Saat Air seperti Emas di Pulau Penawar Rindu
Kemarau belum lagi menyambangi Pulau Penawar Rindu di Batam, Kepulauan Riau. Namun air bersih sulit didapat, sukar ditemukan. Aghnia Adzkia/cnn

Saat Air seperti Emas di Pulau Penawar Rindu

Sabtu, 23 April 2016|19:05:02 WIB




RADARRIAUNET.COM - "Di sini tidak kemarau, tapi kami sulit air bersih. Air sama seperti emas dan sangat berharga. Kami menggunakan penampungan air hujan karena waduk hanya bertahan saat hujan turun." 
 
Analis Lingkungan Pijar Liensar Ramadhana berusaha bertahan hidup di Pulau Penawar Rindu, Batam, Kepulauan Riau. Pria asal Bengkulu yang terbiasa menggunakan air bersih tanpa perhitungan itu, kini harus ekstra hati-hati. 
 
Jika tidak bijak memakai air di pulau itu, ia terancam tak mandi hingga empat hari. Padahal Pijar mesti bekerja saban hari di Pusat Kesehatan Masyarakat setempat.  
 
"Hal yang paling membuat stres adalah kalau kekurangan air untuk mandi. Kami terbiasa tidak mandi. Masyarakat di sini juga begitu," kata dia. 
 
Pijar tak sendiri. Nasib sama dialami Jemris Mikael Atadena (26) yang tengah bertugas menjadi analis gizi di daerah tersebut. Pria asal Alor, Nusa Tenggara Timur, yang terbiasa hidup dengan air berlimpah di daerah asalnya itu kini harus rela mandi dengan dua gayung air saja.
 
Air yang mereka gunakan di Penawar Rindu tidaklah gratis. Satu drum air dibeli dengan harga sekitar Rp20 ribu. Warga juga terbiasa menggunakan  air hujan yang ditampung menggunakan wadah khusus seperti ember dan drum.
 
"Pengalaman paling nahas di sini susah air. Giliran kami mau mandi, airnya sampai tidak ada. Kalau beli satu drum dapat penuh itu bersyukur. Pernah kami sudah beli air tapi diambil orang," kata Jemris. 
 
Saat itu, Jemris yang tinggal serumah dengan Pijar tengah menyiapkan air untuk kebutuhan esok hari. Air dibiarkan berada dalam drum yang ditinggal di halaman rumah. 
 
Keesokan harinya, air tersebut sudah ludes. "Kalau tidak dijaga. sudah diambil orang," kata Jemris.
 
Ia tak tahu sejak kapan air jadi barang langka di Pulau Penawar Rindu. Beda sekali dengan air di daerah asal Jemris. “Di Alor airnya sangat jernih dan banyak.”
 
Air sumur jadi pilihan terakhir warga Penawar Rindu. Warna air sumur yang kuning kecokelatan menjadi alasan warga enggan menggunakannya. 
 
Di pulau ini, sumber air memang tak ditemukan. Waduk pun sengaja dibuat untuk menampung air. Penyulingan air laut menjadi air tawar belum juga digarap. 
 
Dilematis
 
Air pun menjadi barang berharga di Pulau Penawar Rindu Batam Kepulaun Riau. Air hujan yang didapat gratis dan ditampung di wadah, bagai menjadi sumber mata air tak ternilai. 
 
Di sisi lain, kebiasaan warga setempat yang menimbun air dalam jangka waktu lama menimbulkan dilema. Sebab air di dalam drum bak surga bagi kawanan jentik nyamuk demam berdarah, aedes aegypti. 
 
"Penampungan air menjadi sarang jentik nyamuk. Ini masalah utama di sini. Kami ingatkan ke mereka untuk buang air dan siramkan ke tanaman," kata Pijar. 
 
Kepala Puskesmas Tanjung Sari di Penawar Rindu, Agnes Sintalia Saing, mengatakan jentik nyamuk yang bertelur bisa membahayakan seluruh warga pulau.
 
"Ada dua waduk buatan, tapi airnya air hujan. Mau tidak mau warga nampung masing-masing lagi, dan itu jadi tempat hidup jentik nyamuk. Bisa jadi nyamuknya terbang dan tidak menyerang keluarga yang punya tadah," kata Agnes saat ditemui jurnalis CNNIndonesia.com di Pulau Penawar Rindu. 
 
Untuk mencegah meluasnya persebaran demam berdarah, petugas puskesmas dan Tim Nusantara Sehat dari Kementerian Kesehatan memeriksa jentik nyamuk secara berkala.
 
"Biasanya sebulan sekali. Kami bersama warga juga ramai-ramai membersihkan lingkungan," kata Agnes.
 
Meski demikian, program tersebut belum sepenuhnya efektif lantaran kesadaran masyarakat atas pentingnya lingkungan bersih juga belum utuh. 
 
Agnes berharap timnya kelak bisa mengubah kebiasaan masyarakat setempat untuk hidup bersih.  
 
Masalah lain yang muncul di Penawar Rindu ialah soal kesehatan. Jika warga terserang demam, mereka tak langsung memeriksakan diri ke puskesmas, melainkan datang ke dukun untuk mendapat pengobatan alternatif. 
 
Seorang warga Pulau Kasu yang juga bagian dari Pulau Penawar Rindu misalnya, meninggal karena terlambat diobati.
 
"Dia pergi ke dukun dulu untuk sembur-sembur, tidak ke rumah sakit langsung," kata Agnes. Penanganan pun terlambat meski warga tersebut kemudian dibawa ke Rumah Sakit Otorita Batam.
 
Tinggal di Penawar Rindu tidaklah mudah. Pulau yang berjarak 20 menit perjalanan perahu dari Batam itu bak daerah pedalaman yang tak terjamah pembangunan, berbanding tegak lurus dengan Batam yang gemerlap dan modern. 
 
 
dw/cnn/rrn/h24/lex






Berita Terkait

Baca Juga Kumpulan Berita NEWS

MORE

MOST POPULAR ARTICLE