Jumat, 24 Januari 2020|11:38:30 WIB
RADARRIAUNET.COM: Eksekusi kebun ilegal milik PT Peputra Supra Jaya (PSJ) seluas 3.323 hektare di Kabupaten Pelalawan mendapat sorotan dari berbagai pihak. Terlebih lagi terkait adanya penghalangan proses eksekusi yang dilakukan oleh masyarakat yang mengaku kelompok tani mitra PT PSJ.
Bukan hanya masyarakat namun dari kalangan legislator bahkan sejumlah pakar hukum dan akademisi.
Menanggapi hal tersebut dilansir dari laman Riauterkini.com, Kamis (23/1), Mexasai Indra yang merupakan Akademisi Universitas Riau mengatakan bahwa seorang presiden pun tidak memiliki kewenangan melarang putusan Mahkamah Agung yang merupakan lembaga peradilan tertinggi. Bahkan menurutnya, adanya penolakan sebagai bentuk intervensi itu merupakan pelanggaran konstitusi negara.
"Jika ada lembaga negara lain yang melakukan intervensi termasuk Presiden sekalipun merupakan pelanggaran terhadap konstitusi negara," katanya.
Dia menyebutkan bahwa eksekusi yang dilaksanakan oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Riau itu merupakan tindak lanjut putusan Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijs).
Putusan itu tertuang dalam putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 1087 K/PID.SUS.LH/2018, Desember 2018. Dalam putusan disebutkan luas lahan yang kini dieksekusi dengan ditumbangkan paksa oleh belasan hingga puluhan ekskavator itu mencapai 3.323 hektare.
Menurut putusan disebutkan lahan itu dirampas untuk dikembalikan ke Negara melalui Dinas LHK Riau cq PT NWR. Rinciannya luasan lahan, milik petani sekitar 1.280 hektare sementara sisanya milik bapak angkat, PT PSJ.
"Dan setiap putusan pengadilan berlaku asas resjudicata vapoir tate hebiture atau setiap putusan hakim dianggap benar," ujarnya.
"Pelaksanaan eksekusi bersumber dari konsep kedaulatan negara dan kedaulatan hukum. Karena eksekusi bersumber dari putusan pengadilan dan konsep kedaulatan negara dan konsep kedaulatan hukum, maka setiap warga negara berkewajiban untuk menghormatinya, jika ada yang menghalang2inya maka tindakan tersebut dapat dikualifikasi sebagai bentuk contempt of court atau penghinaan terhadap pengadilan," tambahnya lagi.
Mexasai pun menyinggung bahwa jika ada pihak-pihak yang merasa tidak puas dengan putusan pengadilan, maka harus ditempuh dengan upaya hukum lainnya. Termasuk peninjauan kembali sesuai dengan konsep prosedural justice.
"Atau sekiranya dalam proses persidangan ada hal-hal yang dianggap janggal dapat melaporkan ke Komisi Yudisial sebagai lembaga yang berwenang untuk menegakkan kode etik (code of etic) prilaku hakim, itulah konsekuensi dari ajaran negara hukum," ungkapnya.
RR/rtc/zet