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes), Oscar menjamin keasliannya. Sebab, katanya, sistem distribusi vaksin dari pemerintah disesuaikan dengan kebutuhan dan sasaran yang ditargetkan. 
 
Dengan cara itu, ketersediaan vaksin tidak akan kekurangan dan kemungkinan adanya distributor tidak resmi pun menjadi nihil. 
 
"Kalau dari sisi distribusi yang dilakukan pemerintah tidak perlu dikhawatirkan keasliannya, tanpa ada pemalsuan. Yang dipalsukan adalah yang melakukan pembelian-pembelian tidak pada distributor resmi atau vaksin-vaksin yang ditengarai opsional," kata Oscar di kantornya di Jakarta, Jumat (15/7) siang.
 
Rumah Sakit Belanjakan Rp550 Miliar untuk Obat dan Vaksin
 
Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) memperkirakan alokasi belanja untuk obat dan vaksin rumah sakit bisa mencapai Rp550 miliar.
 
Ketua Umum Persi Kuntjoro Adi Purjanto mengatakan pembelian produk obat dan vaksin menjadi salah satu yang paling tinggi dalam alokasi dana rumah sakit dalam kategori barang kefarmasian. Dia menuturkan persentase itu bisa mencapai 40—55 persen.
 
Menurutnya, hal itu dapat dilihat dari pendapatan kotor rumah sakit yang bisa mencapai Rp800 miliar—Rp1 triliun lebih. Pendapatan tersebut sambungnya, tergantung apakah rumah sakit itu berada di daerah atau ibu kota.
 
“Ada yang ada Rp800 miliar pendapatan kotornya. Kalau itu dipresentasikan, maka 40 persen sampai dengan 55 persen itu belanjanya (barang kefarmasian),” kata Kuntjoro, di Kantor Persi, Jakarta, Jumat (15/7).
 
Penjelasan Persi itu terkait dengan kasus dugaan pemalsuan vaksin yang dibongkar oleh kepolisian. Asosiasi itu menyatakan industri farmasi sebenarnya merupakan industri dengan aturan yang sangat ketat.
 
Terkait dengan vaksin palsu, Kuntjoro menegaskan tidak semua pembelian produk vaksin itu palsu. Menurutnya, masalah tersebut bisa saja terjadi karena dugaan persengkongkolan antara pembeli vaksin dan dokter.
 
Dia mencontohkan celah kejahatan itu terjadi ketika vaksin itu tak tercatat di gudang farmasi maupun buku pembelian, namun produknya tetap masuk di rumah sakit. Oleh karena itu, paparnya, pihaknya menunggu hasil penyelidikan kepolisian mengenai kejahatan tersebut.
 
Kuntjoro menuturkan sebenarnya pengawasan terhadap bisnis rumah sakit dilakukan oleh sedikitnya empat pihak. Mereka adalah Satuan Pengawas Internal Rumah Sakit; Dewan Pengawas Dinas Kesehatan; Badan POM; serta Badan Pengawas Rumah Sakit.
 
“Lubang-lubangnyanya lebih melalui individu. Pengadaannya bisa saja tidak melalui proses farmasi (resmi), bekerja sama dengan dokternya,” katanya. 
 
Diketahui, Kementerian Kesehatan sendiri menggelontorkan dana Rp2,82 triliun untuk ketersediaan obat dan vaksin pada 2016 atau meningkat sekitar 91 persen dibandingkan dua tahun sebelumnya yakni 2014 senilai Rp1,46 triliun. 
 
Hal itu terungkap dalam Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Kesehatan 2015-2019 dan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (Lakip) Kementerian Kesehatan 2014 dan 2015. Dalam dokumen itu dipaparkan nilai anggaran yang terserap pada 2014 mencapai Rp1,46 triliun dari total Rp1,77 triliun, sedangkan periode 2015 mencapai Rp1,74 triliun. 
 
Oscar berharap rumah sakit (RS) mampu mengatur informasi supaya lebih terarah dan terstruktur. Selanjutnya, untuk mencegah kasus serupa terulang, Oscar menyatakan Kemkes akan menguatkan jejaring komunikasi terpadu dan terintegrasi dengan RS, pemerintah pusat, dan Dinkes.
 
Lebih jauh, Oscar kembali mengimbau masyarakat untuk tetap tenang dan tidak khawatir terkait kasus vaksin palsu. Dia menjamin kemkes akan memberi sanksi yang setimpal kepada fasyankes yang terlibat kasus ini.
 
"Tentu ini aspek hukum, tentu yang bersalah akan kita lakukan tindakan. Kita imbau masyarakat jangan panik, tentu hukum akan ditegakkan," ujarnya.
 
Kemkes mengadakan rapat internal di gedung Kemkes bersama 14 RS yang termasuk dalam daftar pengguna vaksin palsu. Rapat itu membahas mengenai penindakan dan upaya-upaya yang akan dilakukan.
 
Menteri Kesehatan Nila Moeloek sebelumnya menyatakan akan mempertimbangkan sanksi penutupan operasional kepada fasyankes yang menggunakan vaksin palsu. Namun Oscar menerangkan bahwa sanksi akan diberikan sesuai tingkat dan jenis kejahatannya. 
 
Ia menjelaskan, bila kejahatan dilakukan oleh oknum, maka hukuman akan dijatuhkan kepada oknum. Adapun, jenis sanksi itu mulai dari teguran, penurunan status akreditasi, pencabutan status akreditasi, sampai dengan rekomendasi pencabutan izin operasional sesuai dengan pernyataan Menkes.
 
"Tingkatnya kita lihat, bisa pencabutan izin, tapi itu (penutupan operasional) terakhir lah. Kalau sudah diakreditasi, bisa diturunkan atau dicabut," ungkap Oscar.
 
Terbongkarnya peredaran dan penggunaan vaksin palsu tak membuat program-program imunisasi umum dan kegiatan pelayanan kesehatan lingkup nasional dihentikan. Pelayanan dan program imunisasi dijamin berjalan seperti biasa. Yang difokuskan oleh Kemkes, kata Oscar adalah korban dampak vaksin palsu yang masih menjalani proses investigasi.
 
Saat ini Kemkes tengah meminta Rumah Sakit (RS) untuk mendata kembali rekam medis pasien, nama-nama pasien yang melakukan vaksinasi, dan jenis vaksin yang diberikan. "Dengan data yang jelas, kita akan mudah mengintervensi dan melakukan vaksinasi ulang," ujarnya. 
 
Lex/cnn/RR-H24






Berita Terkait

Baca Juga Kumpulan Berita LIFE

MORE

MOST POPULAR ARTICLE