RADARRIAUNET.COM - Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) membaca terjadinya pergeseran tren pembayaran pembelian produk ritel berharga mahal dari sebelumnya dengan menggunakan kartu kredit, menjadi tunai. Selain itu yang lebih mengkhawatirkan Aprindo adalah, kebijakan tersebut akan memicu warga negara Indonesia berbelanja ke luar negeri.
Wakil Ketua Umum Aprindo Tutum Rahanta menduga perubahan perilaku itu muncul karena konsumen tidak nyaman bertransaksi dengan kartu kredit karena kini data-data transaksinya bisa dibuka oleh Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP Kemenkeu).
"Sebetulnya tujuan Pemerintah ini baik, tapi implementasinya itu bikin psikologis masyarakat terganggu. Apalagi bagi mereka yang memang orang kaya,” kata Tutum, Rabu (18/5).
Tutum menuturkan, perusahaan ritel sendiri tidak mempermasalahkan terjadinya perubahan metode pembayaran tersebut karena sama-sama memberikan pemasukan bagi bisnis mereka. Namun yang membuat Tutum khawatir adalah, efek jangka panjang dari aturan wajib lapor transaksi kartu kredit akan membuat warga kelas atas Indonesia lebih memilih berbelanja di luar negeri.
“Tidak menutup kemungkinan juga orang-orang kaya ini malah akan lebih sering shopping ke luar negeri nantinya," tegas Tutum.
Sebagai informasi, akses Pemerintah terhadap data kartu kredit nasabah tertuang di dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 39/PMK.03/2016 tentang Rincian Jenis Data dan Informasi Serta Tata Cara Penyampaian Data dan Informasi yang Berkaitan dengan Perpajakan.
Merujuk pada implementasi kebijakan itu, Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Jahja Setiaatmadja bilang banyak nasabah ketakutan sampai akhirnya menutup kartu kreditnya di bank dengan kapitalisasi terbesar di Indonesia itu.
"Sejak peraturan itu berlaku ada 3 kali lipat penutupan kartu kredit BCA, mutasi harian kami turun dari Rp147 miliar per hari langsung turun ke Rp120 miliar," ujar Jahja, kemarin.
Ia menilai aturan tersebut menjadi contoh ketidakselarasan aturan yang dibuat oleh instansi pemerintah. Sebab di sisi lain, otoritas moneter dan jasa keuangan tengah meningkatkan pola transaksi tanpa menggunakan uang tunai yang salah satunya akan digenjot melalui penggunaan kartu kredit.
"Padahal Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sedang meningkatkan cashless society atau bagaimana mengurangi peredaran uang tunai biar lebih efisien. Ini yang menjadi dilematis dan menjadi satu hal yang tidak match antar regulasi," jelas Jahja.
Sebagai informasi, sebelum aturan tersebut diberlakukan, BI telah mencatat penurunan volume transaksi kartu kredit pada kuartal I 2016 sebanyak 25,84 juta atau turun 3,59 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, 26,80 juta. Sementara dari sisi nominal, transaksi turun 6,77 persen dari Rp26,57 triliun menjadi Rp24,77 triliun.
RRN/CNN/H24