Selasa, 17 November 2015|13:30:58 WIB
RADAR TIONGHOA - Kesenian Gambang Kromong merupakan salah satu tradisi masyarakat Tionghoa, khususnya dari Komunitas Cina Benteng yang eksistensinya kian memudar. Modernisasi membuat peminat kesenian Gambang Kromong yang tersisa hanyalah orang-orang yang sudah berumur, sedangkan generasi muda jaman sekarang kurang berminat dengan tradisi turun temurun ini.
Gambang Kromong merupakan sebuah pagelaran orkes yang merupakan perpaduan seni Betawi dengan seni Tionghoa, yang diprakarsai oleh seorang pemimpin komunitas Tionghoa bernama Nie Hoe Kong di jaman penjajahan Belanda pada abad ke 17. Alat musik yang digunakan antara lain gamelan, yang merupakan alat musik tradisional Betawi, dan alat musik tradisional Tionghoa seperti, gambang, kromong, sukong, tehyan, dan kongahyan.
Dalam Gambang Kromong, para penari wanita akan menari dengan posisi berbaris, sedangkan para pria atau wanita yang menonton akan ikut ngibing atau menari berhadap-hadapan dengan mereka. Tentunya pria atau wanita yang ngibing dengan para penari wanita ini harus menyiapkan sejumlah uang sebagai saweran untuk si penari.
Pertunjukan Gambang Kromong dapat ditemui di acara-acara pernikahan warga keturunan Tionghoa yang tergabung dalam komunitas Cina Benteng di Jabodetabek. Grup Gambang Kromong yang masih bertahan hingga saat ini salah satunya adalah grup Sinar Mutiara asal kampung Prumpung, Bogor, yang pada malam minggu kemarin, 18 April 2015, mengisi acara di sebuah pesta pernikahan keluarga Tionghoa di kampung Sasak Tinggi, Tangerang Selatan.
Sinar Mutiara menjuluki grup mereka sebagai Gambang Kromong Modern. Apa yang mereka sebut modern, terlihat dari para penari wanita yang sudah tidak mengenakan kebaya, melainkan mengenakan pakaian seragam, kemeja batik dan celana panjang hitam. Selebihnya, grup ini masih membawakan lagu-lagu khas betawi dan tionghoa dengan alat-alat musik tradisional mereka. (rsn-reinha) (infot/fn)