Jumat, 18 Oktober 2019|13:01:54 WIB
RADARRIAUNET.COM: Parameter Politik Indonesia menyatakan mayoritas publik meminta Presiden Joko Widodo menerbitkan Perppu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan membatalkan UU KPK yang baru. Direktur Eksekutif PPI Adi Prayitno mengatakan mayoritas publik menilai UU KPK yang baru berpotensi melemahkan KPK.
"Ada 47,7 persen masyarakat ingin Presiden Joko Widodo menerbitkan Perppu KPK untuk membatalkan revisi UU KPK yang baru," ujar Adi di Kantor PPI, Jakarta, dikutip dari CNN Indonesia, Kamis (17/10).
Adi membeberkan temuan itu berdasarkan hasil survei PPI terhadap 1.000 responden yang tersebar di 34 provinsi pada tanggal 5-12 Oktober 2019. Metode yang digunakan dalam survei itu adalah stratified multistage random sampling dengan margin of error sebesar kurang lebih 3,1 persen dan tingkat kepercayaan 95 persen. Pengumpulan data, kata Adi, dilakukan dengan metode face to face interview menggunakan kuesioner.
Lebih lanjut, Adi mengatakan persentase 47,7 persen publik yang meminta Perppu KPK diperoleh setelah ditanya mengenai langkah yang harus dilakukan oleh Jokowi atas revisi UU KPK.
"Masyarakat pada umumnya menolak pengesahan revisi UU KPK karena merasa revisi itu sangat potensial melemahkan kekuatan KPK dalam memberantas korupsi di Indonesia," ujarnya.
Adi menyampaikan hanya 13 persen publik yang mendukung pemberlakuan UU KPK yang baru disahkan di DPR. Sementara 39,3 persen, kata dia, memilih tidak menjawab.
Lebih lanjut, Adi membeberkan 44,4 persen publik menyatakan tidak setuju ketika ditanya soal langkah DPR dan Jokowi menyusun dan mengesahkan revisi UU KPK. Dari jumlah itu, sebanyak 4,6 persen menyatakan sangat tidak setuju, 24,9 persen tidak setuju, dan 15 persen kurang setuju jika UU KPK disahkan. "Sebanyak 23,2 persen menyatakan setuju dengan hal itu. Dan 32,4 persen tidak menjawab," ujarnya.
Di sisi lain, Adi menyampaikan pemberantasan korupsi menjadi kekurangan dalam pemerintahan Jokowi. Hal lain yang menjadi kekurangan, kata dia, adalah harga mahal, kemiskinan, pengangguran, bantuan sosial tidak merata, kurang adil, kriminalisasi, anti kritik, dan layanan kesehatan.
"Sementara lima besar masalah utama bangsa adalah ekonomi, kemiskinan, lapangan kerja, pendidikan, sumber daya manusia, layanan kesehatan, penegakan hukum, dan pemberantasan korupsi," ujar Adi.
OTT KPK Jalan Terus
Secara terpisah, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo memastikan, sampai sekarang pihaknya bekerja seperti biasa kendati UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK hasil revisi resmi berlaku.
KPK tetap akan meningkatkan penanganan korupsi ke tingkat penyidikan atau melakukan operasi tangkap tangan terhadap kasus di tingkat penyelidikan yang telah memiliki bukti permulaan yang cukup.
"Pekerjaan di KPK berjalan seperti biasa, tidak ada yang berubah. Jadi, misalkan besok ada kasus, tapi belum tentu ya, misalkan ada penyelidikan yang sudah matang perlu ada OTT, ya, akan dilakukan OTT," ujar Agus Rahardjo di Gedung Dwiwarna KPK, Jakarta, Kamis (17/10) malam.
Agus memaparkan hasil. Ada pun sejumlah poin itu di antaranya adalah status KPK sebagai lembaga negara di rumpun eksekutif dan pegawai KPK merupakan ASN; penghapusan Pimpinan sebagai penanggungjawab tertinggi; hingga kewenangan dewan pengawas masuk pada teknis penanganan perkara, yakni memberikan atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan dan penyitaan.
Atas dasar itulah Agus menyebut pihaknya menyiapkan Peraturan Komisi (Perkom) untuk mengantisipasi pelemahan dari berlakunya UU KPK yang baru. "Mengenai dewan pengawas belum terbentuk mungkin masih sampai Desember, tapi kan itu (UU KPK hasil revisi) langsung berlaku, seperti yang pimpinan diragukan, penyidik ragukan, itu kan ada implikasinya ke dalam. Oleh karena itu, di dalam Perkom itu juga akan menjelaskan yang diundangkan, yang tanda tangan sprindik siapa, itu sudah kita tentukan di dalam Perkom itu," jelas Agus.
Agus melanjutkan Perkom tersebut juga bakal mengatur sejumlah hal lain perihal pelemahan KPK dari UU yang berlaku ini. Namun, ia tidak merinci seluruhnya.
"Isinya banyak, yang terkait implikasi dari berlakunya UU KPK apa saja, di Perkom itu ada. Itu merinci semua implikasi kalau UU itu berjalan. Perkom itu bukan hanya masalah sprindik tapi banyak hal yang diatur," ujar Agus.
Agus menuturkan pihaknya juga akan mengundang Ditjen Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM (Ditjen PP Kemkumham) untuk memastikan berlakunya UU tersebut. Pasalnya, masih terdapat sejumlah kejanggalan seperti salah ketik mengenai batas usia pimpinan KPK.
"Kita pun juga bertanya-tanya, karena kan di dalam prosesnya kemudian juga ada typo kemudian kembali lagi ke DPR kan. Jadi, kita belum tahu apakah besok (hari ini) itu, betul-betul akan diundangkan," kata Agus.
Kendati begitu, Agus masih menaruh harap kepada Presiden Joko Widodo untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) usai pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih 20 Oktober nanti. Hal ini, kata dia, supaya kinerja KPK berjalan sebagaimana mestinya.
RR/cnni/zet