Kamis, 08 Oktober 2015|12:28:11 WIB
JAKARTA (RRN) - Indonesia Corruption Watch mengkritisi pasal-pasal yang tertera dalam draf revisi Undang undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Anggota Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW Aradilla Caesar menilai, revisi UU KPK lambat laun akan mematikan lembaga antirasuah itu. "Revisi UU KPK secara substansi mencoba mematikan KPK secara perlahan," ujar Aradilla melalui pesan singkat, Rabu (7/10/2015).
Menurut Aradilla, DPR saat ini tengah menabuh genderang perang terhadap pemberantasan korupsi. ICW mencatat sejumlah poin dari draf tersebut yang menjurus pada pelemahan KPK. Pertama, sebut Aradilla, mengenai Pasal 5 yang mengatur pembatasan usia KPK yang hanya 12 tahun sejak undang-undang tersebut diberlakukan. "Sepertinya DPR salah menafsirkan KPK sebagai lembaga ad hoc. Disamping tak mempertimbangkan putusan MK yang menyatakan KPK sebagai lembaga yang constitutionally important," kata Aradilla.
Kemudian, draf revisi itu juga menyebutkan KPK tidak memiliki wewenang penuntutan dan monitoring. Menurut dia, pembatasan tersebut akan mengamputasi kewenangan penindakan KPK. Terlebih lagi, kata Aradilla, dalam draf itu disebutkan bahwa KPK berwenang mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) seperti Polri dan Kejaksaan.
Padahal, dalam UU KPK saat ini, KPK tidak memiliki kewenangan tersebut. "Penyadapan juga harus izin pengadilan. Ini akan menyulitkan OTT KPK karena harus berurusan dengan birokrasi di pengadilan," kata dia.
Selain itu, pada salah satu pasalnya disebutkan bahwa kasus yang ditangani KPK harus yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 50 miliar. Menurut Aradilla, hal tersebut akan mempersempit ruang KPK dalam fungsi penindakan korupsi. Demikian pula poin yang menyebutkan KPK tidak dapat merekrut pegawai, termasuk penyidik, secara mandiri. Dalam pasal tersebut, KPK diharuskan merekrut pegawai dari Polri, Kejaksaan, dan BPKP.
Enam fraksi di DPR mengusulkan revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Pada beberapa pasal, draf revisi itu memuat perubahan wewenang KPK. Pertama, pada Pasal 4 tentang Tujuan Pembentukan. KPK dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap pencegahan tindak pidana korupsi. Dalam peraturan yang berlaku saat ini, tujuan peningkatan daya guna dan hasil guna itu diperuntukkan bagi pemberantasan korupsi. Kemudian, frasa penuntutan yang sebelumnya terdapat di dalam aturan yang berlaku dihapuskan. Seperti di dalam Pasal 9 huruf a, Pasal 10 ayat (3), dan Pasal 11.
Kemudian di dalam Pasal 27 ayat (4) tentang KPK yang membawahkan empat Dewan Eksekutif (DE). Di dalam DE Bidang Penindakan Sub-Bidang Penuntutan yang sebelumnya ada kini hilang. Sementara, Bab VI hanya mengatur tentang penyelidikan dan penyidikan. Hal itu sebagaimana terdapat di dalam Bagian Kesatu Umum Pasal 40, di mana KPK hanya berwenang untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan dengan mekanisme yang diatur di dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.
Sementara tugas penuntutan itu diberikan kepada jaksa yang berada di bawah lembaga Kejaksaan Agung yang diberi wewenang oleh KUHAP untuk melakukan penuntutan dam melaksanakan penetapan hakim. Hal itu sebagaimana diatur di dalam Pasal 53 revisi UU KPK. Sebelumnya, enam fraksi mengusulkan perubahan UU KPK. Keenam fraksi itu yakni Fraksi PDI Perjuangan, Fraksi Nasdem, Fraksi PKB, Fraksi Hanura, Fraksi PPP, dan Fraksi Golkar. Usulan itu disampaikan saat rapat Badan Legislasi DPR, Selasa (6/10/2015). (teu/kcm)