RADARRIAUNET.COM - Seorang tamtama militer bernama Suparno menjadi salah satu saksi dalam Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965 yang digelar di Hotel Aryaduta, Jakarta, Senin (18/4).
Di hadapan peserta Simposium, Suparno menceritakan kisah nahasnya. Semua kesialan itu dimulai pada 30 September 1965 –hari kelam bagi bangsa Indonesia.
Suparno berasal dari Batalyon Brawijaya, Surabaya, Jawa Timur. “Waktu itu saya ikut tugas di Jakarta untuk HUT ABRI. Posisi kesatuan saya, tanggal 30 September di Monas.”
Keesokannya, 1 Oktober, kesatuan Suparno dibawa ke Markas Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad). Di sana sudah hadir Panglima Daerah Militer Brawijaya dan Panglima Kostrad Mayor Jenderal Soeharto.
Diboyongnya kesatuan Suparno ke Markas Kostrad ketika itu, kata dia, merupakan titah Menteri Dalam Negeri Jenderal Basuki Rahmat.
“Dua bulan kemudian, ada surat cuti. Ketika keluar batalyon, saya ditodong dan disuruh turun dari becak. Saya tidak mau. Saya lalu dibuntuti lima orang (membawa senapan) laras panjang. Saya dikepung oleh sekitar satu kompi,” kata Suparno.
Sampai di rumah, ujar Suparno, ia ditodong dan disuruh angkat tangan. Suparno kemudian diminta membawa pakaian dalam dan dibawa pergi.
“Saya dibelokkan ke Denpom (Detasemen Polisi Militer) Madiun. Menjelang jam tujuh malam, saya diperiksa Komandan Denpom,” ujar Suparno.
Saat itu Suparno ditepuk dan diberi tahu, “Tenang, kamu tidak salah.”
Namun Suparno kemudian diinterogasi. “Ditanya apa yang saya ketahui. Ada 25 pertanyaan. Pertanyaan ke-25, dikatakan, ‘Kamu mau membunuh perwiramu. Katanya kamu mau mengganti kedudukan dia.’”
Suparno pun kaget. “Bayangkan, saya kopral dua, tamatan SD. Apa masuk akal?”
Dari Denpom Madiun, Suparno dibawa ke Rumah Tahanan Militer Madiun. Dia menjadi tahanan politik militer selama lima tahun, dan dilepas tahun 1970.
“Lima tahun ditahan, saya tidak pernah diadili. Saya salah apa? Padahal keberangkatan saya ke Jakarta 30 September atas perintah Pangkostrad,” ujar Suparno.
Kesedihan Suparno kian lengkap karena rumah tangganya jadi brantakan. “Istri saya diberikan ke orang, saya antar sendiri ke penghulu. Anak saya di sekolah dibilang ‘Anak PKI, anak PKI. Padahal saya ini tentara.”
Di akhir cerita, Suparno berkata, “Seorang prajurit tak akan menjalankan apapun tanpa perintah atasan.”
cnn/rrn