Rabu, 30 Oktober 2019|15:54:15 WIB
RADARRIAUNET.COM: Menjelang penetapan dan pelantikan anggota DPR dan DPRD hasil Pemilu 2019, ada sejumlah penggantian calon terpilih dari partai politik. Sejumlah calon terpilih yang mendapatkan suara rakyat ini diganti pada saat penetapan calon terpilih. Bahkan, ada yang diganti menjelang pelantikan. Dalam konteks ini, penggantian anggota DPR dan juga anggota DPRD dilakukan dalam ‘ruang kosong’. Ruang kosong ini terjadi antara penetapan calon terpilih oleh KPU pasca putusan perselisihan hasil di Mahkamah Konstitusi dengan tahapan pelantikan anggota DPR dan DPRD.
Direktur Eksekutif Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menyebutkan, seharusnya tidak ada lagi mekanisme pergantian calon terpilih di dalam ruang kosong ini. “Jika terdapat pergantian, terutama pergantian karena kebijakan partai dengan berbagai alasan. Harusnya dilakukan mekanisme pergantian antar waktu setelah calon anggota DPR dan DPRD terpilih dilantik,” ujar Titi.
Menurut Titi, setelah putusan MK yang berkekuatan final dan mengikat yang menyelesaikan perselisihan proses atau hasil, seluruh kemungkinan pergantian calon dalam tahapan pelaksanaan pemilu sudah tidak ada lagi. Berdasarkan catatan Perludem, setidaknya ada dua partai politik yang melakukan penggantian calon terpilih, yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Gerindra,menyitat dari HKN Selasa (29/10/2019).
PDIP melakukan penggantian calon terpilih anggota DPR pada saat sidang pleno penetapan calon yang dilakukan KPU, 31 Agustus 2019. Saat KPU menetapkan hasil Pemilu 2019, PDIP meminta pergantian tiga anggota DPR terpilih. Satu di Dapil Sumatera Selatan I karena calon terpilih meninggal dunia; di Dapil Kalimantan Barat I ada dua orang caleg diganti karena ada yang dipecat partai dan ada yang mengundurkan diri dari partai.
Menurut Titi, untuk kasus meninggal dunia relevan untuk diganti. Sementara untuk kasus pemecatan dan pengunduran diri, harusnya dilakukan setelah proses pelantikan selesai. “Karena mekanisme pergantian itu harus dilakukan dengan pembuktian di dalam proses persidangan yang fair,” ujarnya.
Di Partai Gerindra, pergantian calon terpilih ini karena adanya gugatan dari sejumlah caleg kepada kader partai gerindra di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Namun dari penggantian calon ini ada beberapa hal yang perlu dicermati. Jika membaca putusan PN Jaksel tersebut, terdapat keterangan ahli yang menyatakan bahwa jika suara partai politik lebih besar dari pada suara caleg maka partai politik dapat menentukan siapa yang berhak mendapatkan kursi. “Hal ini tentu bertentangan dengan sistem pemilu proporsional terbuka yang diatur dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu,” ujar Titi.
Dalam gugatan Partai Gerindra di PN Jaksel, majelis mempertimbangkan bahwa tanpa adanya suara partai in casu, Partai Gerindra tidak mendapatkan kursi di dapil tersebut. Dengan demikian sangatlah wajar jika Gerindra memiliki kewenangan absolut untuk menentukan caleg. Atas dasar pertimbangan itu, Gerindra menetapkan sebagai caleg terpilih.
Peneliti senior NETGRIT, Hadar Nafis Gumay berpendapat bahwa yang harusnya diperhatikan dari proses PAW adalah pergantian yang adil. Selain partai politik yang memberhentikan caleg terpilih, ada caleg terpilih sebagai subyek yang diberhentikan. Harus bisa dipastikan mereka sudah punya hak melakukan pembelaan. “Ada caleg yang tidak tahu kalau dia diberhentikan. Kalaupun tahu, dia tidak tahu alasan kenapa diberhentikan,” ujar Hadar mencontohkan.
Hurriyah dari Pusat Kajian Politik Universitas Indoensia (Puskapol UI) menyebutkan, melalui kasus pergantian calon terpilih di dua partai politik tersebut menjadi contoh bagaimana aturan main yang sudah ada ‘disesuaikan’ dengan kepentingan partai politik. “Celah yang ada dalam peraturan digunakan partai politik. Hal lain kalau kita bicara kenapa kondisi ini terjadi, saya melihat dari sisi politik,” ujar Hurriyah.
Hurriyah menilai dengan perubahan penerapan sistem proporsional tertutup menjadi proporsional terbuka, ada semangat untuk meningkatkan partisipasi politik sehingga pemilih bisa langsung memilih calon anggota yang ditemukan dalam surat suara, bukan lagi memilih partai politik. Semangat ini mestinya diikuti oleh reformasi kelembagaan partai politik. Menurut Hurriyah, secara normatif sistem yang ada sudah sangat maju namun perilaku partai politik masih tertinggal, seolah kuasa partai politik sangat besar.
“Kita bisa melihat perilaku partai politik tidak lebih baik meskipun sistem kita sudah berubah. Maka kita harus mendorong reformasi partai politik. Mekanisme partai tidak berjalan sebagaimana seharusnya,” ujarnya.
Komisioner KPU, Evi Novida Ginting, menjelaskan perhatian KPU tidak kepada berapa banyak calon terpilih yang diganti. Meskipun hanya satu calon yang diganti, tetap sama pentingnya karena terlebih dahulu sudah melalui proses yang cukup panjang. “Ketika hal itu ada, kita lakukan klarifikasi ke partai politik. Pada beberapa provinsi pemberlakuan kita juga melihat konteks kapan SK itu dikeluarkan,” ujar Evi.
Untuk kasus Maluku, Evi menyebutkan hingga saat ini KPU tidak mengeluarkan SK pengantian calon terpili. Meskipun akhirnya Kementerian Dalam Negeri tidak mau melantik dua calon yang tepilih, Evi mengungkapkan KPU tidak akan mengganti karena pada dasarnya tidak terdapat persoalan pada kedua caln yang hingga kini tidak dilantik.
“Jadi datanya ada 10, dimana 4 yang calon penggantinya dilantik, 1 dilakukan sebelum rapat pleno, di Sulsel 2 yang tidak dilantik oleh Kemendagri, di Sulbar ini tetap dilantik calon terpilihnya, Maluku 2 orang tidak dilantik karena inisiatif Kemendagri,” tutup Evi.
RR/DRS/HKN