Senin, 09 November 2015|13:43:46 WIB
JAKARTA (RRN) - Kisruh sampah Jakarta saat ini kembali membuka mata publik akan carut-marutnya pengelolaan buangan warga yang telah lama jadi momok ibukota. Lantas, bagaimana dengan kondisi pengelolaan sampah di luar negeri?
Pemandangan yang serupa dengan Jakarta ternyata juga tampak di ibukota Israel, Tel Aviv. Dilansir dari Times of Israel pada Kamis (5/11), warga Tel Aviv adalah yang paling banyak membuang sampah di Israel berdasarkan temuan Kementerian Perlindungan Lingkungan negara itu.
Per harinya, seorang warga Tel Aviv membuang hingga 3,1 kilogram sampah, jauh berbeda dengan buangan warga kota Ashdod di Israel selatan yang hanya setengahnya atau 1,49 kilogram. Itu terjadi lantaran Ashdod sukses menerapkan program pembuangan limbah organik dengan memisahkan sisa makanan dari sampahnya untuk dimasukkan ke wadah terpisah dan diolah di fasilitas pengolahan sampah menjadi kompos. Lebih dari 40 ribu rumah tangga Ashdod memiliki wadah sampah kompos.
Sampah Tel Aviv juga lebih banyak daripada sampah seorang warga New York yang hanya membuang sekitar 1,1 kilogram per hari. Menurut Kementerian, 31 persen dari sampah Tel Aviv adalah sayur dan buah yang tak termakan. Ini menjadikan warga Tel Aviv paling banyak membuang makanan yang mereka beli, sekitar 14 persennya menjadi sampah.
Porsi besar sampah Tel Aviv lainnya datang dari kantong plastik yang mencakup 7 persen dari seluruh buangan negara tersebut. Bagaimana tidak, seorang warga Israel bisa menggunakan hingga 275 kantong per tahunnya. Oleh karena itu, Menteri Perlindungan Lingkungan Israel, Amir Peretz berencana menerapkan aturan harga sebesar 40 agorot (senilai Rp1.400) untuk setiap kantong plastik yang hendak dipakai warga demi mengurangi penggunaannya.
Sampah paling sedikit di Eropa
Berbeda dengan Israel, Estonia, Slovenia, dan Belgia menjadi negara terbaik perihal pencegahan sampah dan daur ulang di Eropa menurut statistik dari Eurostat tahun 2014 lalu.
Ketiga negara itu, selain tidak memiliki volume sampah yang besar, turut mengimbangi dengan langkah daur ulang dan kompos yang cukup bagi jumlah sampahnya. Alhasil, warga tiga negara tersebut menghasilkan sampah paling sedikit di seluruh Eropa.
Estonia sendiri per harinya hanya menghasilkan setengah kilogram sampah per kepala. Dari total 279 kilogram limbah per tahun, 40 persennya didaur ulang.
Sebetulnya negara Eropa lain seperti Jerman turut mengimplementasi langkah pengelolaan lingkungan dengan baik, yakni mendaur ulang 65 persen limbah. Tetapi sampah yang dihasilkannya tiap tahun pun tak kalah besar: 611 kilogram. Di sisi lain, mesti hanya membuang 324 kilogram, Slovakia hanya mendaur ulang sekitar 13 persennya.
Data ini diterbitkan setiap tahun dan menunjukkan berapa banyak sampah yang dihasilkan warga Eropa, serta bagaimana sampah itu diolah. Rata-rata warga Eropa menghasilkan 492 kilogram per orang, mendaur ulang 42 persen, dan membuang atau membakar 58 persennya.
Tahun 2012, posisi pengelola sampah terbaik di Eropa sempat dipegang oleh Belanda, menurut salah satu laporan Komisi Uni Eropa. Ranking terburuk diisi oleh negara-negara selatan dan timur Eropa seperti Yunani, Bulgaria, Malta, Lithuania, Romania, dan Cyprus, sebab memilih menimbun sampahnya ketimbang mengolahnya dengan alternatif yang lebih baik.
Penyortiran sampah ala Jepang
Namun bila bicara sampah, tidak lengkap rasanya tanpa menyinggung Jepang dengan sistem penyortiran sampahnya yang luar biasa rumit.
Saking rumitnya, setiap warga Jepang dibekali dengan buklet setebal 27 halaman, termasuk instruksi detail untuk 518 jenis barang, agar mampu menyortir sampahnya sendiri.
Lipstik, misalnya, masuk ke kategori sampah yang akan dibakar; tetapi tabung lipstik, "setelah isinya terpakai semua," dikategorikan sebagai "logam ringan" atau plastik. Sementara untuk cerek, kategorinya mesti diukur berdasarkan panjangnya. Di bawah 30 sentimeter dianggap logam ringan, namun lebih dari itu menjadi sampah besar.
Di Jepang, desakan untuk menyortir dan mendaur ulang bertujuan untuk mengurangi jumlah sampah yang berakhir dibakar. Di negara berlahan langka itu hampir 80 persen sampah dibakar, sama banyak dengan yang ditimbun di Amerika Serikat.
Sistem pengolahan sampah di negeri Sakura itu dilakukan secara hierarkis, dari tingkat distrik hingga provinsi. Alhasil, setiap kota, kecamatan, dan distrik bisa memiliki sistem yang berbeda sama sekali. Termasuk Tokyo dengan 23 distriknya.
Tidak sedikit warga Jepang yang bingung sendiri dengan rumitnya pengolahan sampah di masing-masing wilayah.
Dilansir dari New York Times, perempuan setengah baya Shizuka Gu, 53, sempat ditegur oleh petugas setempat sebab menuliskan nomor identitas di kantong sampahnya dengan pulpen yang dianggap "bertinta terlalu tipis".
"Saya sangat kaget saat diberitahu telah melakukan kesalahan," ujar Gu. "Jadi saya malu membuang sampah di sini, dan meminta suami saya yang melakukannya selama sebulan."
Meski rumit, setidaknya Jepang punya tujuan jelas untuk dicapai aturan ini. Desa Kamikatsu di barat daya Jepang bahkan disebut-sebut sebagai desa "nol sampah" berkat sistem pengolahannya yang super ketat. (den/fn)