RADARRIAUNET.COM - Rencana pemerintah ikut dalam kesepakatan Trans Pacific Partnership Agreement (TPPA) dinilai tidak akan menguntungkan Indonesia, jika kompetensi industrinya masih rendah seperti saat ini.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati mengatakan, bergabung dengan TPP bukan berarti Indonesia bisa memiliki keleluasan dalam aktivitas perdagangan.
Justru sebaliknya, TPP malah menciptakan persaingan ketat di antara negara anggotanya karena masing-masing anggota mengekspor produk serupa, yaitu manufaktur.
Menurut data Bank Dunia 2014, porsi ekspor manufaktur terhadap total ekspor negara-negara anggota TPP rata-rata di atas 50 persen. Sementara itu, porsi ekspor manufaktur terhadap total ekspor Indonesia masih sebesar 8,6 persen.
"Sebanyak 79,6 persen ekspor Indonesia merupakan komoditas dan komoditas ini digunakan oleh industri-industri luar negeri sebagai bahan baku yang murah. Kalau memang Indonesia mau gabung dengan TPP, setidaknya Indonesia harus memiliki kemampuan ekspor manufaktur yang setara dengan negara-negara tersebut," jelas Enny, Rabu (1/6).
Sayangnya, menurut Enny, kondisi tersebut membuat sektor manufaktur Indonesia tidak menarik untuk dimasukkan ke dalam jaringan rantai pasokan global. Karena dengan jumlah ekspor manufaktur yang lebih sedikit dibanding negara-negara anggota TPP, maka barang manufatur Indonesia tidak efisien secara harga.
Pasar Empuk
Oleh karenanya, tak menutup kemungkinan jika nantinya Indonesia hanya akan dijadikan sasaran ekspor manufaktur negara lain. Apalagi dengan jumlah populasi sebanyak 237 juta jiwa, pasar Indonesia memiliki porsi 30,35 persen dari seluruh penduduk anggota TPP yang sebesar 787,79 juta jiwa.
"Kalau melihat manufaktur Indonesia, apa yang bisa dibanggakan? Di dalam global supply chain, selamanya Indonesia hanya akan berada di sisi penyuplai bahan mentah. Yang jadi persoalan adalah negara lain memanfaatkan Indonesia alih-alih Indonesia yag memanfaatkan kerjasama ini untuk memperluas pasarnya," terangnya
Jika kejadiannya sudah seperti demikian, ia khawatir neraca perdagangan Indonesia bisa semakin memburuk. Enny menilai tanpa adanya kebijakan yang berhasil membenahi iklim perdagangan dan perindustrian nasional, maka keanggotaan Indonesia di TPP akan menjadi sia-sia.
"Artinya bagaimana Indonesia bisa segera berbenah dan mampu memanfaatkan kerjasama ini demi memenuhi permintaan pasar, bukan malah Indonesia yang dijadikan objek," terangnya.
Sekretaris Jenderal Institut Otomotif Indonesia Yanuarto Widihandono ikut mengkhawatirkan Indonesia yang akan menjadi sasaran impor otomotif karena tidak adanya alasan kuat bagi investor untuk mau berinvestasi di negara ini.
Ia mencontohkan banyaknya bahan baku industri otomotif yang perlu diimpor seperti baja dan aluminium yang membuat ongkos produksi membengkak dan belum hadirnya teknologi yang bisa memproduksi mobil sesuai permintaan negara TPP. Jika itu dibiarkan, harapan Indonesia untuk memasarkan produk otomotif ke pasar-pasar baru bisa pupus di tengah jalan.
"Dan mungkin nanti timbal balik perdagangannya tidak imbang. Misalkan dengan Jepang dan Korea Selatan, memang Indonesia bisa kirim mobil utuh (Completely Built-Up Unit/CBU) tapi mereka bisa ekspor ke Indonesia mobil mewah. Yang terbuka memang ada Australia dan Selandia Baru, tapi mereka menerapkan standar emisi Euro 5 dan 6," jelasnya.
Menurut data Badan Pusat Statitistik (BPS), nilai ekspor Indonesia sepanjang 2015 mencapai US$150,25 miliar, sementara impor Indonesia tercatat sebesar mencapai US$142,74 miliar pada periode yang sama.
Cnn/radarriaunet.com