Selasa, 14 Desember 2021|07:59:49 WIB
RADARRIAUNET.COM: Dengan alasan amar putusan belum siap menyebabkan sidang korupsi Bansos Siak terpaksa ditunda dan akan dilanjutkan beberapa hari kemudian.
Akibatnya, Majelis hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Pekanbaru belum membacakan putusan terhadap Donna Fitria, terdakwa dugaan korupsi di Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kabupaten Siak.
Waktu yang ada tak mampu dimanfaatkan majelis hakim untuk menyatakan mantan anak buah Yan Prana itu bersalah atau tidak.
Sejatinya, Donna menjalani sidang dengan agenda pembacaan putusan pada Rabu 10 Desember kemarin.
Hingga waktu yang ditetapkan tiba, yakni Jumat 10 Desember lagi-lagi sidang tersebut urung digelar. Kali ini alasannya adalah ketua majelis hakim, Dahlan, lagi berada di luar kota.
Penundaan pembacaan vonis untuk terdakwa Donna Fitria yang merupakan mantan Bendahara Pengeluaran di Bappeda Siak itu disampaikan hakim anggota Iwan Irawan, saat membuka sidang.
"Pembacaan vonisnya kita tunda, karena pak hakim ketua dinas luar kota, ke Jakarta," ujar Hakim Iwan Irawan kala itu.
Atas hal tersebut, hakim kembali menunda pembacaan putusan. Sidang dijadwalkan akan dilaksanakan pada pekan ini.
"Jadi kita tunda Selasa 14 Desember mendatang," pungkas Iwan.
Dalam perkara ini, terdakwa Donna Fitria dituntut 5 tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Tuntutan terhadap Donna ini dibacakan JPU pada sidang yang dilaksanakan pada Senin 15 November lalu.
Dalam hal ini, JPU menilai Donna dinilai terbukti melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama dengan Yan Prana Jaya Indra Rasyid, mantan Kepala Bappeda Siak, sekaligus mantan Sekretaris Daerah (Sekda) Riau.
JPU menilai Donna melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang (UU) RI Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU RI Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Selain hukuman penjara, JPU juga menuntut terdakwa Donna membayar denda Rp300 juta subsidair 6 bulan kurungan penjara.
Ia tidak dibebankan uang pengganti kerugian keuangan negara, dikarenakan telah dibebankan kepada terdakwa sebelumnya, Yan Prana Jaya.
Sebelumnya, dalam dakwaan JPU disebutkan, Donna Fitria bersama-sama Yan Prana Jaya Indra Rasyid (perkara terpisah) pada Januari 2013 sampai Maret 2015 melakukan perbuatan berlanjut secara melawan hukum yaitu, menggunakan anggaran perjalanan dinas pada Bappeda Kabupaten Siak Tahun Anggaran (TA) 2013 sampai dengan TA 2014.
Saat itu, Donna adalah Bendahara Pengeluaran dan Yan Prana adalah Kepala Bappeda Siak.
Tak hanya perjalanan dinas, Donna juga mengelola anggaran Kegiatan Pengadaan Alat Tulis Kantor (ATK) pada Bappeda Kabupaten Siak Tahun Anggaran (TA) 2015 dan melakukan Pengelolaan Anggaran Makan
Minum pada Bappeda Kabupaten Siak TA 2013 sampai 2014 yang tidak bertentangan dengan undang-undang.
"Terdakwa melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, yaitu memperkaya Yan Prana Jaya Indra Rasyid. Perbuatan terdakwa merugikan keuangan negara Rp1.264.176.117, berdasarkan laporan Hasil Audit Inspektorat Kota Pekanbaru Nomor: 700/INSPEKTORAT/05/2021 tanggal 09 Juni 2021," kata JPU.
Lanjut JPU, pada 2013 sampai 2014 terdapat anggaran rutin dan kegiatan pada Bappeda Kabupaten Siak dengan total anggaran Rp7.585.731.600. Dengan rincian anggaran 2013 terealisasi Rp2.757.426.500, dan anggaran 2014 terealisasi Rp4.860.007.800.
Perbuatan itu berawal ketika Januari 2013, terjadi pergantian Bendahara Pengeluaran Bappeda Siak dari Rio Arta kepada Donna Fitria. Ketika itu, Yan Prana yang menjabat sebagai Kepala Bappeda Siak mengarahkan
Donna Fitria melakukan pemotongan biaya perjalanan dinas sebesar 10 persen dari masing-masing pelaksana perjalanan dinas.
Yan Prana mengarahkan Donna Fitria untuk menanyakan kepada Rio Arta. Pemotongan anggaran perjalanan dinas dilakukan sejak 2013 sampai Desember 2014 dengan cara saat pencairan anggaran SPPD setiap pelaksana kegiatan, terdakwa melakukan pemotongan sebesar 10 persen.
Dari total penerimaan yang terdapat dalam Surat Pertanggungjawaban (SPj) perjalanan dinas masing-masing pegawai, uang yang diterima oleh pelaksana perjalanan dinas tidak sesuai dengan tanda terima yang ditandatangani oleh masing-masing pelaksana perjalanan Dinas.
"Uang dari hasil pemotongan tersebut disimpan oleh Donna Fitria untuk selanjutnya diserahkan kepada Yan Prana Jaya," urai JPU menyitat riaumandiri.co.
Lalu pada Januari 2014, Yan Prana Jaya mengadakan rapat di ruang rapat Bappeda Kabupaten Siak yang dihadiri hampir seluruh pegawai Kantor Bappeda Kabupaten Siak. Dalam rapat itu, Yan Prana Jaya menyampaikan agar setiap anggaran SPPD Bappeda Kabupaten Siak tetap dipotong sebesar 10 persen melalui Donna Fitria selaku Bendahara Pengeluaran.
Dari keterangan Ade Kusendang, ketika rapat ada salah satu peserta rapat ada yang bertanya, "untuk apa uang perjalanan dinas tersebut dipotong?". Saat itu Yan Prana Jaya menjawab bahwa uang hasil potongan 10 persen tersebut digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran lain yang dananya tidak dianggarkan.
Selanjutnya Yan Prana Jaya menanyakan kepada yang hadir, apakah ada yang keberatan atas pemotongan itu. kemudian Yan Prana Jaya mengatakan "Kalau tidak ada yang keberatan saya anggap semua setuju" dan tidak ada yang menanggapi.
Uang hasil pemotongan 10 persen disimpan Donna Fitria di brankas Kantor Bappeda Siak. Uang itu dicatat dan diserahkan kepada Yan Prana Jaya secara bertahap sesuai permintaan Yan Prana Jaya.
Ratusan Orang Diperiksa
Setahun lebih dugaan korupsi bantuan sosial dan hibah di Kabupaten Siak bergulir di Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau. Kasusnya sudah naik penyidikan setelah penyidik menemukan unsur melawan hukum dan merugikan negara.
Hanya saja, dugaan korupsi bansos dan hibah anggaran 2014 hingga 2019 bernilai miliaran rupiah ini belum menyeret tersangka. Sejumlah pihak kemudian membuat pernyataan Kejati Riau telah diintervensi dan kongkalikong dengan pihak luar.
Ada tudingan kasus ini dihentikan oleh penyidik karena jika dilanjutkan akan menyeret sejumlah petinggi di Kabupaten Siak ataupun Pemerintah Provinsi Riau. Kejati Riau dengan tegas membantah hal tersebut.
"Kami pastikan dugaan korupsi bansos Siak dan hibah masih berlanjut, tidak benar dihentikan apalagi terjadi kongkalikong, itu fitnah," kata Asisten Pidana Khusus Kejati Riau Trijoko melalui Kepala Seksi Penyidikan Pidana Khusus Rizky Hidayatullah.
Bersama Wakil Kepala Kejati Riau Hutama Wisnu dan Asisten Intelijen Raharjo Budi Kisnanto, Rizky menyebut penyidikan masih jalan. Sejauh ini pihaknya sudah mengeluarkan 1364 panggilan.
"Pagi ini bahkan kami masih memanggil dan memeriksa saksi, ada juga konsultasi dengan ahli," jelas Rizky.
Dari ribuan panggilan itu, hampir 900 saksi yang datang ke Kejati Riau. Penyidik juga melakukan jemput bola dan berpindah kantor ke Kabupaten Siak untuk mengumpulkan bukti dan memeriksa saksi.
Rizky mengakui penyidikan kasus ini memakan waktu lama. Dia menyatakan penyidik sangat berhati-hati karena rawan ditunggangi bermuatan politis.
"Namun saya pastikan penyidik tetap independen dan tidak ada intervensi," tegas Rizky.
Waktu Lama
Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Provinsi Riau angkat bicara terkait lamanya penuntasan kasus korupsi Bansos dan Hibah Siak, yang telah menyeret mantan Sekdaprov Riau Yan Prana Jaya sebagai terdakwa.
Dari beberapa saksi yang dipanggil, hingga lebih dari satu tahun, penyelidikan tak kunjung menemui hasil yang ditunggu-tunggu masyarakat, yakni penuntasan.
Koordinator Fitra Riau, Triono Hadi mengatakan, terhadap penanganan kasus korupsi, masyarakat memang harus berlatih kesabaran menunggu proses yang dilakukan oleh aparat penegak hukum (APH). Karena prosesnya berjenjang, mulai dari penyidikan, penyelidikan, dan seterusnya.
Bahkan katanya, ada kalanya sampai menemukan bukti dan tindaklanjut penetapan tersangka. Tapi tak jarang juga yang diamati, penanganannya tidak berjalan, atau berjalan pelan, dengan alasan belum ditemukan bukti yang kuat.
"Merefleksikan kejadian kasus serupa terkait Bansos sebelumnya oleh APH. Juga sangat lama, mulai dari kasus didengungkan sampai menetapkan tersangka dan tindaklanjutnya. Seperti Bansos Bengkalis misalnya.
Penanganannya waktunya lama. Memang berdasarkan pengamatan juga, kasus korupsi atas laporan (bukan tangkap tangan) memang sering lama. Tidak cukup satu atau dua tahun. Bahkan bisa lebih dari itu," kata Triono Hadi.
Tentu pertanyaannya, sambung Triono, kenapa itu terjadi? Apakah ini faktor kesengajaan? Atau memang sulitnya menangani kasus? Atau ada kendala lainya seperti anggaran penanganan yang tidak memadai. "Tentu saya (Fitra Riau) tak dapat menjawabnya. Karena belum ada studi detail tentang itu yang kami lakukan," cakapnya.
Meskipun, kata Triono, memang ada kendala anggaran yang disiapkan untuk penanganan korupsi di Kejaksaan yang kecil. Sehingga berdampak lambatnya penanganan kasus khususnya berkaitan dengan korupsi.
Namun, tentu harapannya penanganan korupsi oleh APH apapun harus menjungjung tinggi akuntabilitas. Akuntabilitas dapat diwujudkan dengan keterbukaan. Memberikan informasi yang cukup tentu sesuai dengan kaidah ketentuan yang berlaku.
"Dalam case ini, misalnya sejauh mana progres penangananya. Serta memberikan informasi yang cukup kepada publik terhadap proses yang sedang ditangani hingga saat ini. apakah masih terus dikerjakan, apa saja yang dilakukan untuk dalam mendapatkan alat bukti sejauh ini. Hal ini untuk menghindari munculnya persepsi publik yang negatif dalam penanganan suatu perkara.
Tentu publik juga perlu tahu, apa kendala yang dihadapi. Jika memang tidak ada bukti yang mengarahkan adanya korupsi, dari proses yang ideal telah dilakukan. Maka perlu juga disampaikan kepada publik. Agar publik tidak menanti nanti," tukasnya.
Sebelumnya Diberitakan, Asintel Intelijen Kejati Riau, Raharjo Budi Kisnanto, tidak menampik lambannya penanganan kasus tersebut. Namun ia membantah kalau pengusutan kasus tersebut akan dihentikan.
"Itu berita hoax, perlu diketahui bahwa dana Bansos ini yang menerima banyak sekali sejak beberapa tahun. Jadi harus sabar," ujar Raharjo, didampingi Kasi Penkum dan Humas Kejati Riau, Marvelous.
Raharjo memaparkan kalau penanganan kasus bansos memerlukan waktu panjang. Ia mencontohkan dana yang diterima oleh penerima harus dipastikan, apakah betul sampai, dan ada pemotongan atau tidak.
"Misalnya, si A terima Rp10 juta tapi kok rekeningnya masih dipegang seseorang. Harusnya bukunya ada di penerima, ada apa? Apa terima Rp10 juta, kalau tidak utuh ke mana. Itu harus ditelusuri. Apa benar terima segitu," jelas Raharjo.
Jaksa penyidik juga sudah dilakukan gelar perkara untuk menentukan kelanjutan proses penyidikan, apakah masih penyidikan umum atau masuk proses penetapan tersangka.
"Kemarin sudah dilakukan gelar perkara, ekspos. Intinya memang harus banyak saksi-saksi yang harus diperiksa. Jadi memang agak lambat," tutur Raharjo.
Ditanya terkait target penyelesaian kasus ini, Raharjo tidak bisa memberikan kepastian karena banyaknya saksi dan pengumpulan alat bukti. Diketahui ada ribuan orang penerima dana bansos tersebut.
Dijelaskan Raharjo, dalam Kitab Undang-undang Acara Pidana (KUHAP) dalam penanganan kasus harus mengumpulkan keterangan saksi, ketenangan ahli, surat, petunjuk. "Paling tidak dikumpulkan, minimal ada dua (alat bukti) dulu dikumpul," kata Raharjo.
Setelah itu, baru dilakukan Penghitungan Kerugian Negara (PKN) dengan melibatkan lembaga audit seperti Inspektorat, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Ditegaskan Raharjo, pihaknya harus lebih cermat dalam penanganan kasus korupsi. Jangan sampai, langkah penetapan tersangka, justru digugat praperadilan ke pengadilan.
"Tren sekarang harus diwaspadai (seperti praperadilan) maka proses terkesan lambat. Kalau tidak ada praperadilan kan enak," tutur Raharjo.
Raharjo kembali memastikan penanganan kasus bansos Siak tetap berjalan, dan pemeriksaan saksi masih berlanjut. "Pak Kajati pun meminta Penyidikan dilakukan secara profesional dan dipercepat," pungkas Raharjo.
Dalam proses penanganan perkara ini, sudah dilakukan pemeriksaan pada Sekdaprov Riau, Yan Prana Jaya selaku Kepala BKD dan Bappeda Siak, Asisten II Bidang Pembangunan dan Ekonomi Setdakab Siak, Hendrisan, mantan Kadisdik Siak, Kadri Yafis, mantan Kadisos Siak, dan Nurmansyah.
Pemeriksaan juga dilakukan pada tiga orang dekat Gubernur Riau, H Syamsuar yakni Indra Gunawan, Ikhsan dan Ulil Amri. Indra merupakan anggota legislator Siak, sekaligus mantan Ketua KNPI dan Karang Taruna Siak.
Jaksa Penyidik Pidsus juga memintai keterangan Kapala Badan PMD Capil Provinsi Riau, Yurnalis selaku mantan Kabag Kesra Setdakab Siak, Kepala Biro Umum Setdaprov Riau yang juga mantan Camat di Siak, Irwan Kurniawan serta 12 camat periode 2014-2016, ratusan orang kepala desa dan saksi lainnya.
Kasus dugaan korupsi ini ditangani Kejati Riau karena adanya lima laporan ke Kejaksaan Agung dan Kejaksaan Negeri Siak. Dugaan korupsi terjadi di era kepemimpinan Bupati Siak, H Syamsuar yang saat ini menjabat Gubernur Riau.
Disebutkan ada dugaan penyimpangan pengalokasian anggaran belanja dana hibah tahun 2011-2013 senilai Rp56,7 miliar. Ada juga penyimpangan di Setdakab Siak Rp40,6 miliar.
RR/RMC/CPL/L6