PEMBERONTAKAN PETANI DI BUMI PRIANGAN  MELAWAN VOC BELANDA
Aksi Gedungsate

PEMBERONTAKAN PETANI DI BUMI PRIANGAN MELAWAN VOC BELANDA

Kamis, 16 Mei 2019|10:09:46 WIB




RADARRIAUNET.COM: Perlawanan rakyat jelata terhadap penguasa dalam sejarah pergolakan manusia telah berulangkali terjadi sebagai  bukti merasa dirinya tertindas, menggalang kekuatan bersama orang – orang yang bernasib sama melakukan perlawanan terhadap  ketidak adilan penguasa dengan berbagai cara dilakukan, kalau perlu dengan cara – cara kekerasan dan mengangkat senjata sebagai tindakan dan ungkapan protes terhadap perlakuan sewenang – wenang penguasa.

Di Indonesia perlawanan rakyat jelata terhadap keseweang – wenang penguasa, sudah dilakukan berkali – kali semenjak masuknya VOC Belanda setelah penguasa – penguasa dipelosok Nusantara menjadi sekutu – sekutu mereka, bahkan turut serta menghisap dan menindas rakyat guna menjalankan  kepentingan – kepentingan VOC dalam memperoleh komoditas – komoditas dagang buat dipasarkan di Eropa.  

Perlawanan rakyat jelata di  Nusantara terjadi lebih dilatar – belakangi oleh perampasan atau penguasaan tanah, pemugutan pajak dan penanaman paksa  secara sepihak oleh penguasa, setelah kedatangan VOC Belanda mengembangkan areal perkebunan untuk mengembangkan tanaman – tanaman untuk kepentingan dagang mereka di Pasar Eropa  seperti Tebu,Kopi, Karet,Lada, Cengkeh, Padi dan Gandum, terutama di Pulau Jawa VOC Belanda membangun areal perkebunan dalam skala luas yang menyingkirkan rakyat Pribumi kepada lembah kesengsaraan dan kemiskinan.


Maka tidak heran apabila perlawanan rakyat jelata di Nusantara muncul dari kaum tani  sebagaimana terjadi di Bumi Priangan atau Tanah Tatar Sunda perlawanan  rakyat jelata lahir dari kaum tani, petani menjadi pelopor melawan VOC Belanda semenjak akhir abad 18-an Sebagaimana terjadi di Banten,Betawi - Bekasi, Bogor, Cianjur dan  Cirebon benih – benih perlawanan muncul dari kaum tani  dipimpin oleh tokoh – tokoh masyarakat seorang Jawara atau Ulama berpengaruh.

Sejarah telah mencatat Perlawanan – Perlawanan tersebut dan tokoh – tokoh yang menjadi pelopor perlawanan kaum tani di Bumi Priangan  untuk mengusir keberadaan VOC Belanda, bukan untuk merebut kekuasaan mendirikan pemerintahan baru dan sifatnya masih kedaerahan belum pada tingkat skala nasional karena kedudukan Raja – Raja Penguasa Nusantara pada waktu itu sudah berada dibawah Perintah VOC Belanda atau menjadi Kaki tangan mereka, bahkan turut serta menindas dan menghisap rakyat.

Melihat situasi dan kondisi demikian orang – orang yang memiliki kesadaran tinggi baik seorang tokoh jawara maupun tokoh ulama mengerahkan masa melakukan perlawanan dengan segenap  kemampuan bela diri silat,keahlian ilmu kanuragan dan senjata – senjata tradisional seperti golok,tumbak, keris dan semangat keberanian untuk melawan Tentara – tentara Kompeni Belanda yang dilengkapi senapan api dan meriam, senjata – senjata modern pada waktu itu yang tidak melunturkan semangat perlawanan mengusir VOC Belanda.


Tokoh – tokoh tersebut kurang begitu tercantum dalam buku – buku sejarah perjuangan bangsa, hanya pihak – pihak tertentu saja mengetahui, seharusnya tokoh – tokoh pemimpin perlawanan kaum tani dimunculkan dalam sejarah perjuangan bangsa sebagai Pahlawan – Pahlawan Nasional telah berjasa besar kepada rakyat dan bangsa dalam perjuangan mengusir penjajah Belada dan membela ketidak adilan penguasa, mengutip dari kata – kata Bung Karno, Jangan Sekali – kali melupakan Sejarah, karena tidak akan ada kehidupan masa sekarang jika tidak ada kehidupan di masa lalu.

Tokoh – Tokoh Tersebut misalnya Raden KH. Alit Prawatasari memimpin perlawanan kaum tani Cianjur melawan VOC Belanda tahun 1703 – 1707, berperang dengan cara bergerliya menentang Kompeni didaerah Jampang, perbatasan Cianjur-Bogor yang selanjutnya meluas ke seluruh Priangan Timur, Cirebon dan Banyumas antara tahun 1703-1707. Raden Prawatasari mampu menghimpun kekuatan sampai 3000 orang pasukan (yang merupakan suatu jumlah yang besar mengingat jumlah penduduk waktu itu satu kabupaten hanya sekitar 1000 keluarga) untuk melakukan perlawanan terhadap VOC.

Perburuan VOC atas Raden Prawatasari dilakukan oleh Sersan Pieter Scipio bersama pasukan Letnan Ki Mas Tanu (Wedana Tanuwijaya), seorang letnan VOC keturunan sunda sebagai bagian taktik adu domba, dan juga semua Bupati yang tunduk kepada VOC menyatakannya sebagai Karaman (Penjahat).Kisah perburuan Raden Prawatasari oleh Letnan Ki Mas Tanu tersirat dalam sebuah lagu sunda yang masih dinyanyikan sampai sekarang yaitu lagu Ayang Ayang Gung yang menceritakan bagaimana Ki Mas Tanu bekerjasama dengan Kompeni untuk menangkap seorang penjahat (Raden Prawatasari) dengan cara menipu supaya bisa naik pangkat menjadi seorang Wedana.


Rama atau Pangeran Ali Basa seorang keturunan Kesultanan Cirebon  pada tanggal 3 april 1869 memimpin perlawanan kaum Tani Bekasi melawan Tuan Tanah dan VOC Belanda mengerahkan masa kaum tani meliputi wilayah Tambun, Depok, Bogor dan Batavia (Jakarta) melakukan penyerangan terhadap pos – pos penjagaan Belanda, Pada 17 Juni 1869, Pangerang Alibasa dan 302 pengikutnya tertangkap. Setelah dilakukan introgasi 243 dinyatakan tidak bersalah karena dipaksa ikut menyerang Tambun ,sisanya ditahan dengan tuduhan makar. Pangeran Alibasa sendiri tewas didalam penjara dua hari sebelum persidangan dimulai. Dua orang dihukum mati dan 19 orang dikenakan hukuman kerja paksa selama 15 tahun. Walau tak berhasil, tak ayal Belanda menjadi sadar akan keberanian petani yang mau melakukan penyerangan. Sejak itu ada perubahan tatacara dan perlakuan terhadap petani.

Haji Abdul Karim seorang tokoh Ulama dari Banten pada tahun 1888 dengan melakukan doktrin – doktri Agama Islam melalui Khotbah – Khotbah dan ramalaan – ramalan tentang kedatangan Imam Mahdi, tokoh penyelamat yang akan muncul untuk menyelamatkan dunia ini dari segala macam dosa di hari kiamat  membakar semangat perlawanan kaum tani Banten melakukan pemberontakkan melawan VOC Belanda yang dianggap orang – orang Kafir halal untuk dimusnahkan, karena telah merampas tanah dan kekakayan alam Wilayah Banteng dan Bumi Priangan lainnya.

Belum lama ini kaum tani Bumi Priangan kembali dilanda perampasan dan penindasan para pemodal, petani Kertajati daerah perbatasan Kabupaten Majalengka dan Kabupaten Indramayu yang dulunya merupakan wilayah Karesidenan Cirebon, menjadi korban penggusuran Mega Proyek Pemerintah Nasional yang setelah dicanangkan  Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2015-2019. Mega proyek itu dikuatkan dengan dikeluarkanya Perpres No. 30/2015 tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum (infrastruktur), serta PP No.3/2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional yang berisi 225 proyek nasional.


Didaerah Karesidenan Cirebon pernah terjadi juga Perlawanan Kaum tani terhadap VOC Belanda pada tahun 1812 – 1818  yang dipimpin oleh Bagus Rangin, Bagus Jabin, dan Bagus Serit, disekitar daerah Kandanghaur, Distrik Blandong, Kedondong, dan Majalengka.  disebabkan pemungutan pajak tanah, pajak padi, dan pajak-pajak lainnya yang dilakukan oleh pihak Sultan Anom IV atas  perintah VOC Belanda, begitu juga tanah – tanah milik petani dirampas paksa oleh VOC Belanda.

Bagus Rangin  dan kawan – kawan melakukan perlawanan dengan cara – cara kekerasan bersenjata, menyerang dan membakar rumah – rumah orang Eropa   Tionghoa yang merampas tanah desa dan tanah para petani, sementara Bagus Jabin memimpin gerakan perlawanan di daerah Indramayu dengan pusat gerakan di Kandanghaur.

Gerakan perlawanan rakyat Cirebon mencapai puncaknya pada awal tahun 1818. Secara garis besar perlawanan tahun 1818 terbagi atas dua tahap, yang pertama terjadi pada bulan Januari dan Februari, dan tahap yang kedua terjadi pada bulan Juli dan Agustus, sistem tanam paksa yang dikeluarkan VOC Belanda menjadi faktor utama para petani didaerah Karesidenan Cirebon kehilangan lahan pertaniannya karena digunakan oleh pemerintah untuk menanam tanaman ekspor, sementara para petani tidak menikmati hasil dari penanaman tersebut.


Kabar buruk tentang petani dari Karesidenan Cirebon terus berlanjut sampai sekarang, para petani Kertajaya lahan seluas kurang lebih 17.000 hektar kawasan hutan negara dikuasai Perusahaan Perkebunan Gula/Tebu  PT. RNI melalui SK Menteri Pertanian Tahun 1976, melepaskan kawasan hutan Negara beralih fungsi menjadi areal perkebunan Tebu dan memaksa para petani mengosongkan wilayah tersebut yang sudah secara turun – temurun digarap warga yang dulunya berdiri tiga Desa yakni Cibenda,Sukamulya dan Sukawera secara administrasi masuk Kecamatan Kertajati Kabupaten Majalengka.

Warga Petani penggarap Kertajati berharap dengan adanya Program Perhutanan Sosial bisa menyelesaikan masalah – masalah yang sedang mereka alami, akan tetapi fakta dilapangan berkata lain, Dirjen IPHPS KemenLHK menolak usulan pengajuan  Izin Warga untuk memanfaatkan Lahan Hutan dengan HGU PT. RNI dan belum habis masa pengelolaanya sampai tahun 2029 sesuai SK No. 481/ KPTS/UM/8/1976 tanggal 9 agustus 1976.

Pertanyaannya adalah apakah Kementerian Pertanian punya wewenang melepaskan Kawasan Hutan kepada pihak swasta seperti PT. RNI? Bukankah Lembaga yang bertanggu jawab  berwenang atas pelepasan kawasan hutan negara adalah  Kementerian LHK, terlihat cacat hukum dalam kasus petani penggarap diKertajati, tidak bisa didiamkan begitu saja jelas – jelas hal ini anti Pancasila dan UUD 1945, Pemerintah telah menyalah gunakan wewenang, menyimpang dari kewajibannya untuk mensejahterakan rakyat.

Kasus yang dialami para petani penggarap di Kertajati ini, harus segera diusut tuntas serta butuh dukungan dari semua pihak, jika tidak  segera diselesaikan, ketidakadilan dan kesewenang – wenangan  Penguasa dan Pengusaha  terhadap para petani penggarap Kertajati, akan terus berlanjut  dan akan terus meluas penderitaan serta kemiskinan  rakyat keseluruh  penjuru Nusatara diakibatkan sistem yang tidak adil ini.


Ketua KPW – STN Jawa Barat


RRN/WH







Berita Terkait

Baca Juga Kumpulan Berita NEWS

MORE

MOST POPULAR ARTICLE