Kamis, 23 Mei 2024|19:04:27 WIB
Oleh:* Bilqiss Sheila Elyaagatha
RadarRiaunet -,Sampai dengan hari ini disekitar kita masih banyak masyarakat yang menganggap tabu melakukan pembagian harta warisan segera mungkin setelah meninggalnya seseorang. Banyak faktor yang mempengaruhi ahli waris tidak segera membagikan harta waris, padahal dengan tidak dibagikannya harta warisan ini dapat sampai memecah belah hubungan persaduaraan dan berakhir dengan saling gugat-menggugat di Pengadilan, yang mana hal tersebut tidak lah perlu dilakukan jika telah ada kesepakatan antara suluruh ahli waris untuk segera mengurus harta peninggalan dan melakukan pembagian warisan.
Meninggalnya seseorang akan mengakibatkan perlu dilakukannya pengalihan kepengurusan terhadap harta yang dimilikinya, dengan demikian harta warisan perlu sesegera mungkin untuk dibagikan kepada ahli waris agar harta yang ditinggalkan itu tidak terbengkalai atau bahkan menimbulkan permasalahan dikemudian harinya. Adapun beberapa hal yang menjadi faktor penyebab ahli waris tidak segera mengurus harta peninggalan dan membagikan harta warisan, yakni karena merasa belum pantas untuk langsung menentukan bagian masing-masing, ahli waris merasa belum memerlukan warisan, masih ada ahli waris yang belum ditempat, ahli waris belum bersepakat, adanya faktor penghalang pembagian harta peninggalan, ada wasiat yang jumlahnya lebih besar dari bagian ahli waris dan ahli waris tidak mengetahui hukum pewarisan.
Pewarisan adalah suatu peristiwa perpindahan harta peninggalan dari seorang yang meninggal dunia kepada orang yang masih hidup yang merupakan ahli waris. Peralihan harta peninggalan ini termasuk pula segala bentuk hak dan kewajiban yang melekat pada pewaris, maka yang diwariskan berupa aktiva atau passiva. Harta peninggalan merupakan harta yang didalamnya masih terdapat beban kewajiban dan harta bersama. Maka dari itu harta peninggalan tersebut perlu dibersihkan, karena masih terdapat beban kewajiban, dan ½ harta bersama yang merupakan hak pasangan kawinnya. Maka akan dapat disebut sebagai harta warisan jika harta pribadi yang ditambah dengan ½ harta bersama, kemudian dikurang beban kewajiban yang dimiliki pewaris. Dengan demikian agar harta warisan dapat segera beralih pengurusannya maka beban kewajiban yang dimilki pewaris harus segera diselesaikan, baru kemudian harta yang sudah bersih lah yang akan diterima oleh ahli waris.
Di Indonesia mengenai pewarisan didasarkan pada 3 (tiga) hukum, yakni hukum perdata, hukum Islam, dan hukum adat. Khusus Hukum Islam maka pembagian harta warisan kepada ahli waris yang berhak didasarkan pada al-qur’an, hadist, fatwa para ulama, dan yurisprudensi yang sudah terkodifikasi pada Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Masyarakat yang beragama Islam maka akan berlaku hukum Islam tidak hanya pada saat perkawinan, namun juga pada saat meninggal dan pembagian harta peninggalannya. Pasal 173 KHI terdapat ahli waris yang memang tidak berhak untuk mendapatkan harta warisan yakni, mereka yang berdasarkan putusan pengadilan telah membunuh, mencoba membunuh, dan atau menganiaya berat pewaris. Kemudian mereka yang berdasarkan putusan pengadilan telah memfitnah pewaris dengan mengajukan pengaduan karena telah melakukan kejahatan yang diancam dengan pidana 5 tahun atau hukuman yang lebih berat.
Dan Pasal 171 huruf C KHI menyatakan bahwa ahli waris adalah mereka yang memiliki hubungan darah atau perkawinan, beragama islam dan tidak terhalang karena hukum. Maka jika ada ahli waris yang tidak beragama Islam maka tidak berhak atas harta warisan, namun dimungkinkan dapat menerima bagiannya melalui wasiat wajibah dengan syarat 1/3 (satu per tiga) harta warisan dan tidak boleh melebihi bagian ahli waris sederajat yang berhak.
Pasal 171 huruf f wasiat merupakan kehendak terakhir dari seseorang yang apabila sudah meninggal akan memberikan suatu benda kepada orang lain atau lemabaga. Sedangkan wasiat wajibah merupakan pemberian kepada ahli waris atau kerabat yang tidak memperoleh bagian harta warisan dari pewaris, karena adanya suatu halangan.
Dengan demikian ahli waris yang berhak adalah mereka yang memiliki hubungan darah dengan pewaris yakni anak laki-laki, anak perempuan, ayah, ibu, saudara laki-laki, saudara perempuan, paman, kakek dan nenek. Dan mereka yang memiliki hubungan perkawinan dengan pewaris. Pasal 174 ayat (2) KHI jika seluruh ahli waris ada maka yang berhak mewaris adalah anak, ayah, ibu dan janda/duda.
Pasal 175 KHI ahli waris memiliki kewajiban untuk mengurus dan menyelesaikan pemakaman jenazah sampai selesai, menyelesaikan segala beban kewajiban pewaris, menyelesaikan wasiat pewaris dan membagi harta warisan diantara ahli waris yang berhak. Pemenuhan penyelesaian beban kewajiban pewaris oleh para ahli waris ini hanya terbatas pada harta peninggalannya.
Dari uraian tersebut maka terhadap beberapa permasalahan yang sering timbul dalam masyarakat penulis akan uraikan sebagai berikut, apabila ahli waris yang merasa belum pantas untuk mengurus menyelesaikan permasalahan harta warisan pewaris, maka dapat disepakati oleh seluruh ahli waris mengenai kapan waktu yang memang dirasa pantas untuk membagikan. Sejalan dengan Pasal 175 KHI bahwa ahli waris tetap memiliki kewajiban untuk melakukan pembagaian harta warisan diantara ahli waris yang berhak. Kemudian jika ahli waris merasa belum memerlukan harta warisan, meninggalnya seseorang merupakan suatu peristiwa hukum yang menimbulkan akibat hukum baik dikehendaki ataupun tidak. Maka ketika seseorang meninggal dunia maka dengan sendiri kepengurushan terhadap harta yang meninggal ini harus segera dialihkan.
Selanjutnya terhadap ahli waris yang tidak dapat hadir saat melakukan perundingan maka bisa bergabung secara daring baik melalui telfon ataupun video call, baru setelahnya saat akan melakukan pengurusan dokumen lebih baik disepakati waktu yang tepat agar seluruh ahli waris hadir, namun jika memang tetap tidak dapat hadir maka dapat menguasakan kepada ahli waris lainnya dengan dasar bahwa memang sudah benar-benar mengetahui dan memahami pembagian warisan yang akan dilakukan.
Kemudian jika pewaris meninggalkan ahli waris yang belum mencapai kesepakatan untuk membagikan harta warisan. Jika ketidaksepakatan ahli waris bukan dikarenakan adanya sengketa maka dapat mengajukan permohonan Penetapan Ahli Waris melalui Pengadilan Agama. Namun jika ketidaksepakatan disebabkan karena ahli waris yang menolak pembagian harta waris, maka berdasarkan Pasal 188 KHI baik secara bersama-sama maupun perorangan ahli waris yang lain dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Agama untuk dilakukan pembagian harta waris.
Adanya penghalang pembagian harta peninggalan, penghalang yang dimaksud dalam hal ini bukan merupakan pasal 173 KHI, namun jika obyek warisan dikuasai oleh ahli waris atau pihak ketiga, kemudian jika ahli waris masih berada dibawah umur, dan faktor lainnya. Dalam hal jika obyek harta warisan dikuasi oleh ahli waris lain, maka sebagaimana Pasal 188 KHI dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama. Dan jika obyek harta warisan dikuasi oleh pihak ketiga maka berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Putusan Nomor 2490 K/Pdt/2015, yang menegaskan bahwa ahli waris baik secara bersama-sama maupun perorangan dapat mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum kepada pihak ketiga dengan dasar menguasai obyek waris tanpa hak yang menimbulkan kerugian bagi para ahli waris.
Kemudian terhadap ahli waris yang dibawah umur maka jika pasangan kawin pewaris masih hidup maka berlaku kekuasaan orang tua yang dapat dijalankan dengan pembuatan surat pernyataan orang tua menjalankan kekuasaannya, namun jika sudah tidak terdapat orang tua maka perlu adanya penunjukan wali dengan melakukan permohonan melalui Pengadilan Agama. Khusus dalam hal pengurusan pembagian harta warisan maka perlu memperoleh izin dan sumpah dari Balai Harta Peninggalan (BHP).
Selanjutnya jika adanya wasiat yang jumlahnya lebih besar dari bagian ahli waris yang sederajat. Pewaris dapat membuat wasiat yang diperuntukan orang lain dan juga wasiat wajibah yang diperuntukan ahli waris atau saudara yang memang tidak berhak atas harta waris. Namun pemberian wasiat ini tetap harus didasarkan pada Pasal 201 KHI, yang mana tidak boleh melebihi 1/3 (satu per tiga) harta warisan, jika melebihi dan ahli waris tidak setuju maka tetap dilaksanakan sebesar 1/3 (satu per tiga) harta warisan.
Dan jika ahli waris tidak mengetahui hukum pembagian warisan, maka sebaiknya ahli waris meminta bantuan dengan berkonsultasi pada seseorang yang professional dan menguasai bidang hukum pewarisan, karena jika dalam pembagian waris ini nantinya merugikan ahli waris lainnya atau bahkan ada ahli waris yang tidak diikut sertakan maka ini akan menimbulkan kedzaliman sehingga harta warisan yang dibagikan tidak sah secara hukum, dan pihak yang dirugikan dapat mengjukan gugatan ke pengadilan agama. Adapun beberapa pihak yang dimungkinkan menguasai bidang hukum pewarisan yakni Notaris, Pengacara dan Konsultan Hukum.
Pembagian harta warisan pada dasarnya dapat dibagikan sesuai kesepakatan bersama mengenai besarannya, namun dengan catatan para ahli waris yang berhak harus terlebih dahulu mengetahui dengan sebetulnya berapa besaran yang akan diterimanya berdasarkan hukum Islam, setelahnya jika memang disepakati untuk membagikan besaran bagian harta waris sesuai kesepakatan untuk mengesampikan hukum Islam dan harus dengan persetujuan seluruh ahli waris yang berhak maka diperbolehkan. Jika terdapat satu ahli waris saja yang tidak setuju maka tetap berlaku ketentuan pembagian harta warisan sesuai hukum Islam.
Penulis:*Mahasiswi Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Madah (UGM)