Selasa, 30 April 2019|15:01:56 WIB
PEKANBARU: Hari ini, pemberhentian sebanyak tujuh staf Aparatur Sipil Negara (ASN) yang tersandung kasus korupsi di lingkungan Pemprov Riau resmi diteken Gubernur Riau, H Syamsuar.
Pemberhentian ASN yang sudah bersatus hukum tetap (Inkracht) itu juga mengacu putusan MK yang memperkuat Surat Keputusan Bersama (SKB) untuk percepatan pemberhentian PNS terpidana korupsi.
"Kami memang sudah sepakat tetap berhenti, tapi siapa tujuh orang tu belum tahu saya," kata Gubri, Selasa (30/4/2019).
Orang nomor satu di Riau ini bahkan menegaskan mereka yang sudah berstatus Inkracht di pengadilan serta dipecat secara tidak hormat dari pekerjaannya sebagai ASN Pemprov Riau, tidak layak dipakai lagi.
Apalagi persoalan korupsi menurutnya, dianggap sebuah momok yang akan menjadi perhatian dipemerintahannya.
"Sepanjang semua sudah Inkracht, saya juga sudah bilang sama pak Sekda, orang seperti ini memang tak pakai lagi," tegas Gubri.
Sebelumnya, belasan ASN mulai dari pejabat eselon hingga staf juga terlebih dahulu sudah dipecat. Mereka yang diberhentikan dengan tidak hormar itu, tersandung berbagai kasus korupsi.
Seperti diketahui, Kepala daerah tingkat provinsi, kabupaten dan kota diberi tenggat waktu untuk segera memberhentikan pegawai negeri sipil atau PNS terpidana korupsi yang telah berkekuatan hukum tetap/inkracht.
Hal ini ditegaskan Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Kementerian Dalam Negeri Bahtiar, pasca terbitnya putusan MK yang memperkuat surat keputusan bersama (SKB) untuk percepatan pemberhentian PNS terpidana korupsi.
Maksud dari putusan MK Nomor 87/PUU-XVI/2018 dalam perkara Pengujian UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara tersebut adalah, MK menyatakan frasa dan/atau pidana umum dalam pasal 87 ayat (4) huruf b UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Sehingga Pasal 87 ayat (4) huruf b UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN menjadi berbunyi : dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan.
Putusan tersebut menjawab gugatan dari PNS Pemerintah Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau yang pernah divonis bersalah melakukan tindak pidana korupsi pada tahun 2012 dengan menggugat Pasal 87 ayat (4) huruf b Undang- Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang aparatur sipil negara (ASN).
Berdasarkan putusan MK Nomor 87/PUU-XVI/2018 yang dibacakan dalam sidang pleno MK dipimpin Ketua MK Anwar Usman pada 25 April 2019 lalu. Dalam putusan itu dinyatakan, pemberhentian PNS tidak dengan hormat (PTDH) adalah bagi mereka berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (Inkracht) karena melakukan perbuatan yang ada kaitannya dengan jabatan seperti korupsi, suap, dan lain-lain.
Sedangkan untuk tindak pidana umum, seperti perbuatan yang menyebabkan hilangnya nyawa orang lain yang dilakukan tanpa perencanaan dapat diberhentikan dengan hormat atau tidak diberhentikan.
RRN/RT