Sabtu, 07 November 2015|13:51:18 WIB
JAKARTA (RRN) - Salah satu kinerja menteri Kabinet Kerja yang ramai disorot ialah Menkumham, Yassona H Laoly. Mantan politikus PDIP itu disorot lantaran memiliki aspek negatif dalam hal kebijakan dan etik.
"Kami melihat Kemkumham dari dua sisi, yakni kebijakan dan etik," ujar peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW), Donal Faris dalam diskusi Sindo Trijaya di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (7/11/2015).
Dalam hal kebijakan misalnya, ICW menyoroti pemberian remisi dan pembebasan bersyarat (PB) terhadap koruptor sebagai program yang tidak populer. Terlebih ia mencabut peraturan menteri sebelumnya, Amir Sjamsuddin yang memilih untuk memperketat.
"Ini tidak populer. Baru jadi menteri langsung evaluasi itu. Intinya begini, Yasonna tidak lagi memberlakukan peraturan menteri pemberian PB (pembebasan bersyarat) napi korupsi," imbuhnya.
Akibatnya, dua kepala daerah yang baru dicoret KPU, yakni Kabupaten Boven Digul dan Kota Manado justru menurut SK Menkumham sedang menjalani pembebasan bersyarat. Alhasil, kedua pimpinan tersebut bisa kembali mencalonkan diri.
"Ironis, konsekuensinya, dua calon kepala daerah tetap bisa dapat pembebasan bersyarat walaupun tidak bayar uang pengganti. Yusak (Boven Digul) di atas Rp50 miliar, Manado Rp64 miliar, ini merugikan negara. Ini baru dua kasus nilainya lebih dari Rp100 miliar," sambungnya.
Sementara dalam hal etik, Yasonna dianggap getol merevisi UU KPK. Meski Presiden mengeluarkan instruksi agar tidak dilanjutkan, justru perubahan perautran tersebut masuk dalam agenda prioritas Prolegnas.
"Presiden bilang setop, tapi rapat di baleg, dibahas jadi Prolegnas 2015. Malah RUU Perimbangan Keuangan Daerah digeser 2016. Lalu, masa ya Menkumham ikut-ikut polemik pemilihan Kapolri. Itu dua fokus evaluasi kami," pungkasnya.
(sus)