Jumat, 30 Oktober 2015|12:57:28 WIB
Oleh Mustafa Kamal
RADAR OPINI - Adalah kenyataan sejarah bahwa lintasan dan momentum sejarah perjuangan bangsa senantiasa dipelopori oleh kaum muda. Sejarah Indonesia modern mencatat, gagasan besar dan tindakan heroik dilontarkan dan dilakukan oleh kaum muda. Formulasi gagasan dan wujud konkret gerakan kaum muda yang fenomenal terdokumentasi sangat heroik dan apik dalam kebulatan tekad sebagai sebuah bangsa yang baru bertajuk "Sumpah Pemuda".
Peristiwa Sumpah Pemuda yang dikumandangkan pada 1928 menjadi tonggak sejarah baru dalam perjalanan sejarah bangsa. Peristiwa ini menandai suatu fase di mana proses integrasi bangsa menjadi lebih nyata yang ditandai dalam suatu ikrar kebulatan tekad sebagai sebuah bangsa. Peristiwa ini adalah klimaks dari pencarian identitas baru yang telah bermula sejak awal abad 20 dan manifestasi puncak dari peranan kaum muda sebagai aktor sejarah.
Tidak hanya itu, momentum ini sekaligus jawaban terhadap praktik kolonialisme Belanda yang melakukan politik ekspansi ke seluruh wilayah Nusantara yang kemudian menjelma Hindia Belanda. Dengan kata lain, Sumpah Pemuda adalah aktualisasi gagasan nasionalisme vis a vis kolonialisme.
Sumpah Pemuda merupakan konsensus nasional yang luhur karena disuarakan dengan tulus oleh anak muda dan dianggap sebagai konsensus yang terlahir mulus dan diakui semua golongan sampai hari ini. Sumpah Pemuda juga merupakan peristiwa politik yang mempunyai penghayatan secara psikologis kebangsaan dan kokoh secara sosiologis dalam masyarakat Indonesia.
Ia merupakan deklarasi yang menyatakan keinginan luhur untuk merdeka dengan menentukan wilayah Tanah Air, kebangsaan, dan bahasa. Tidak hanya itu, peristiwa ini menjadi awal "deklarasi teritorial" lewat kumandang lagu kebangsaan "Indonesia Raya" yang diperdengarkan pertama kali. Oleh karena itu, dapat diambil kesimpulan bahwa Sumpah Pemuda adalah cikal bakal deklarasi kemerdekaan yang termaktub dalam Proklamasi 1945.
Sumpah Pemuda juga adalah kontrak sosial, piagam perjanjian untuk hidup berdampingan secara damai dalam sebuah negara. Ia menjadi komitmen yang harus dipegang erat setiap warga negara dalam rangka menjaga keutuhan NKRI. Sebagai kontrak sosial, Sumpah Pemuda mempunyai tiga dimensi penting yang menjadi dasar pengelolaan negara hari ini.
Pertama, pengakuan akan tumpah darah yang satu, yaitu tanah Indonesia. Pernyataan ini merupakan klaim pertama tentang integrasi teritorial, baik darat, laut, dan udara serta kekayaan SDA yang terkandung di dalamnya. Kedua, pengakuan tentang adanya kesatuan bangsa, yaitu bangsa Indonesia. Pernyataan ini merupakan komitmen yang dibangun atas rasa senasib-sepenanggungan dan gotong royong, berjanji akan mengutamakan kebersamaan di atas kepentingaan golongan.
Ketiga, menetapkan bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia. Hal ini merupakan pencapaian peradaban sekaligus puncak kebudayaan yang berhasil disepakati bangsa Indonesia dan bahkan mengikat hingga hari ini.
Di luar ketiga ikrar di atas, peristiwa Sumpah Pemuda mengajarkan kepada kita, khususnya kaum muda, bahwa sebuah peristiwa bisa tercipta karena adanya kesadaran yang muncul dalam dirinya untuk berpikir visioner tentang masa depan bangsanya. Sumpah Pemuda menjadi momentum bersejarah karena adanya kemampuan membaca anasir-anasir perubahan yang terjadi di sekitarnya. Kontekstualitas zaman dengan beragam dinamikanya menjadi tantangan tersendiri dalam memformulasi dan mengaktualisasi gagasan cerdas menjadi peristiwa bersejarah.
Pemuda bukanlah semata-mata kategori demografis dalam suatu struktur piramida penduduk. Sejarah mencatat, pemuda adalah fenomena historis yang tidak sekadar "bersejarah", tetapi juga "menyejarah". Kedua terma ini bisa bermakna bahwa di samping menjadi bagian dari proses sejarah, manusia secara aktif "membuat" sejarah.
Penggunaan kosakata aktif dalam menyejarah menyiratkan makna bahwa ia berhasrat, bertindak, dan menyadari ia memiliki kaitan dengan sejarah. Sejarah di sini bukan dimaknai sebagai peristiwa masa lampau an sich yang terputus berkomunikasi dengan masa depan. Sejarah di sini bermakna sebagai landasan berpikir dan bertindak untuk mendesain masa depan, sebagaimana sifat dari sejarah yang terus bergerak menuju titik tertentu.
Dengan berpikir masa depan, gagasan dan tindakan kaum muda tidak hanya dipengaruhi oleh kewajiban yang melekat pada dirinya, tetapi pilihan sadar setelah ia berdialog dengan lingkungan sosial dan zamannya. Dengan kata lain, tindakannya adalah hasil interpretasi terhadap lingkungan sosial, dan kesadaran normatif yang telah dianutnya.
Realitas sosial yang mengitari dirinya tidaklah diterima "sebagaimana adanya", tetapi dipersoalkan pula "bagaimana seharusnya". Oleh karenanya, narasi besar yang muncul dalam sejarah bangsa adalah tawaran solutif dari kaum muda yang dikemas apik dan fenomenal dalam label yang menyejarah.
Cara merekonstruksi pemikiran yang menggabungkan unsur "realitas sosial" dan "formula solutif" inilah yang membuat peran kaum muda tidak sekadar kelompok yang larut dalam romantisme sejarah masa silam yang terhenti dalam dimensi waktu. Kaum muda yang menyejarah bukanlah generasi imitatif yang sekadar menjadikan momentum sejarah sebagai selebrasi temporer yang sirna dalam hitungan hari.
Sekadar mengingat, fase pergerakan nasional dan kemunculan Sumpah Pemuda tidaklah dihasilkan dari selebrasi historis dan romantisme silam, tetapi lahir dari gagasan visioner berbasis realitas. Inilah hakikat pemaknaan kesadaran sejarah kaum muda yang tidak sekadar mengikuti dan terbelenggu oleh momentum yang sudah ada, tetapi juga mampu menciptakan mometum baru, di mana dirinya yakin momentum yang dibuatnya akan menghiasi lembaran sejarah bangsa ini, dan tetap menempatkannya dalam panggung sentral sejarah bangsa.
Kita berharap, peringatan Sumpah Pemuda tidaklah sekadar selebrasi sehari yang ditampilkan dalam etalase sejarah kaum muda, tetapi menjadi inspirasi bagi kaum muda bahwa peristiwa bersejarah hanya bisa diciptakan dari generasi yang menyejarah. n
Prioritas Bagi Pemerintah
Presiden Joko Widodo melawat ke Amerika Serikat pekan ini. Inilah kunjungan resmi pertama kali Presiden Jokowi ke AS setelah ia dilantik Oktober tahun lalu. Jadwal pertemuannya padat.
Kepala Negara akan diterima Presiden AS Barack Obama di Gedung Putih pada Senin. Jokowi juga akan bertatap muka dengan pebisnis AS bidang infrastruktur dan keuangan. Freeport McMoRan, yang masalah kontraknya sedang menghangat di Tanah Air, juga ikut pertemuan. Jokowi menengok Google dan Apple, termasuk bertemu CEO Apple Tim Cook.
Melihat sekilas daftar acaranya, kita mendapat kesan kuat misi utama Presiden Jokowi ke AS adalah soal ekonomi, yaitu bagaimana memancing lebih banyak lagi korporasi AS menanamkan modalnya, yang riil, ke Indonesia. Dengan kondisi perlambatan ekonomi nasional dan dunia, Indonesia memang butuh suntikan investasi asing.
Kedatangan Jokowi di AS sudah ditunggu. Pers AS pun mulai memberitakan agenda pertemuan Jokowi-Obama. Pada Mei lalu, di satu pertemuan wartawan ASEAN dengan Deputi Menteri Luar Negeri AS Michael Fuchs, Fuchs bertanya soal kepastian kunjungan Jokowi ke AS Oktober ini.
Dalam pertemuan lainnya dengan peneliti senior Center for Strategic and International Studies (CSIS), Brad Glosserman, salah satu lembaga riset terkemuka AS, juga bertanya tentang rencana kunjungan Presiden Jokowi. Brad bahkan bertanya bagaimana kinerja Jokowi dan apakah publik masih mendukungnya.
Kita tentu berharap pemerintah benar-benar memanfaatkan momentum kunjungan resmi ke AS ini untuk mendapat hasil maksimal. Tolok ukurnya jelas, yaitu arus investasi dari AS ke Indonesia harus bertambah besar, baik itu investasi riil maupun portofolio.
Namun, kita juga berharap dalam menggaet investasi asing itu pemerintah tetap memegang kuat kedaulatannya. Ini terkait proyek energi maupun infrastruktur yang kemungkinan diminati investor AS.
Publik tentu tidak ingin melihat ulangan peristiwa pertemuan Ketua DPR Setya Novanto, Wakil Ketua DPR Fadli Zon, dengan bakal calon presiden AS Donald Trump. Dalam pertemuan itu, Trump dengan tegas menjabat tangan Ketua DPR sambil mengatakan kerja sama kedua pihak akan menyejahterakan AS. Trump juga bertanya apakah publik Indonesia suka akan dirinya, yang dijawab Ketua DPR dengan anggukan dan senyum kecil.
Namun, di balik kepergian Presiden ke AS ini kita merasa ada yang mengganjal. Presiden melawat ke luar negeri ketika masalah asap kebakaran hutan belum tuntas. Ada lebih dari 40 juta warga di Sumatra dan Kalimantan yang terkena imbas asap ini. Mereka sudah tiga bulan hidup dengan asap.
Sudah jatuh korban jiwa bayi dan anak-anak. Korban asap ini berharap ada kepemimpinan tegas yang bisa mengakhiri bencana lingkungan itu, tetapi belum ditemukan hingga kini.
Presiden menyerahkan masalah asap kepada Menko Polhukam Luhut Pandjaitan, Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Siti Nurbaya, dan para pembantunya. Sebelum berangkat, Presiden menegaskan bahwa pemerintah akan mengevakuasi korban asap. Pemerintah juga akan membangun sarana kesehatan bagi korban asap yang rentan, seperti bayi, ibu hamil, orang tua, dan anak-anak.
Ekonomi Indonesia memang butuh suntikan proyek dan dana segar investor. Namun, kebakaran hutan tengah meluas hampir ke seluruh pulau besar di Indonesia. Api sudah menjamah Sulawesi Tengah dan Utara, Maluku, dan Papua. Belum ada tanda-tanda api akan mereda, pun tanda-tanda musim hujan tiba.
Api pun dalam beberapa kasus di Sumatra dan Kalimantan justru datang dari ladang korporasi sawit besar. Investasi yang simalakama. Di media sosial mulai muncul sindiran soal prioritas ini. Warga daerah terdampak kebakaran hutan pun kian sering mengunggah foto mereka, dengan masker hijau, membawa kertas bertuliskan keluhan, permintaan, hingga kemarahan terhadap pemerintah. Mereka menganggap Presiden Jokowi dan pembantunya tidak becus menanggulangi asap kebakaran hutan.
Akan menjadi menarik kalau, misalnya, seusai pulang dari AS, Presiden Jokowi langsung blusukan menyapa warga Riau dan Palangka Raya. Dua kota ini termasuk yang paling parah menderita polusi akibat kebakaran hutan. Udara yang dihirup manusia di dua kota ini sangat tidak sehat. Apakah warga masih mengelu-elukan Presiden? n
Penulis adalah Ketua Bidang Kepemudaan DPP PKS