Pemda Lombok Barat Ngotot Jadikan Tambang Emas Sekotong Wilayah Koperasi, KPK dan WALHI Menolak Keras
Penampakan tambang emas ilegal Sekotong, Lombok Barat, NTB, Rabu (18/12/2024).(Dokumentasi/KPK)

Pemda Lombok Barat Ngotot Jadikan Tambang Emas Sekotong Wilayah Koperasi, KPK dan WALHI Menolak Keras

Sabtu, 25 Oktober 2025|07:24:26 WIB




Radarriau.net | Lombok Barat – Setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyoroti tambang emas ilegal beromzet triliunan di Sekotong, Lombok Barat, polemik baru muncul terkait rencana Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lombok Barat untuk melegalkan aktivitas tersebut. Wacana ini ditentang keras oleh KPK dan aktivis lingkungan yang khawatir legalisasi hanya menjadi "karpet merah" bagi kerusakan lingkungan yang lebih luas.

Bupati Lombok Barat (saat itu) menegaskan rencana melegalkan tambang rakyat di Sekotong merupakan upaya untuk mengatasi tingginya angka kemiskinan di wilayah tersebut. Legalisasi diwacanakan melalui pembentukan koperasi desa (Kopdes) yang akan mengelola tambang emas rakyat secara resmi, dengan harapan masyarakat lokal dapat menikmati hasil tambang secara legal dan berkelanjutan.

Langkah ini didorong setelah kunjungan Badan Percepatan Pengentasan Kemiskinan (BP Taskin) dan diharapkan dapat mengakhiri praktik tambang liar yang selama ini merusak. Pemkab mengklaim, jika legal, penambangan akan diawasi secara ketat dan menggunakan teknologi ramah lingkungan yang bebas merkuri.

KPK dan WALHI: Legalisasi Bukan Solusi Ajaib

Rencana ini menuai kritik tajam. Kepala Satgas Korsup KPK Wilayah V, Dian Patria, secara tegas menolak legalisasi tambang ilegal. Menurutnya, praktik kejahatan yang sudah terjadi tidak bisa serta merta diputihkan, dan KPK khawatir legalisasi justru menjadi modus operandi baru untuk melindungi kepentingan pemodal besar, terutama WNA yang selama ini mengoperasikan tambang tersebut.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) NTB juga melancarkan penolakan keras. Direktur WALHI NTB, Amri Nuryadin, menilai wacana legalisasi sebagai kebijakan populis yang ceroboh dan tidak mempertimbangkan daya dukung lingkungan.

  • Kerusakan Lingkungan Parah: WALHI mengingatkan bahwa laju kerusakan lingkungan dan hutan di Sekotong sudah mencapai tingkat mengkhawatirkan, diperkirakan mencapai 60 persen. Legalisasi tanpa pemulihan ekosistem terlebih dahulu justru akan mempercepat bencana.
  • Pertanyaan Pengelolaan Limbah: Amri meragukan klaim Pemkab mengenai teknologi ramah lingkungan. Ia mempertanyakan bagaimana pengelolaan limbah merkuri dan sianida akan dilakukan, mengingat bahkan perusahaan tambang besar pun masih bermasalah dengan pembuangan limbah.
  • Perizinan Tumpang Tindih: Selain itu, studi hukum menyoroti adanya masalah tumpang tindih kewenangan perizinan antara Pemkab dan Pemprov (saat itu), yang menambah kerumitan penanganan tambang ilegal.

Fokus Hukum Beralih ke "The Man Behind The Gun"

Terlepas dari polemik legalisasi, kasus temuan KPK ini telah mendorong aparat penegak hukum (APH) untuk bertindak. Kejaksaan Tinggi NTB dan Polres Lombok Barat telah menindaklanjuti temuan KPK dengan melakukan penyelidikan. Penyelidikan ini berfokus pada pembongkaran indikasi "mafia tambang" atau "the man behind the gun"—sosok besar di balik permodalan tambang ilegal, bukan hanya buruh lapangan.

Langkah ini menunjukkan keseriusan APH untuk membongkar rantai kejahatan pertambangan ilegal dari hulu ke hilir, termasuk menelusuri dugaan keterlibatan oknum-oknum yang selama ini memberikan "beking" dan menikmati omzet triliunan rupiah dari kerusakan Sekotong.

(Red)







Berita Terkait

Baca Juga Kumpulan Berita NEWS

MORE

MOST POPULAR ARTICLE